"Everyone
suffers at least one bad betrayal in their lifetime. It’s what unites
us. The trick is not to let it destroy your trust in others when that
happens. Don’t let them take that from you.” ― Sherrilyn Kenyon,
Invincible
Akhir-akhir ini dunia maya sedang ramai dengan video seorang artis sebut saja W yang meminta maaf pada artis lain M, entah kaitannya dengan masalah rumah tangga atau yang lain. Saya juga termasuk jadi korban as a viewer dari unggahan video itu. For real, saya sendiri juga bingung sebenarnya apa yang ingin dimintakan maaf oleh artis W kepada M ini. Berulangkali W mengatakan "Saya sungguh ikhlas ingin meminta maaf", tetapi tidak merasa dirinya bersalah sehingga dia memakai kalimat "Saya sudah nggak peduli sebenarnya saya benar atau salah. Intinya saya mau meminta maaf!" (So guys... what do you think the words of 'apologize' is USED FOR, eh?). Setelah video itu terunggah, masyarakat sibuk menjadi komentator. Ada yang berpendapat: "Mengapa meminta maaf harus melalui media, kenapa tidak datang langsung kepada yang bersangkutan?". Ada juga yang berpendapat nyinyir: "Maksudnya apa ya? Mencari sensasi?". Ada yang menyeru kepada yang lain: "Mengapa orang sudah meminta maaf tapi tidak diberi maaf, Tuhan saja Maha Pengampun!". Ada pula yang berpendapat alim: "Setiap manusia kan tidak terlepas dari kesalahan, apa susahnya memaafkan? Bayangkan kalau itu kamu yang meminta maaf" .
WEW...
Stop!
Saya di sini bukan untuk mengajak Anda semua mempergunjingkan permasalahan drama artis. Saya hanya ingin mengambil satu analogi dari kasus itu dalam tulisan yang ingin saya posting ini. Topik yang ingin saya bahas adalah 'Semudah apa sih meminta maaf? Sesukar apa sih memberi maaf?'. Setiap dari individu manusia pasti menjalin hubungan dengan individu lain, bisa dalam bentuk keluarga, persahabatan, persaudaraan, pertemanan, tetangga, organisasi, guru dengan murid, bos dengan anak buah, pedagang dengan pembeli, rekanan bisnis, atau juga kekasih. Namun, tidak semua hubungan akan berjalan dengan mulus, hubungan bisa saja diwarnai dengan pertikaian, pertengkaran, perdebatan, kekecewaan, penghinaan, bahkan mungkin dalam konteks yang lebih tinggi adalah pengkhianatan.
Setiap bayi manusia lahir dengan hati yang sama, perjalanan kehidupan masing-masing yang nantinya membedakan sifat dan karakter satu dengan yang lain. Konstruksi karakter seseorang akan terbangun dari lingkungan keluarga, perwalian, orang-orang terdekat, lingkungan sosial, agama dan pendidikan. Perbedaan karakter, pemikiran dan sifat inilah yang sering menjadi penyebab gesekan dan konflik dalam suatu hubungan. Semua dari kita pasti tidak terlepas dari kesalahan, kita pasti pernah meminta maaf kepada orang lain. Sesekali, ada juga orang-orang yang berbuat salah kepada kita. Berlainan posisi, kali ini kita yang memberi maaf. Manusia bisa menjadi makhluk yang tidak dapat diprediksikan. Bisa jadi dalam satu menit yang lalu sedang tertawa-tawa bahagia dengan seseorang, bisa jadi dalam menit-menit berikutnya kita melakukan kesalahan. Entah disengaja maupun tidak disengaja. Kita perlu menghargai seseorang yang mau meminta maaf karena meminta
maaf bukanlah suatu hal yang mudah, sampai ada sebuah peribahasa mengatakan
orang yang meminta maaf adalah seorang pahlawan.
Bicara tentang memaafkan, tentu saja ini juga bukan suatu hal yang mudah dilakukan. Memaafkan itu berarti mengikhlaskan luka atau kejadian. Masing-masing dari kita pasti pernah merasa terluka, siapapun yang membaca ini pasti pernah disakiti, mungkin pernah dihina, mungkin juga pernah dihianati oleh orang yang kita percaya. Bisa jadi kita akan merasakan hal yang paling menyakitkan dalam sebuah hubungan. Seburuk apapun relasi kita dengan seseorang, apabila kita dilukai pasti tetap akan terguncang perasaan kita. Sampai dalam kondisi tertentu, perasaan terluka ini juga dapat menyerang harga diri (self esteem) kita. Berbagai pertanyaan akan muncul setelah peristiwa pahit tersebut. Secara otomatis kita akan me-reload kejadian yang menyakiti kita. Sehingga akan muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikiran kita, misalnya: "Mengapa dia tega melakukan/mengatakan itu kepadaku?"; "Apakah aku memang pantas untuk disakiti?"; "Apa salahku?"; "Apa kekuranganku?"; dan lain-lain. Perasaan terguncang, kecewa, marah, rendah diri, terluka, juga semua emosi negatif yang mengikutinya itu pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan kita kepada orang yang telah menyakiti kita. Banyak orang yang pada akhirnya memilih untuk tidak berhubungan lagi dengan orang yang sudah merusak kepercayaan. Ada pula yang takut pada hubungan baru karena rasa kepercayaan kepada orang lain sudah terluka.
