Friday, January 9, 2015

Poker Face

Belakangan sering kita mendengar kata penggunaan frasa 'poker face' dalam beberapa kalimat, biasanya digunakan oleh anak-anak muda zaman sekarang. Lalu sebenarnya apa sih makna istilah 'poker face' itu? Bagaimana istilah itu sering digunakan oleh masyarakat untuk menggambarkan perasaan mereka? Baiklah, saya akan jelaskan sedikit sesuai keterbatasan pengetahuan yang saya miliki. Correct me if I am wrong. 'Poker face' diambil dari Bahasa Inggris. Kata face berarti wajah. Sedangkan kata poker merujuk pada sebuah permainan kartu yang melibatkan taruhan dalam permainan individu, dimana pemenang ditentukan oleh pangkat dan kombinasi kartu mereka, bahkan beberapa di antaranya tetap tersembunyi sampai akhir pertandingan. Permainan kartu ini melibatkan kesempatan dan strategi jangka panjang dari para pemain. Semua itu juga ditentukan oleh tindakan yang dipilih berdasarkan probabilitas, psikologi dan teori permainan. Selain memerlukan kecerdasan olah kemampuan matematis individu dalam memperhitungkan angka-angak statistik sebagai dasar pengambilan keputusan, ternyata permainan ini juga memerlukan trik psikologi untuk saling menjatuhkan. Hmm, kedengarannya menarik ya? 

Pada permainan poker, diperlukan kehandalan dalam mengendalikan emosi (baik secara gesture tubuh maupun teknik pernafasan). Lawan bisa saja membaca ekspresi dari wajah seseorang, apabila orang tersebut terlibat secara emosional pada kartu yang dipegangnya. Misalnya, sewaktu pemain memegang kartu yang buruk, cara menarik nafasnya pun dapat terbaca dengan mudah oleh lawan. Begitu juga dengan pergerakan bola mata, bibir, alis, kerutan di dahi, dan lain-lain. Oleh karena itulah beberapa orang menjuluki poker sebagai permainan perang mental pula. 

Lalu, apa itu 'poker face'? 'Poker face' menurut urbandictionary.com adalah ungkapan untuk menunjukkan gambaran wajah pada seseorang yang tidak menunjukkan emosi sama sekali atau datar. Penggunaan istilah 'poker face' ini menjadi umum karena dalam permainan kartu poker akan sangat bodoh untuk menunjukkan sifat emosional di depan lawan, yang mungkin akan mengacaukan permainan untuk Anda. Jadi, istilah 'poker face' yang sering digunakan oleh anak-anak muda saat ini diambil dari gambaran wjah seseorang saat bermain poker. Bisa berarti suatu ekspresi wajah yang dingin, datar atau tanpa ekspresi.






Regards,

Bening Rahardjo



Super Simple Hijab Tutorial (Try It Just in 3 minutes)

Here I choose for you the two super simple hijab tutorial which is no need to take much time to apply, if you are in hurry. This tutorial suitable to use to many event, such to go work, to go hangout, to go shopping, whatever. You just need inner and pashmina, glad news: you can apply this without pins.

Tutorial Number #1

1. Wear ninja inner to cover all neck and your hair. You can adjust the colors of pashmina and inner with the clothes you want to wear.
2. Wear a pashmina (longer on one side).
3. Swivel the longer side to cover your neck (no need too tight).
4. Trim to cover your chest. Finish :)



 Tutorial Number #2

1. Wear ninja inner
2. Wear pashmina longer one one side, folding a little so it's not too wide. (It also can make elegant look on all types of faces).
3. Wrap a little on the longer side, swivel until back of the neck (no need too tight).
4. Wrap a little on the shorter side, swivel it too.
5. Trim it to cover your chest. Finish :)

May it can help you. Give a try, gals!


Salam!

Bening Rahardjo



Tuesday, January 6, 2015

Responding To Sexual Violence in Conflict Areas

"Para prajurit membakar desa-desa kami. Mereka menembak suami dan saudara-saudara kami, membakar rumah-rumah kami. Mereka berhenti untuk menunggu suara bayi kami menangis. Ketika mereka menangis, tentara datang ke ratapan bayi-bayi itu. Mereka membunuh bayi kami. Mereka memperkosa kami..."
 - Wanita suku Mayan di Guatemala, korban pemerkosaan di daerah konflik.

