“Berlakulah yang tulus dalam kebaikan, tetapi pilihlah ketulusan yang tidak menghinakanmu"
Saya pernah mendengar seseorang
mengucapkan kalimat itu dalam sebuah pertemuan. Pertama kali kalimat itu sampai
di telinga saya, saya hanya mengangguk-angguk saja. Namun, begitu saya
mengingat kalimat itu lagi dan merenungi maknanya, saya belum mampu memahami.
Ya, kebaikan. Sudah biasa kita
dengar. Selama manusia berpegang kepada agama dan prinsip-prinsip humanisme, tentu
dia sudah tidak asing lagi dengan kata tersebut. Agama mengajarkan kita untuk
berbuat kebaikan. Demikian pula dengan prinsip-prinsip humanisme, yang
mengatakan kepada kita untuk hidup berdampingan dengan manusia lain dalam
kebaikan. Ya, sudah tidak perlu
dijelaskan lagi apa arti kebaikan. Lalu, ketulusan. Kita pun tahu apa makna
kata “tulus”. Tulus itu tanpa pamrih. Tulus itu tidak dimanipulasi. Tulus itu tidak
mengharapkan pujian. Tulus itu tidak mengharapkan imbalan. Tulus itu pengorbanan.
Tulus itu tidak mengharapkan orang lain akan berbuat hal yang sama kepada kita
nanti. Itu tulus. Agama juga mendorong kita untuk melakukan kebaikan yang
dilandasi dengan rasa tulus. Seperti seorang
ibu yang mencintai anaknya. Seorang anak yang merawat bapaknya ketika bapaknya
telah tua. Seorang dermawan yang memberi sebuah roti untuk makan siang
gelandangan. Seorang guru yang memberi nasehat kepada muridnya. Itu semua
adalah contoh kebaikan yang dilandasi ketulusan.
Tapi apakah yang dimaksud dengan
ketulusan yang tidak menghinakan? Berulang kali saya berpikir keras atas
jawaban pertanyaan ini. Apakah semua tulus itu tidak selalu berarti tulus?
Apakah ada ketulusan yang manipulatif? Apakah ada ketulusan yang menghinakan
seseorang? Setelah membaca-baca beberapa buku psikologi dan memikirkan jawaban
pertanyaan-pertanyaan itu secara matang, saya baru menemukan jawabannya melalui
peristiwa-peristiwa yang banyak mengubah kehidupan saya. Oke, manusia tidak
akan bisa menjawab suatu pertanyaan sampai pada akhirnya ia menemukan jawaban
dari pertanyaan tersebut dengan dirinya sendiri.
There are sincerity on them |
Kalau kita flashback ke masa
lalu, mungkin sekitar 50 atau 70 tahun yang lalu, saat ayah ibu kita masih
kecil, atau bahkan masa dimana kakek nenek kita masih remaja. Ketika kita berbicara
tentang ketulusan, perasaan dan batin mereka masih murni. Belum termanipulasi dengan
budaya, cara pandang, bias kecerdasan, industri hiburan, serta oligarki hawa
nafsu. Dulu, ketulusan tidak mempunyai penafsiran lain. Namun, hari ini,
makna ketulusan seolah sudah menjadi bias. Karena kita hidup di jaman yang
penuh konspirasi, manipulasi dan bahkan nama Tuhan pun sering diseret ke
pusaran manipulasi demi melindungi kepentingan dirinya sendiri. Pernah mendengar
bagaimana seorang koruptor bersumpah atas nama Tuhan bahwa ia tidak melakukan
tindakan korupsi, meski telah ada bukti-bukti nyata yang ditemukan penyidik? Pernah
mendengar bagaimana seseorang bersumpah atas nama Tuhan demi mewujudkan balas
dendamnya? Pernah melihat bagaimana seseorang menangis haru telah menyelesaikan
tesis-nya, padahal tesis itu dia jiplak dari orang lain? Pernah melihat
bagaimana seorang tersenyum penuh kemenangan di dalam sebuah lomba lari,
padahal dia telah melakukan sabotase pada peserta lainnya? Ya, ketulusan dalam
arti kepasrahan memang telah dilakukan, tapi persepsi-persepsi dan tindakan salah
itulah yang telah mencederai arti ketulusan.
Meminjam sebuah filosofi “Kebohongan,
bila terus-menerus didengungkan sebagai kebenaran, akan diterima sebagai
kebenaran”. Memang begitulah adanya, kebohongan tidak berubah. Namun cara pikir
orangnya-lah yang berubah. Penerimaan manusia atas kebohongan yang berubah.
Seni yang paling sulit dalam melakukan sebuah ketulusan adalah justru terletak
pada lingkaran-lingkaran yang mengitarinya. Dari sisi itulah bagaimana kita
memandang ketulusan itu sendiri. Bagaimana persepsi-persepsi yang terbentuk
yang melandasi cara pandang kita. Tidak terlepas juga dari tujuan masing-masing
individu.