Nah, situasi yang terkadang HARUS kita hadapi adalah apabila orang yang telah menyakiti tiba-tiba datang meminta maaf kepada kita. Reaksi? Tentu beragam. Pilihannya: membangun kepercayaan kembali dan melanjutkan hubungan; atau memilih untuk mengakhiri hubungan karena sudah tidak ada kepercayaan lagi.
Sebenarnya, menurut saya, tindakan memaafkan adalah suatu langkah besar yang bertujuan kembali kepada diri sendiri, dan BUKAN kepada orang lain. Kita memberi maaf BUKAN untuk menyembuhkan orang yang telah melukai kita, melainkan untuk menyembuhkan harga diri kita yang telah diserang. Sebab pada dasarnya ketika kita memaafkan, itu artinya kita sedang menciptakan sebuah ruang damai untuk hati kita sendiri. Kita berhak untuk menangis ketika tersakiti, kita berhak melawan ketika tertindas. Kita berhak untuk membenci orang yang melukai, kita berhak untuk marah kepada penghinaan dan pengkhianatan. Namun, kita JAUH LEBIH BERHAK untuk merasakan damai. Kita tidak boleh membenci semua bunga, hanya karena pernah tertusuk satu duri. Kita tidak boleh membenci hitam, karena justru perbedaan warna-lah yang menciptakan hitam.
Terima segala bentuk emosi negatif Anda: rasa marah, sedih, kesal, kecewa, perih, muak, benci, dll. Sebab, semakin Anda menolaknya, maka akan semakin lama perasaan itu bersarang dalam jiwa Anda, semakin dalam, semakin mengendap dan pada akhirnya menjadi satu kata: dendam. Jangan! Kalau memang tidak bisa dihapuskan, setidaknya sedikit saja yang disimpan. Mengapa? Sebab sekali Anda merawat dendam, limbahnya akan begitu pekat dan tidak mudah hilang begitu saja. Apakah Anda rela mengotori hati dengan limbah pekat yang harus disandangnya bertahun-tahun? Saya sih tidak. Toh, tak ada gunanya juga memendam emosi negatif dalam diri sendiri.
Lalu, bagaimana bila lukanya begitu perih? Sangat amat perih dan hampir-hampir tidak termaafkan?
Dear pembaca, saya sangat memahami bagaimana luka itu akan terasa, sebab saya pribadi pernah mengalami hal-hal yang amat sangat perih, bukan hanya sekali dua kali. Kalau saya tidak pernah mengalami kejamnya dendam, tentu saya tidak akan bisa membaginya di sini. Rasa-rasanya tidak bisa termaafkan seumur hidup. Rasa-rasanya membuat saya membenci seisi dunia. Rasa-rasanya membuat saya muak dengan orang-orang baru. Rasa-rasanya saya tidak pernah lelap tertidur. Rasa-rasanya mimpi saya hanya tentang gambaran yang sama. Rasa-rasanya saya terus mencium bau menjijikkan dimana-mana. Rasa-rasanya saya bahkan sulit menangis. Rasa-rasanya bahkan saya ingin mati. Saya membawa dendam itu bertahun-tahun, hingga membuat saya jatuh dalam kondisi depresi. Saya PERNAH melalui masa-masa pahit itu. Tidak hanya sekali. Saya telah BERHASIL melewatinya.
Saya telah memaafkan masa lalu ketika orang-orang menyakiti saya, mencederai harga diri saya, orang-orang yang bahkan dengan sengaja menghina dan memperlakukan saya secara tidak manusiawi. Saya memaafkan diri saya sendiri atas kenaifan dan kepolosan sehingga saya berulangkali membiarkan hal itu terjadi. Saya TELAH memaafkan. Meski, tidak pernah terucap permintaan maaf dari mereka. Saya mengikhlaskan segala hal yang begitu menyakitkan. TETAPI, bukan berarti saya bisa berhubungan dekat dengan mereka seperti dulu. Wajar. Manusiawi. Saya BERHAK untuk mendapat lingkungan baru yang lebih positif. Itulah yang kemudian saya lakukan. Tanpa perlu menaruh rasa dendam/benci kepada orang-orang di masa lalu, saya perlahan move on kepada lingkungan yang baru, yang saya anggap mau menerima saya secara lebih bermartabat dan dapat memotivasi saya untuk menjadi orang yang lebih baik. Ambil pelajaran baiknya, bahwa masa-masa perih itu menjadikan Anda sebagai orang yang jauh lebih tangguh. Saya tidak membenci orang-orang di masa lalu, saya tidak menghindarinya. Saya berlaku biasa, secukupnya, sewajarnya. Ketika bertemu dan perlu menyapa orang-orang yang telah menyakitimu, sapalah. Ketika mereka tidak membalas sapa, berdendanglah tentang lagu yang kau suka dan hiruplah aroma angin yang menyapu wajahmu. Ketika mereka meminta maaf darimu, terima dan cukuplah hatimu yang tahu bahwa engkau telah melepaskan. Saat hati kecilmu meragukan tulus/tidaknya permintaan maaf itu, serahkan kepada Tuhan-mu. Biarkan itu menjadi urusan NYA dengan hamba-Nya.