Setiap konflik antarnegara, antardaerah maupun antargolongan tentu selalu membawa dampak kerugian dan kekerasan kepada warga sipilnya. Wilayah konflik adalah wilayah yang rentan terhadap kekerasan, terutama terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Kekerasan seksual berbasis gender sering digunakan sebagai alat perang untuk menyerang perempuan dan anak-anak. Seringkali dalam keadaan darurat seperti perang dan konflik, negara tidak mempunyai cukup sumberdaya untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak warga sipil. Besarnya angka kekerasan terhadap perempuan dilatarbelakangi oleh konflik berkepanjangan yang membawa wilayah atau negara tersebut pada krisis kemanusiaan. Kekerasan seksual dalam wilayah konflik bersenjata mempunyai berbagai macam motif dalam aksinya. Oleh karena hal ini dianggap sebagai senjata yang efektif untuk menghancurkan mental lawan misalnya, ataupun menghancurkan moral individu, keluarga maupun kelompok tertentu. Masih minimnya kesadaran masyarakat akan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, semakin memperkuat stigma yang menimbulkan rasa trauma, malu, ketakutan dan beban, sehingga para korban tidak berani melaporkan kejahatan seksual yang telah diterimanya. 

Trauma perkosaan sangat sulit untuk diatasi. Mereka, para korban kekerasan seksual itu, mempunyai berbagai macam rasa trauma yang sama. Namun, mereka menghadapi rasa trauma itu dengan caranya masing-masing. Pada rasa trauma yang mendalam itu, tidak seorang pun yang mampu mengerti. Tetapi dengan keberanian dan ketabahan banyak korban, beberapa dari mereka mampu bertahan dengan pengharapan hidup yang meski tidak seperti sebelumnya. Bagi korban kekerasan seksual yang tidak kuat mental, tidak jarang lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya ketimbang menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, atau trauma psikologis yang hebat, bahkan rawan terkena penyakit seksual menular. 


Masing-masing dari kita, mempunyai tugas untuk menjadi pegiat kerja advokasi untuk perubahan besar dalam jangka panjang, demi penegakan hak asasi perempuan dan anak-anak. Jika hati nurani Anda masih angkuh untuk bersikap apatis terhadap isyu ini, bukankah kita semua terlahir dari seorang perempuan? Kekuasaan dan kepentingan seringkali membuat manusia lupa bagaimana caranya menjadi manusia, mereka diliputi kerakusan naif, menyiksa perempuan dan anak-anak dengan teror mental. Apapun bentuknya, konflik adalah potret krisis dalam berbagai macam dimensi manusia. Bahkan dalam keadaan darurat, militer yang seharusnya menjadi pelindung, seringkali malah menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Lantas, pada situasi konflik, siapa lagi yang bisa kita beri kepercayaan?

Tidak perlu jauh-jauh untuk mencari contoh kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak dalam wilayah konflik. Kita tentu ingat, bagaimana kasus etnis tahun 1998-1999, kasus di Aceh, Poso, Maluku dan Papua di saat genting-gentingnya. Perempuan dan anak-anak terbungkam dalam nanar yang tak seharusnya mereka rasakan. Lantas bagaimana pemerintah kita memberi pendampingan pada para korban kekerasan seksual pasca konflik? Tentu saja negara mempunyai kewajiban dalam upaya pemulihan, bukan hanya pemulihan dalam jangka pendek. Pemulihan ini mempunyai makna dalam dan luas, serta dibutuhkan konsistensi. Penting untuk melihat kebutuhan terkait pencegahan dan penanganan para korban kekerasan seksual, tidak hanya oleh masyarakat dan korban, tetapi juga didukung oleh eksekutif dan legislatif, terkait rumusan strategis dan implementatif untuk mencegah terjadinya hal yang sama di kemudian hari.

