Terkait dengan kondisi gunung Merapi yang hingga kini fluktuatif, banyak hal yang ingin saya bagi dengan Anda., itupun jika Anda berkenan menjadikan diri Anda layaknya sebagai seorang teman yang siap ‘mendengarkan’ aduan dan cerita saya –yang saya rasa juga banyak teman-teman yang pernah mengalami apa yang akan saya bagi. Walaupun ini adalah pengalaman pertama, tetapi pengalaman-pengalaman pertama inilah yang mengkondisikan saya menjadi seorang yang lebih taff lagi. Hidup menjadi serangkaian rintangan yang senantiasa saya rasakan dapat saya atasi. Seandainya saya tidak dihargai oleh orang lain, saya tahu saya dapat mengandalkan keluarga dan harga diri yang telah mereka bina untuk saya kembangkan. Dalam artian tertentu, ini merupakan kekurangan saya sebagai makhluk Tuhan, sebab saya tidak menyadari apa yang terjadi dalam kehidupan orang lain.
Tepatnya, sejak letusan Merapi yang pertama tanggal 26 Oktober lalu hingga tanggal 29 Oktober, saya sudah diajak beberapa rekan menggalang dana untuk para pengungsi, yang kemudian saya langsung menyetujui. Beberapa rekan saya mengajak saya untuk menjadi relawan yang membantu dapur umum di salah satu barak pengungsian. Ada juga beberapa yang mengajak melalui organisasinya, ada juga yang melalui komunitas, dan ada yang mengajak dari kampus. Tapi saya sendiri saat itu hanya sebatas ikut menyiapkan bantuan-bantuan dan mencarikan dana saja, beberapa rekan saya yang akhirnya berangkat menjadi relawan. Saya sendiri untuk kondisi seperti ini hanya mengajak rekan sekedarnya untuk membantu dana yang nantinya akan kami belikan kebutuhan untuk para pengungsi melalui pesan singkat yang saya kirimkan, dan dari balasan mereka ada yang sudah ikut organisasi dari kampus, dan ada yang tidak tertarik, jadi ya sudah, saya tetap fokus pada rekan-rekan yang di awal saja. Selama banyak rekan saya ada di atas, saya selalu update info kondisi Merapi dari mereka, karena kakak saya sendiri juga ada yang tinggal di sekitar atas kampus Universitas Islam Indonesia (UII). Jelas, saya juga selalu kepikiran dengan kondisi mereka, makanya saya sering wira-wiri ke atas juga untuk menginap dan nengokin keluarga. Kantor kakak saya ada di Bantul, jadi setiap siang, hanya ada isterinya dan dua anak kecil keponakan saya di rumah, itulah mengapa kakak saya selalu meminta saya wira-wiri untuk menemani isteri dan anak-anaknya, takut kalau sewaktu-waktu Merapi ada apa-apa. Di dekat rumah kakak saya, ada posko-posko bantuan juga, karena itulah saya pun sedikit banyak tahu kondisi di atas seperti apa. Karena saya juga lumayan mengenal beberapa tetangga kakak saya yang menjadi relawan di posko tersebut, akhirnya saya sering bantu-bantu sekedarnya di posko itu untuk menyortir barang bantuan yang akan didistribusikan ke atas misalnya. Walaupun bukan pos pengungsian, hanya sekedar posko bantuan saja, tapi cukup sibuk juga. Setiap hari batuan-bantuan dari bawah di’pool’kan di situ, kemudian oleh koordinator nanti akan dicocokan dengan list, mana-mana saja posko yang butuh bantuan. Merapi benar-benar mengajarkan kita pada kepedulian sesama. Saya tahu betapa beratnya medan dan bahaya yang sebenarnya dipikul oleh para relawan dan tentara yang berjaga di atas, namun mereka tetap mendahulukan para pengungsi tanpa rasa cengeng ataupun takut. Inilah yang sangat saya salutkan dari para relawan itu!
Begitu kemudian terjadi letusan yang amat dahsyat dini hari jumat, sampai kakak saya dan keluarganya turun dari atas (saat itu instruksi dari pak Surono langsung 15 km area Merapi harus steril). Saya sendiri saat itu tengah di kosan dan memang sebelumnya menerima kabar forward’an sms dari seorang rekan yang kebetulan juga menjadi relawan di salah satu posko, bahwa mereka menerima kabar dari teman-teman di pos pengamatan, bahwasanya Merapi mengalami pergerakan yang sangat aktif di grafik mereka, sehingga sms itu dikirim dengan maksud agar semua posko waspada. Malam itu juga saya benar-benar tidak bisa tidur (saya baru sadar, saya sudah tidak tidur seharian dari kemarin, karena wira-wiri ke atas, cemas dengan keluarga kakak saya), hingga untuk menahan kantuk, saya membuat beberapa gelas kopi dan rela keramas tengah malam demi menjaga kelopak mata agar tidak berat. Nah, tengah keramas itulah, tiba-tiba Merapi bergemuruh dahsyatnya....hingga akhirnya saya dan keluarga kakak saya mengungsi (artinya: pulang ke Solo). Di perjalanan, benar-benar bau belerang menyengat dan hujan pasir yang lebat. Beruntunglah, di jalan, para relawan ada yang mencegat perjalanan kami di perempatan-perempatan, untuk mengguyuri kaca depan mobil dengan air, kemudian membagi-bagikan masker. Satu kalimat luar biasa yang mereka sempat ucapkan ke setiap pengungsi: “Hati-hati yaa Pak, Bu! Ini maskernya....!”
Sungguh luar biasa! Mereka masih sempat-sempatnya mengatakan hati-hati kepada orang lain, yang bahkan kondisi mereka sendiri saat itu juga panik dan rupanya sudah tidak jelas akibat guyuran pasir dan abu vulkanik Merapi! Coba, pahlawan besar yang sangat hebat bukan?! Untuk mengatakan sekadar ‘hati-hati’ saja kepada pengungsi, pastilah diucapkan dari hati yang terdalam mereka saat itu, kalau tidak, untuk apa mereka repot-repot mengucapkannya? Cukup diam saja, atau panik ikut lari juga bisa.
Sungguh, banyak hal hebat yang saya temukan dari pengalaman-pengalaman saya saat bencana erupsi Merapi....
Ini beberapa foto terkait Merapi yang saya sempat ambil...(tapi tidak mungkin ketika kita tengah di pos kita mau foto-foto kaan? *kalo gak minta digebukin para pengungsi, silakan coba* Jadinya saya foto pas di bawah dan di dekat tempat kakak saja).
antrean di K24 Jakal bawah sewaktu turun hujan abu yang pertama sampai ke kota |
ketebalan abu di kosan saya |