Lalu bagaimana jika mereka ingin kembali berhubungan baik dengan kita?
Sungguh, kamu adalah makhluk ciptaan Tuhan yang diberi akal budi untuk
pandai mencerna tanpa mengulangi kesalahan yang sama satu kali lagi. Dear, just remember that you do have control over how you allow yourself to be treated. Kalau Anda memutuskan untuk bisa berhubungan dengan baik seperti semula dengan orang yang telah melukai Anda berulang kali, good for you. Anyway, may I ask you something? Are you angel with broken wings that only fly when loved? Apabila orang tersebut benar-benar sudah berniat secara tulus dan ikhlas merubah sikap buruknya kepada Anda, maka go for it. Jika Anda tidak yakin bahwa orang tersebut sudah benar-benar menyadari kesalahannya? Let me warn you in advance--to become an angel with a broken wings--are not logical from a human perspective. Really. Sesungguhnya dengan melepaskan segala yang terkait dengan orang tersebut adalah hal yang baik, bahwa Anda tidak berusaha untuk menyelamatkan diri sendiri, tetapi Anda berusaha untuk menyelamatkannya. Mengapa? Jika Anda melepasnya, berarti Anda telah memberi kesempatan kepada orang lain untuk tetap menjaganya. Agar tidak mengulangi kesalahan serupa seperti yang telah dilakukannya kepada Anda. Itulah saatnya bagi Anda untuk mendoakan orang tersebut agar jauh lebih baik.
Kalau Anda merasa telah berkali-kali melukai seseorang kemudian Anda meminta maaf kepada orang tersebut, meski telah dimaafkan bukan berarti Anda bisa memaksa orang tersebut untuk segera kembali berhubungan baik seperti dulu, tertawa-tawa seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak semudah itu. Sebab, dia BERHAK untuk menemukan kedamaian hati dengan caranya sendiri. Berpikirlah positif bahwa sesungguhnya dia telah berbesar hati memberi Anda kepercayaan kembali. Walaupun masih berupa keping-keping yang ingin disatukannya. Anda hanya perlu waktu untuk membuktikan kepadanya bahwa Anda benar-benar ingin berubah.
Jadi, hal positif yang selalu saya tanamkan pada diri saya sendiri sejak hari itu adalah: Bahwa hal-hal yang melukai saya saat ini dan ke depannya nanti, tidak jauh lebih sakit dari perasaan waktu itu. Saya bisa melaluinya. Saya bisa bangkit. Saya BERHAK untuk lepas dari benci. Saya BERHAK untuk lepas dari amarah. Saya BERHAK untuk tidak mendendam. SAYA SANGAT BERHAK UNTUK BAHAGIA.
So, guys, saya akan tutup tulisan ini dengan kalimat berikut:
Bagi kalian yang ingin meminta maaf: Hanya karena kamu selalu dimaafkan, bukan berarti kamu bisa terus menyakiti. Mampu memaafkan berarti mampu untuk mengikhlaskan, tetapi mengikhlaskan tidak selalu disertai dengan kata melupakan. Ada yang ikhlas memaafkan tapi tidak melupakan, ada yang memilih untuk melupakan tanpa bersedia memaafkan. Mungkin, karena sakitnya terlalu dalam. Jadi berhati-hatilah dengan sikap dan tutur katamu sendiri.
Bagi kalian yang tersakiti: Memberi maaf atau tidak memberi maaf itu pilihan. Anda tidak perlu memberi label benar kepada sesuatu yang memang salah. Luka, tangis, kekecewaan, penghinaan, pengkhianatan memang tidak selalu bisa disembuhkan oleh waktu. Amarah, dendam, kebencian, perlawanan itu hak Anda. Tapi ingat Anda juga jauh lebih berhak untuk hidup dalam damai dan bahagia. Anda berhak untuk dikelilingi dan bersama orang-orang yang mendukung dan mencintai Anda dengan energi positif. Jangan memilih menyimpan limbah bila Anda mampu memekarkan bunga, jangan menjadi api bila Anda mampu menjadi air sungai yang menyejukkan. Apabila Anda tidak ingin berhubungan dengan hal-hal yang berulangkali menyakiti Anda, cukup ikhlaskan semuanya, pergi dan carilah hal baru. Sebab Anda berungkali pun berhak untuk bahagia.
Salam sayang,
Bening Rahardjo