Dua hal mendasar yang tertinggal pasca konflik. Pertama, tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak, semacamnya, tidak ada kejelasan hukum sampai sekarang. Kedua, akses semua layanan kesehatan baik psikologis maupun fisik bagi para korban, yang masih kurang. Organisasi hak Amnesty Internasional merangkum ini menjadi beberapa indikator, seperti: berapa banyak tentara yang melakukan kekerasan seksual? Seberapa besar pos dalam anggaran suatu negara untuk membantu korban kekerasan seksual di bidang ekonomi, sosial, psikologi dan sektor hukum? Apakah setiap pemerintahan telah menerapkan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1325, mengenai keikutsertaan perempuan dalam perundingan perdamaian, serta perlindungan bagi perempuan di wilayah konflik? Apakah kita telah memperhatikan testimoni atau kesaksian dari para korban? Apakah ada investigasi terkait kekerasan tersebut? Apakah korban kekerasan seksual memiliki akses pada pelayanan medis secara gratis sebagai upaya pemulihan? Berapa banyak jumlah perempuan pekerja medis dalam upaya pemulihan tersebut? Serta lain-lainnya. 

Tidak ada sistem universal terkait layanan yang tersedia untuk pemulihan korban kekerasan seksual. Bentuk layanan itu bervariasi dari masyarakat untuk masyarakat. Pertama, pada tingkat intervensi individu: berupaya untuk memperbaiki konsekuensi yang dihadapi korban individu. Kedua, di tingkat masyarakat: berupaya untuk mengubah sistem stigma masyarakat atas korban kekerasan seksual. Hanya itu yang biasa kita temui. Konseling dan dukungan oleh kelompok sesama mungkin menjadi layanan yang paling digunakan oleh perempuan korban kekerasan seksual, untuk berbicara tentang perasaan mereka. Tapi hampir tidak ada studi lanjut terkait evaluasi untuk layanan tersebut. Saat ini tidak ada cara yang jelas untuk mengukur pemberdayaan wanita-wanita dan anak-anak korban kekerasan seksual. Khususnya, di Indonesia. Terus terang, banyak dari kita yang tidak peduli tentang masalah ini. Sayangnya, kita justru sengaja memilih untuk tidak peduli tentang isyu ini. 

Kita, tidak boleh menolak lupa pada kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak-anak di daerah konflik. Hal ini agar tidak berulang, agar tidak menjadi rantai nanar yang terus berulang dalam setiap konflik. Pemerintah harus memastikan perlindungan hak-hak konstitusional perempuan dan mengembangkan mekanisme bagi penegakannya melalui peraturan-peraturan daerah. Khusus wilayah konflik, pemerintah harus segera melakukan dialog dengan masyarakt setempat secara damai, bermartabat dan memastikan jaminan keamanan dengan cara pendekatan untuk menghentikan kekerasan. Masyarakat, khususnya lembaga sosial, agama, budaya perlu meningkatkan peran aktifnya dalam dukungan relawan demi pemenuhan rasa keadilan bagi korban, memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa membatasi ruang gerak perempuan korban kekerasan seksual.

Kita, tidak boleh menolak untuk berempati dan peduli kepada kasus yang menodai adab dan nilai-nilai kemanusiaan di sekitar kita. Jika kita bersikap acuh, layakkah kita hidup dengan predikat 'manusia'? Kita bisa menjadi aktor-aktor dalam upaya advokasi, setidaknya untuk orang-orang di sekitar kita, maupun dalam lingkup luas.


Regards,

Bening Rahardjo




Read more for English Version

Sunday, January 4, 2015

Sikil Sapi Ono...

"Tat, tat gala laga apa"

Baru saja saya menerima sebuah pesan teks dari keponakan murid kelas dua Sekolah Dasar yang baru bisa mengetik vokal 'a' melalui piranti yang bernama smartphone. Namanya Wira, begitu dia biasa dipanggil. Sedikit hiperaktif, mungkin dikarenakan rasa ingin tahu yang sangat besar, terutama pada hal-hal baru yang biasa dia temui. Sekarang Wira tinggal bersama kakak saya di Jakarta. Dulu dia sempat bersekolah di Yogyakarta dan Solo selama TK hingga bangku Sekolah Dasar kelas satu.