Lalu, masih adakah ketulusan yang
benar-benar tulus di muka bumi ini? Tentu. Anda pernah bercermin? Apakah cermin
pernah memberi komentar atas penampilan anda? Dari cermin itulah kita
merefleksikan diri kita sendiri. Apakah wajah kita sedang terlihat ceria,
apakah wajah kita sedang terlihat sedih, apakah wajah kita sedang terlihat
marah? Tidak ada yang lebih tulus dari cermin. Lalu, kalau anda mengatakan
bahwa cermin hanyalah sebuah benda mati. Maka saya katakan, anda punya cermin
di dalam diri anda. Apa itu? Jawabannya adalah hati nurani. Hati nurani
manusia, selamanya tidak akan pernah bisa berdusta. Sekalipun anda melakukan
kejahatan dan bibir anda mengucap anda bahagia. Hati nurani anda tidak akan
pernah sama. Hanya saja, manusia lebih memilih untuk memanipulasi hati
nuraninya sendiri ketimbang mengikuti apa kata hati.
Maka, menjadi tulus saja tidaklah
cukup. Masih ada persoalan lain, apakah ketulusan itu akan menghinakan anda,
atau sebaliknya akan memuliakan. Apakah ketulusan itu hanya untuk mengelabuhi
banyak hal dalam kehidupan, ataukah akan menjadi titik balik bagi seseorang.
Pilihlah ketulusan yang seperti cermin, yang tidak akan pernah menghinakan diri
anda. Ketulusan yang tidak terkontaminasi dan termanipulasi oleh kepentingan
lain. Pilihlah sebuah ketulusan yang tidak akan mencederai arti ketulusan itu
sendiri.
Salam,
Bening Rahardjo
(Read more: English version)
"Do your sincere in goodness, but choose a sincerity that will not make you humiliated"
I ever heard someone say that phrase in a meeting. For first time that sentence was up to my ears, I just nodded it without know the meaning. However, after I remember that sentence again and contemplate its meaning, I have not been able to understand yet.
Yes, goodness. It is common to hear. As long as human kept in religious and humanism principles, they would have been familiar with the word. Religion teaches us to do good thing. Similarly, the humanism principles, which tells us to coexist with other humans in kindness. Yes, it is no longer necessary to explain what the meaning of kindness. Then, sincerity. We also know what the meaning of the word "sincere". Sincere is selfless. Sincere is not manipulated. Sincere is not expecting a compliment. Sincere is not expecting any return. Sincere is sacrifice. Sincere is not expecting someone else to do the same thing to us later. It is sincere. Religion also encourages us to do good thing that based on genuine flavor. Like a mother who loves her child. A child who takes care of his father when his father was old. A philanthropist who gave a toast to bum for lunch. A teacher who gives advice to his/her student. It is all based on sincerity.
But what is sincerity that is not humiliating? Again and again I think hard for the answers. Are all sincerely does not always mean sincere? Is there sincerity that manipulated? Is there sincerity which humiliating someone? After reading some psychology books and think about the answer carefully, I have found the answer through many events that changed my life. Okay, people will not be able to answer a question until he/she finally found the answer to the question itself by his/her self.
Look at that beautiful smile :) |
If
we see flashback to the past, probably around 50 or 70 years ago, when out mom-dad
were kids, or even in that time our grandparents were teenagers. When we are talking about sincerity, their inner and feelings are still pristine. Has not been manipulated by culture, perspectives, intelligence-biases, entertainment, industry, as well as lust-oligarchy. In the past, sincerity has no other interpretation. However, today, the meaning of sincerity as if had become biased. Because
we live in an era full of conspiracy, manipulation (and even God's name was often dragged by someone into manipulation in order to protect own goal). Have you ever
heard how a corrupt swear in God's name that he did not commit his corruption? Ever heard how someone swear in the name of God in order to keep his/her revenge? Ever notice how someone crying because he/she has completed his thesis, but the thesis which he copied from someone else? Ever notice how someone laugh as triumph in a race, while he has sabotage other participants? Yes, indeed sincerity has been made
in the sense of abandonment, but perceptions and actions are wounded sincerity.
Borrowing philosophy of "Lies, when it is constantly touted as truth, will be accepted as truth". Indeed, a lie has not changed. But how the person think which are changed. Acceptance human on a lie that changed. The most difficult art of doing a sincerity is precisely in circles suround it. In terms of how we perceive that sincerity itself. How perceptions are formed underlies our perspective. It cannot separated from individual's goal.
Then, is there any sincerity which still really sincere on this earth? Sure. Have you ever mirrored? Is the mirror ever gave comment on your appearance? From mirrors we reflect ourselves. Whether we look cheerful, whether we look sad, whether we look angry? There is nothing more genuine than a mirror. Then, if you say that mirror is just an inanimate object. So I will say, you have a mirror in you. What is it? The answer is your conscience. Yes, human conscience, forever could never lie. Even if you do mistake, and your lips may give you happy lip-service. Your conscience will never be the same. However, human beings prefer to manipulate his own conscience rather than follow what are their heart tells.
So, be sincere is not enough. There is still another problem, if sincerity will humiliate you, or vice versa will be glorified. Is it sincerity just to fool many things in life, or will be a turning point for someone? Choose sincerity that like a mirror, which will never humiliate yourself. Sincerity is not contaminated and manipulated by other interests. Choose a sincerity that will not injure the sense of sincerity itself.
Regards,
-BR-