Credits to Janista istockphoto.com |
Salah satu kegiatan sosial yang saya jalani adalah menjadi tenaga pendidik untuk anak-anak, tiga kali dalam seminggu. Pada dasarnya saya menyukai dunia anak-anak, jadi bukan hal baru apabila saya dihadapkan dengan tingkah polah mereka yang terkadang membuat tertawa, kadang membuat berpikir keras, kadang membuat kita menyadari hal-hal kecil yang kadang terlupakan, pun juga kadang membuat kita jengkel. Berhadapan dengan dunia anak memang memerlukan tenaga ekstra dalam mengolah kesabaran dan emosional diri. Jangan sampai bertindak abuse verbal maupun fisik kepada anak sebab kekerasan akan menimbulkan dampak buruk untuk perkembangan anak tersebut. Kebijaksanaan dan kearifan perlu dikedepankan tentunya.
Memahami dunia anak memang bukan suatu hal mudah. Karakter satu dengan yang lain pun perlu dipahami apabila kita ingin lebih dekat dengan mereka. Daya tangkap anak tidak sama: ada yang cerdas, ada pula yang lambat; ada yang motoriknya cukup energik, ada yang sedikit lamban; ada yang emosinya mudah terdistraksi, ada pula yang cukup tenang mengelola. Semua karakter ini cukup spesifik apabila kita mampu melihat dan mengamati secara lebih dekat. Sebagai tenaga pendidik tentunya adalah amanah yang besar bagi saya. Secara pribadi saya memang belum ada pengalaman sebagai orangtua karena saya juga masih belum menikah, karena itu peranan saya sebagai pengganti orangtua mereka di tempat pendidikan adalah tanggung jawab yang mesti saya perankan sebaik-baiknya.
Awalnya saya memang hanya dianggap sebagai tenaga pendidik bantu, tetapi lambat laun kedekatan secara psikologis dengan mereka pun ikut terbangun. Ada semacam perasaan bahagia bila bertemu dan memandang senyum pada wajah-wajah mereka. Bahagia sederhana yang tidak ternilai ketika tingkah polah mereka membuat saya sering tertawa. Lama-lama mereka juga terbiasa dengan kehadiran saya, sehingga kalau saya tidak datang (lalu diganti tenaga pendidik lain) mereka pun merasa ada bagian yang hilang. Pertemuan berikutnya mereka akan bertanya: "Kakak kemarin kemana?" atau "Bu Guru kok kemarin nggak masuk?".
Ada 3 kelas yang terdiri dari premediate, mediate dan intermediate. Kebetulan saya mengampu kelas mediate dengan sejumlah 17 -18 anak. Jika hari cerah semua datang bahkan ada anak-anak yang pindah bergabung di kelas saya. Namun, jika hari hujan mungkin hanya sekitar 10-12 anak yang datang. Usia mereka bermacam antara SD kelas 1 hingga SD kelas 5. Di kelas premediate ada sekitar 15 anak pula. Kadang saya merangkap sebagai guru bantu juga di kelas premediate yang isinya rata-rata usia Paud hingga TK B.
Metode pengajaran saya memang santai tetapi tetap ada target yang menjadi indikator pembelajaran. Metode menghafal, menulis, berbicara dan praktek saya kembangkan setiap pertemuan. Meski saya mengajar dengan santai, bukan berarti tidak ada hukuman bagi anak yang memang bersalah. Hukuman juga sebisa mungkin saya terapkan dengan bijaksana agar si anak mengerti aturan dan nilai-nilai kesopanan. Di kelas mediate, saya menerapkan aturan-aturan tertentu dengan perjanjian bersama mereka. Jadi ketika ada anak yang melanggar aturan tersebut, tetapi saya tidak melihatnya, teman-temannya yang lain akan mengingatkan (atau bisa juga lapor kepada saya). Hukuman pun diberikan sesuai dengan perjanjian kami bersama. So far, hal ini bisa saya terapkan dan masih berjalan dengan baik. Selain memberikan tambahan ilmu dan wawasan, meningkatkan aspek motorik, pendidikan mengenai adab dan etika pun juga selalu saya selipkan. Pujian bagi mereka yang memang berprestasi lebih juga sering saya lakukan, agar ada kebanggaan pada diri anak tersebut.
Saya membatasi hal-hal yang memang tidak terlalu penting untuk dilakukan: marah/emosi kepada anak. Mengapa? Pertama, energi yang seharusnya keluar positif dari diri kita akan menjadi tidak seimbang. Kedua, membuat mood saya menjadi buruk untuk mengajar. Padahal, seberapapun buruk suasana hati kita, anak-anak tersebut berhak mendapat ilmu. Ketiga, jika anak tumbuh dan berada dalam lingkungan yang positif, tentu mereka pun akan mencontoh dan berkomitmen pada hal-hal positif pula. Meski hanya 1 jam hingga 1,5 jam setiap kali pertemuan, namun saya menekankan pada kualitas pendidikan anak. Terlalu lama belajar juga akan membuat mereka bosan dan lelah. Sehingga saya sering mengkombinasikan dengan ice breaking dalam metode mengajar.
Banyak manfaat yang saya rasakan setelah menjalani side work sebagai pendidik. Saya ingin anak-anak mencintai saya, karena itu saya pun harus mendidik mereka dengan cinta dan ketelatenan. Intinya, saya harus menjadi role model yang berkualitas bagi mereka. Bagi diri saya sendiri setidaknya, sangat sangat melatih kesabaran dan kecerdasan saya dalam memanajemen emosional. Membuat saya lebih kreatif dan melatih daya ingat saya juga untuk selalu belajar pada sesuatu wawasan baru. Menjadikan saya terpacu untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Apabila mengingat mereka, saya menyadari bahwa saya jauh dari kata baik, sehingga saya pun harus menjadi pribadi yang baik, untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak didik saya. :)
Regards,
Bening