Wirananda dengan gigi ompongnya :*
Pesan itu tiba-tiba mengingatkan saya akan sosok kecil Wira saat masuk ke bangku Sekolah Dasar, dimana ada pelajaran Bahasa Jawa sebagai muatan lokalnya. Wira sempat mengalami kesulitan belajar dikarenakan sejak kecil dia tidak terbiasa dengan penggunaan Bahasa Jawa di lingkungan tempat dia dibesarkan. Suatu hari, Ibunya memanggil saya agar menemani Wira belajar. Jujur saja, anak itu susah belajar apabila didampingi orangtuanya sendiri, jadi saya yang didaulat untuk menjadi tutor belajar Wira saat hendak Ujian Semester. Suatu siang setelah pulang sekolah Wira mengadu kepada sang ibu (dia memanggil ibunya dengan sebutan 'Tituk' karena cadel dan 'Apak' untuk bapak) dan saya (Wira memanggil saya 'Ante' alias tante) katanya, jawaban ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia diberi tanda silang merah oleh gurunya. Dia protes kepada saya dengan aksen cadelnya.

"Ante... Ini kan Ia uda jawab, tapi kok dikasih melah sama bu gulu...?" *nada mau nangis*
"Lah, emang kayak gimana soalnya? Coba sini tante lihat Mas..."
"Ini nih Ante..."

*baca soal yang ditunjukin sama Wira*
Soal itu berbunyi demikian: Bangun tidur kuterus....
pilihan jawaban: a. Mandi    b. Makan    c. Tidur lagi    d. Minum susu 
Di pilihan itu Wira menyilang angka 'd' yang berarti 'minum susu'.

"Wah, kalau ini Mas Ia memang salah jawabannya."
"Ih Anteeee... ini jawabnya Ia benaaal!!" *marah*
"Benar? Masa sih? Coba ya, ingat lagu ini nggak? Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi..." *menyanyikan lagu bangun tidur*
"Iya."
"Iya kan? Jadi apa dong jawabannya tadi? Bangun tidur kuterus...?"
"Mandi."
"Nah, itu tahu... Berarti jawaban yang benar, bangun tidur kuterus... mandi. Bukan minum susu."
"Bukaaaan Ante Gaiiih!! Jawabnya minum susuuuu!" *ngeyel*
"Kok minum susu sih? Itu salah Mas Ia, yang benar mandi." *ngeyel juga*
"Anteeee Gaih ini gimana sik? Kata Tituk... kalau bangun tidul itu Ia halus minum susu dulu, makan nasi, balu mandi. Nanti kalau nggak minum susu, Tituk bisa malah." *menjelaskan dengan polos*
"Oh...gitu? Emangnya Mas Ia kalau pagi-pagi bangun tidur biasanya ngapain?"
"Minum susuuuu, bukan mandiiiii Anteeeee!!"

Saya dan ibunya Wira seketika berpandangan sambil melongo kemudian tertawa bersama. Okay, I got this, Wira....Iya, pemahaman anak ini tidak salah. Soal itu memang berbunyi "Bangun tidur KUTERUS..." Ya mau bagaimana? Setelah bangun tidur di pagi hari, hal yang Wira lakukan (menurut perintah dari sang ibu) adalah minum susu, sarapan, baru mandi pagi... (-___-)


Hari berikutnya, setelah ujian Bahasa Jawa, Wira pulang sambil menangis. Dia protes (lagi). Sebagai tutor belajar Bahasa Jawa, saya tentu penasaran soal apa yang dipermasalahkan. Saya berusaha menenangkan Wira sebelum tangisnya lebih lama.

"Sini coba tante lihat soalnya..."
"Yang ini Ante..."
"Ini?" *menunjuk soal yang dimaksud*
Anak itu mengangguk. Saya meneruskan membaca soal yang dimaksud. Jadi kira-kira dalam soal itu digambarkan seekor sapi lengkap dengan bentuk tubuhnya. Sapi itu sedang makan rumput, ada awan di atas sapi itu dan bentuk bagian bawahnya, emm...agak sedikit buram. Entahlah.

Soalnya berbunyi demikian: Sikil sapi iku ono..... (Kaki sapi itu ada....)
Karena tidak ada pilihan jawaban, maka di situ siswa harus mengisi jawaban sendiri. Saat saya membaca jawaban yang ditulis Wira. *Glek! Nelen ludah* Apa nggak salah tulis ni bocah??

