Sejak kecil, aku menyadari kulitku gelap seperti masyarakat Jawa pada umumnya. Bahkan teman-teman kakakku semua mengatakan kalimat yang sangat menusuk kadang, “Apa kau sungguh adik kandungnya? Mengapa warna kulit kalian berbeda? Kakakmu terlihat cerah sekali.” Menyakitkan bukan? Itu pernah betulan aku alami saat menjalani Masa Orientasi Siswa ketika masuk ke SMA Negeri di daerah asalku dulu. Kebetulan, yang memimpin banjarku adalah anak OSIS, teman kakak (karena aku dan kakak selalu bersekolah di sekolah yang sama, kecuali saat kuliah, jarak kami hanya satu tahun di tiap tingkatan, dia selalu di atasku), jadi kabar bahwa kakakku mempunyai adik yang jadi siswa baru sudah menyebar ke anak OSIS. Aku merasa kesal kalau sudah begitu. Namun, perlahan aku akan tunjukkan bahwa dengan hati yang bersih, semua itu bisa mengalahkan kecantikan fisik.
Kata saudara-saudaraku dari bapak, Eyang Kakung dari bapak kandungku adalah seorang blasteran, aku tidak tahu persis bagaimana silsilahnya dan dari mana asal-muasalnya. Namun, yang dapat dilihat pasti secara fisik adalah keturunan dari gen mereka sangat kuat: badan mereka yang tegap besar, tingginya yang di atas tinggi orang Indo pada umumnya, kulitnya bersih-bersih putih-kemerahan, gigi putih tertata rapih dan berhidung mancung. Rambut mereka berombak-sedikit banyak condong ke arah keriting kecil. Bapak dan kakak kandungku masih mewarisi ukuran badan besar, tegap, tinggi, dan rambut keriting. Karena itulah kulit kakakku juga bersih, cerah, berbeda denganku yang kecoklatan, postur tubuh tidak terlalu tinggi, bertulang tubuh kecil-kurus, rambutku juga lurus sewaktu kecil hingga remaja (sekarang terlihat sedikit mengombak seperti saudara-saudaraku keturunan dari gen ibu). Saat remaja, kami terlihat kontras. Kakak dengan badannya yang tinggi sekali, kulit cerah dan rambut keriting. Sedangkan aku pendek, berkulit gelap dan berambut lurus.
Mungkin, karena itulah aku sebagai wanita menjadi begitu mengagumi sosok wayang Sembodro, atau yang memiliki nama kecil Roro Ireng. Sifat anggun, anteng, berbudi halus dan cerdas yang aku kagumi. Sembodro kecil memang kulitnya hitam legam, karena itu dia dipanggil Roro Ireng. Namun, setelah menjadi isteri Arjuna, dia berubah menjadi wanita cantik yang banyak disukai Ratu di berbagai kerajaan, tetapi Sembodro adalah sosok wanita yang sangat menjunjung kesetiaan dan kecintaan pada suaminya. Eyangku gemar mirsani ringgit (wayang), walaupun sudah jarang digelar pertunjukan langsung, Eyang tetap bisa menikmati di layar kaca televisi dulu, yang setiap malam minggu sering ada siaran wayang langsung. Biasanya dalangnya Ki Mantep Soedarsono yang begitu digemari Eyang. Selain beliau berasal dari daerah yang sama dengan kami, dalang yang satu itu juga sangat begitu memahami dan memegang pakem Jawa. Ya, pakem. Semua apa yang dilakukan orang Jawa ada pakemnya, begitu kata Eyang Puteri. Pakem itu aturan atau adat yang diugemi (dipegang dengan sungguh), seperti prinsip hidup. Lakon wayang selalu menggambarkan waktu yang berputar mengikuti siklus. Maksudnya bukan mengajari kita untuk berpasrah pada kekuatan yang tidak terelakkan. Ajarannya justru bahwa hal-hal yang tidak berubah dalam hidup dapat menjadi sumber kekuatan dan pegangan bagi kita untuk menghadapi tantangan, dan untuk mengubah keadaan.
