Aku lahir dan menjadi bagian dari kebudayaan Jawa yang sudah berkembang beribu tahun lamanya, dan bertahan di tengah perubahan jaman. Kata Eyang Kakungku, orang Jawa biasanya anteng, tenang. Mereka menghormati orangtua, serta menghargai hierarki dan atasan. Pada umumnya orang Jawa tidak suka menunjukkan emosi. Bahkan ketika marah, mereka tetap sopan. Orang luar Jawa sering salah kira dan menganggap sopan santun Jawa sebagai tanda kerendahan hati. Sopan santun ini sering membawa masalah, karena orang lain tidak bisa menduga apa yang aku pikirkan. Karenanya, aku juga harus punya prinsip tegas, “Kadang dalam situasi tertentu, kita harus punya garis batas ketegasan sikap kita atas: ya, tidak, hijau, merah, baik, buruk. Itu semua agar kita tetap berpegang pada prinsip. Dan orang tidak menjadi salah sangka karena kelemahan kita atas ketegasan.”
Aku begitu sangat amat akrab dengan budaya Jawa. Karena semenjak kecil, dari aku lahir, aku ikut tinggal dan dibesarkan oleh Eyangku. Bukan karena Ibuku tidak sayang padaku, tapi karena rasa sayangnya itulah, beliau ‘menitipkan’ aku pada orangtuanya. Istilah menitipkan dan dibesarkan itu, disebut ‘ngengger’ dalam bahasa Jawa. Ibuku tidak lantas melepaskan begitu saja, beliau juga ikut tinggal di Ndalem Martanan itu bersama kami. Hanya saja aktivitas serta pekerjaannya yang terkadang ‘membatasi’ kedekatan kami, kedekatan yang seharusnya terjalin alamiah antara Ibu dan anak. Kedua Eyangku, beliau orang yang sangat memegang adat Jawa. Orang yang sangat berbudi halus dan sopan dalam Jawanya. Ajaran dan gulawentahan yang sangat menjunjung tinggi adat serta kesopanan Jawa. Banyak hal dan pelajaran yang kuperoleh dari masa kecilku di Ndalem Martanan. Kalau bertamu di lingkungan orang Jawa, duduklah dengan merapatkan kaki. Orang Jawa tidak pernah menyilangkan kaki ketika bertamu atau menerima tamu, karena dianggap tidak sopan. Mereka juga tidak pernah menaruh kaki di atas meja, jika Anda melakukan itu, bisa dianggap kurangajar. Budaya orang Jawa juga percaya pada ‘ngelmu’, atau kekuatan ilmu gaib. Di masa kecilku, Eyangku—maupun melalui rewang-rewangnya—selalu memberiku jamu-jamuan tradisional untuk menyembuhkan demam atau luka. Jamu itu dibuat dari tumbuh-tumbuhan empon-emponan, akar-akaran dan daun-daun pepohonan lain. Sambil meminumkan jamu, Eyang Puteri membisikkan doa, lalu meniupi bagian badanku yang demam. Untuk obat infeksi, Eyang Kakung biasanya memberi getah daun pohon dapet ke bagian yang luka. Sedangkan Eyang Puteri, ia mengunyah daun-daunan dan akar-akaran lalu meludahkannya di atas lukaku. Aku tidak merasa jijik. Tak lama, luka itu cepat mengering, darahnya juga dibersihkan. Saat kecil, aku pernah disengat lebah di bagan kelopak mata, rasanya sakit bukan main, sampai badanku demam. Eyang Kakung segera mencari daun-daunan, mengunyahnya, mencampurnya dengan tembakau lalu diludahkan di bekas sengatan itu. Beliau menggosoknya dengan kuat hingga rasa sakit sedikit hilang. Sekali lagi, aku tidak merasa jijik, sekalipun bercampur dengan ludah.
Tentunya Eyangku mendapat ilmu itu dari warisan moyang kami dahulu. Kadang-kadang beliau membuat ‘eksperimen’ dengan berbagai tanaman obat di pekarangan belakang rumah kami. Aku percaya saja, bahwa keakraban dengan alam merupakan kunci dasar penyembuhan. Belum ada rasio semasa aku remaja.
Aku begitu ingat, pasti, setelah sholat maghrib, Eyang Kakung mengajakku duduk di teras, melihat bintang di langit. Kondisi dulu masih bisa melihat langit dengan lapang, tidak seperti sekarang, sudah banyak tertutup bangunan. Beliau lalu menjelaskan padaku, hitungan bintang menurut orang Jawa. Mereka menyebutnya mongso. Ini mongso tandur (bertanam), mongso ngrabuk (merabuk), atau mongso panen, mongso ketigo (kemarau) atau mongso rendeng (penghujan). Rasi bintang, tanda-tanda bintang di langit malam, itu yang mereka pelajari. Aku selalu kagum dengan ilmu orang Jawa yang begitu hebat, semua didasarkan pada alam. Mereka mempelajari kebiasaan alam dan tanda-tanda alam dengan begitu hebat. Padahal di sekolah saja, aku lupa-lupa ingat mengenai pelajaran seperti itu.