"Mas Ia, ini apa?" *nunjuk jawaban yang ditulis Wira*
"E-E-K nya." *membaca dengan polos*
"APAH?!!"
"Iya ini jawabannya e-e-k-n-y-a  Anteee...."
"HAH?! KOK DIJAWAB  E-E-K-N-Y-A  SIH MAS IAAAA???"
"Iya kan itu jawaban yang Ia tulis..."
"Coba dibaca lagi soalnya, sikil sapi iku ono titik-titik... Apa jawabnya?"
"E-e-k-n-y-a..." *polos*


Wuahahahaha, Seketika saya ngakak sampai mengeluarkan air mata. Wira malah bingung melihat tawa saya yang meledak mendengar jawaban polos anak itu. Setelah tawa agak mereda, saya bertanya pada Wira mengapa dia bisa mendapat jawaban seperti itu.

"Mas Ia, kok bisa nulis e-e-k?"
"Ante Gaih ini gimana sik? Sikil sapi itu kan kotol Anteeee..... ada e-e-k-n-y-a itu kan di bawah. Hiii..."
Hahahahaha *ngakak sekali lagi*
"Loh, emang Mas Ia pernah lihat sapi?"
"Ia kan lihat itu di lumah olang ada." 
"Kapan lihatnya?"
"Pas Ia diajak naik motol sama Apak sama Tituk....Sapinya itu kotol, ada e-e-k cokelat di kakinya semua."
Hahahahaha....Okay, I GOT THIS, WIRA! I can not even blame the honest answer from this child. O my Lord!
"Iya emang bener itu sapinya suka ada e-e-k di kakinya, tapi yang dimaksud soal ini tuh, bukan ada apa di kaki sapinya Mas.... Jadi yang ditanyakan itu ada berapa jumlah kaki sapi itu....Lain kali jawabnya jangan e-e-k lagi ya? Tapi jumlah kakinya. Coba ada berapa?"
"Empat."
"Nah itu baru bener."

Hahahaha, well...I dunno but sometimes anak-anak itu lebih 'polos' dalam merepresentasikan apa yang mereka lihat dengan indera visual mereka. Oleh karena itu, kita harus sangat hati-hati dalam membimbing dan mendidik anak. Berikan pemahaman yang baik selama itu bisa diterima oleh otak mereka :)



Friday, January 2, 2015

This is What I Called 'Relaxing Music'

Listen to a beautiful, light instrumental music piece that combines a healthy mix of calming, relaxing, hmm sounds like meditation, No? Music is everywhere I go, everyplace I lock. Very universal, it is a ubiquitous activity found in every known human culture. Self-selected music factors are affected by both the social and auditory characteristics of the music. For me, listening to Music is an aesthetic experience. Music can improve an adolescent's mood by reducing stress and lowering anxiety levels. It affects the soul. Beside listening, I also enjoy to playing some instrument. So, sit back, relax, and enjoy our Javanese traditional musical offerings :)

One of Javanese traditional music instrumental







Regards,


Bening Rahardjo


Thursday, January 1, 2015

The New Year 2015: Rise With Us!


Semalam, sebagian dari kita telah melewati malam pergantian tahun dari 2014 menuju 2015. Bagaimana Anda melewatkan malam tadi? Saya tidak akan menggunakan kata 'biasanya' di sini. Sebab, kata 'biasanya' akan selalu merujuk kepada habit ataupun budaya. Bukankah budaya itu sendiri terbentuk oleh tatanan masyarakat yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, mulai dari sejarah, alam, lingkungan sosial, dan sebagainya. Masyarakat kita, dari tahun ke tahun, cenderung menganut penyeragaman dalam segala hal, termasuk salah satunya dalam hal perayaan malam pergantian tahun. Kempang api, terompet, balon, dan pernak-pernik lainnya yang serba sparkle selalu menjadi pilihan untuk menemani detik-detik pergantian tahun. Uniformitas kesemarakan satu malam itu seolah ditandai dengan simbol-simbol yang seragam. Saya rasa tidak jauh berbeda yang ada di Indonesia dengan yang ada di Hongkong maupun Brazil. Entah darimana asal mula simbol-simbol itu dikenalkan kepada khalayak untuk menandakan bahwa mereka sedang menantikan tahun baru yang akan datang. Entah pula apakah karena manusianya yang tidak memperhatikan pilihan-pilihan lain selain standarisasi budaya itu tadi.