Cerita-cerita wayang tidak berubah selama berabad-abad, tetapi tetap kaya dan luwes. Di dalamnya selalu banyak misteri dan hal baru. Lagipula, dalang selalu menyisipkan masalah-masalah yang menyangkut desa, politik, kondisi ekonomi, sejarah, dan cerita-cerita baru. Tapi satu yang tidak pernah berubah. Setiap wayang menunjukkan perbedaan tajam antara yang baik dengan yang jahat, dua sisi jiwa dan tindakan manusia. Bahwa kebaikan selalu menang. Mungkin, karena salah satu ajaran inilah, Eyang gemar menceritakan tokoh perwayangan dan lakon wayang setiap setelah makan malam. Kebaikan menang atas kejahatan. Itu yang kemudian kupegang menjadi prinsipku. Aku bisa menunggu bertahun-tahun karena aku berpegang pada apa yang kuanggap benar dan aku yakin bahwa semua akan menjadi beres suatu saat nanti. Sikapku ini sering kali mengherankan teman-temanku. Apalagi setelah menginjak bangku pendidikan tinggi, aku memiliki teman yang beragam latar budaya dan daerah asalnya. Teman-teman dekatku sendiri, ada yang dari Palembang, Jakarta, Banyuwangi, Padang, Batak, Sunda, Kebumen, Blitar, semua berasal dari watak yang keras dan kuat tegas semua. Walaupun aku sudah cukup lama bersahabat dekat dengan mereka, aku tetap memiliki mentalitas Jawa yang terpendam begitu mengakar. Sikapku ini yang sering mengherankan teman-temanku yang kebanyakan dari luar Jawa. Aku dibilang terlalu lemot dan sabar. Bagiku, inilah sikap orang Jawa yang ditampilkan dalam wayang, suatu kepercayaan tentang kesabaran. Aku begitu sabar dengan orang yang telah menghianatiku, menipuku bahkan memfitnahku. Aku menunggu saja dengan tenang, hingga akhirnya orang-orang itu akan berjatuhan sendiri. Itu pula yang diajarkan Eyang Kakungku semasa hidup beliau mendidik aku.
Meskipun lembut, Eyang selalu menerapkan disiplin yang ketat di Ndalem Martanan itu. Tidak boleh bersuara gaduh saat makan. Makan di meja makan. Tidak usah mengeluh apa yang dimakan saat itu, disyukuri saja, semuanya akan menjadi nikmat saat makan. Eyang juga akan mengikatku di cagak (soko rumah) dengan jarik (kain jarit) lalu mencambuki tubuhku dengan cambuk rotan. Itu jika aku melakukan kesalahan yang sangat tidak bisa ditolerir atau aku berbohong. Beliau menekankan pentingnya kejujuran. Kalau kami mengulangi kesalahan yang sama, hukumannya akan lebih berat. Walaupun di rumah kami banyak yang ndherek (istilah untuk rewang yang mengabdi), beliau berdua tidak pernah memanjakan kami untuk hanya duduk di depan saja, ongkang-ongkang istilahnya. Beliau mengajariku hal penting: “Jangan menunda pekerjaan. Kalau bisa dilakukan sekarang, lakukan segera!”
Aku tidak pernah merasa hidup miskin, meskipun aku kira memang begitu. Kami tinggal di Ndalem Martanan yang sederhana. Sebuah rumah joglo tua yang sangat luas. Bangunan itu masih terhitung baru, bangunan utamanya dibangun sebelum kemerdekaan RI, tahun 1940. Namun, pendhapinya baru dibangun tahun 1961. Terdiri dari 4 bangunan: Pendhapi (pendopo); Omah Ndalem (bangunan dalam utama); Gandhok Samping (bangunan samping sebelah bangunan utama); dan Gandhok Wingking (bangunan dapur belakang dan rumah di pekarangan belakang). Rumah luas itu pernah menjadi saksi kelahiran setiap putera-puteri Eyang yang berjumlah 9 orang. Rumah itu menjadi saksi betapa kuatnya Eyang dalam bekerja keras demi anak cucunya. Setelah semua merantau, hanya tinggal Eyang Kakung-Puteri, Ibu, Kakak, dan aku di sana. Hidup kami sederhana. Tapi begitu bahagia. Kami merasa lengkap dengan adanya mereka dalam hidup kami. Eyang Kakung pernah berkata padaku: “Hidup prihatin memang sakit, namun akan banyak hal indah di dalamnya yang bisa menjadi pelajaran dan penguat untuk pribadimu ke depan nanti. Kau harus tersenyum dan kendalikan raut mukamu di depan orang. Jika keadaanmu telah berubah, bersikaplah luwes dan tetap pada prinsipmu. Jangan ada rasa iri, dengki, dendam, merendahlah, merunduklah. Yang berbudi lebih baik akhirnya.” Aku begitu terkesan dengan kalimat itu.