Saya pribadi melewatkan detik pergantian tahun semalam secara takzim dan sederhana bersama seluruh anggota keluarga di rumah. Suasana hangat hadir menyelimuti bersama cahaya dari lilin-lilin yang menemani perbincangan ringan kami mengenai hari-hari dalam setahun yang telah berlalu dan badai yang harus dihadapi esok hari. Apabila beberapa waktu lalu saya sempat merencanakan akan menghabiskan malam pergantian tahun bersama dengan sahabat-sahabat terdekat, tetapi kemudian rencana itu saya ubah total. Bagaimana mungkin Anda melewatkan hari-hari yang seharusnya penuh dengan battle dengan suasana gemerlap penuh suka cita? Satu sisi, ini bukanlah saat yang tepat untuk sebuah perayaan. Kita lihat, di sudut tempat yang lain baru saja terjadi banyak musibah beruntun untuk tanah kelahiran kita, mulai dari tanah longsor, banjir, angin puting beliung, kebakaran Pasar Klewer dan yang teraktual yakni kecelakaan pesawat Air Asia nomor penerbangan QZ 8501. Saya pribadi dan keluarga juga tidak sedang dalam kondisi tepat untuk perayaan sebuah momen, satu malam, dalam suasana gegap gempita. Kami lebih memilih untuk duduk bersama sembari mengobrol ringan sebagai refleksi hari-hari yang telah kami lewati kemarin. Ya, kita memang tidak bisa merasakan kepedihan orang lain atas luka yang sedang mereka rasakan. Namun setidaknya, kita bisa lebih bijak untuk tidak merayakan pergantian tahun ini secara berlebihan.

Menyalakan lilin-lilin di tengah kebersamaan keluarga, mungkin itu hal yang paling tepat bagi kami saat ini. Lilin adalah simbol pengharapan bagi kami. Saya ingat kalimat bijak dari Gede Prama di sebuah acara di Jakarta tahun lalu: "Kita memang tidak mampu menjadi matahari sebagai cahaya penerang bagi semua orang, tetapi setidaknya kita bisa menjadi lilin-lilin kecil sebagai penerang bagi orang-orang di sekitar kita". Sebagian dari kita bisa saja menertawakan musibah yang dialami oleh orang lain, kita bisa saja mencibir kepada orang-orang yang memilih untuk berempati kepada mereka yang mengalami musibah. Tidak apa-apa asal tidak Anda tunjukkan tawa dan cibiran itu di muka umum, kalau Anda tidak ingin dicap 'manusia tidak punya nurani'. Musibah bukanlah suatu hal yang pantas untuk dicandai. Coba bayangkan apabila musibah itu melibatkan sanak saudara Anda, atau mungkin malah diri Anda sendiri? Relakah Anda menjadi bahan tertawaan atau cibiran? Saya rasa orang pandir pun tahu jawabannya.


Ladies and gentlemen, hidup itu tidak pasti. Saya bisa jaminkan itu kepada Anda. Hanya ada satu hal di dunia ini yang pasti, yakni perubahan. Bisa jadi kemarin kita tertawa-tawa hingga meluapkan perasaan bahagia bertubi-tubi. Namun, esok hari bisa saja tawa itu terenggut dengan sobekan luka. Siapa yang tahu? Setiap orang selalu menuliskan angan-angan indah yang mereka sebut sebagai resolusi tahun baru, bahwa nanti di tahun depan saya mau ini, saya ingin itu. Memasang target harus begini, harus begitu. Ketika hari dalam setahun telah berakhir tetapi mimpi-mimpi indah dan ambisi-ambisi di dalamnya belum tercapai, kekecewaanlah yang didapat. Kita mungkin tidak pernah menengok kepada satu kekuatan penting lain di dalam satu tahun yang telah kita lewati, yakni proses. Kita menjadi tidak lebih hanya sekumpulan ambisi-ambisi yang memerintahkan otak untuk bertindak. Padahal, kita adalah proses dari perubahan yang pasti terjadi.

Akhirnya, hari ini tiba. Hari dimana  saya mulai memahami makna kalimat mulia dari salah seorang kolega dekat, yang ingin saya bagikan untuk Anda semua: "Jikalau hari ini berjalan sedemikian indahnya, dari manakah arah datangnya kesedihan berikutnya? Katakan.". Semoga kalimat itu menjadikan pengingat bagi kita semua, bahwa kesedihan, kebahagiaan, tawa, tangis, canda, amarah....itu semua tidaklah pasti.


Regards,

Bening Rahardjo