Belajar dari semua kepahitan, aku menjadi lebih mengerti kini, begitu kita bertindak, jangan sesali apa yang telah dilakukan. Apa yang sudah lewat biarkan berlalu. Semua orang punya masa lalu, entah pahit, entah buruk, entah baik, entah manis. Masalah seburuk apapun masa lalu kita, itu urusan kita dengan Tuhan. Tuhan yang mendengar dan menerima urusan dosa dan pahala kita. Kalau terus dipikirkan apa yang mesti dilakukan, kita tidak akan pernah maju, dan bisa-bisa pikiran kita terfokus pada satu itu, lalu yang terjadi adalah kita tidak dapat melaksanakan tugas yang sekarang dengan baik. Jadi, aku berkata pada diriku sendiri, “Apa yang sedang kau lakukan saat ini, lakukan sebaik-baiknya. Semua itu akan meningkatkan fleksibilitasmu, Ning!”. Tidak mungkin, dalam setiap langkah selalu mulus. Sudah aku katakan, aku hanya hidup sederhana dan biasa. Sering terjadi kekurangan. Dalam kondisi seperti itulah, aku membutuhkan waktu untuk berfikir, bahkan berfikir dua kali, berfikir sebelum bertindak, berfikir untuk menata ulang, merencanakan option-option tertentu, yang semua ada konsekuensinya tentu. Ini seperti taruhan dalam perang, kalau salah strategi, kita akan hancur dalam kurun waktu beberapa detik; tapi kalau strategi kita bagus, kita akan selamat. Jadi kupertaruhkan harapan dan hidupku dalam rencana itu. Ibu secara tidak langsung telah mengajariku untuk tidak takut mengambil keputusan yang berat, meskipun harus dibayar mahal secara emosional dan menurunkan sedikit harga diri dalam jangka pendek. Terkadang, benar kalau situasi dan kondisi memang menuntut untuk berani menurunkan sedikit harga diri dan ego. Bukan kita tidak lagi berharga, justru itu akan memberikan penghargaan pada diri kita sendiri. Kita tangguh. Kita harus berani menghadapi resiko dan akibatnya, meski tak selalu menyenangkan. Keberanian itu adalah pilihan di antara dua kemungkinan; suatu tekad untuk tidak mundur dan stuck di titik itu saja. Aku sadar, kalau aku terlalu memperhatikan kemungkinan buruk, atau sibuk dengan hitungan rasional, aku tidak akan pernah berani mengambil keputusan. Kalau tidak ada pilihan-pilihan baik, aku hanya berpegang pada “lakukan saja apa yang harus dilakukan, Ning!”. Titik.
Aku pernah mengalami kondisi depresi, yang aku sendiri sudah putus asa dan tidak tahu apa yang mesti kuperbuat. Badanku tidak karuan rasanya, sejenak aku berubah menjadi sedikit “aneh”, aku bahkan tidak tahu berapa lama aku tertidur, karena setiap malam aku tidak bisa memejamkan mata hingga pagi subuh hari. Siang pun, hanya sebentar memejam lantas terjaga lagi. Hingga aku menawarkan diri menjadi “dokter” bagi adik-adik kecilku di SLB dan Panti-Panti Asuhan. Aku merasa perlu bertemu mereka, untuk membantu mereka, bercanda sedikit dan membagi rizqi dengan mereka. Namun, kenyataannya, sesampai di sana, akulah yang menjadi “pasien” mereka. Aku seperti pasien yang diberi suntikan insulin untuk menanggulangi “gangguan mental yang tidak dapat disembuhkan”. Suntikan itu adalah semangat, senyum, tawa dan keceriaan mereka. Itulah “obat” yang menyembuhkanku.
Eyangku selalu mengajariku untuk mencatat apa-apa saja yang penting dan berkesan dalam perjalanan hidup. Tentang kejadian-kejadian, bahkan tentang prinsip hidup. “Semua yang kau rasa penting, catatlah. Karena ingatanmu tidak akan sama selamanya. Kalau sudah menuliskan semuanya, pikiran akan lebih tertata.” Itu kata beliau. Jadi, aku dari kecil senang mencatat apapun, yang aku rasa menarik dan bisa menjadi cerita untuk hari tua nanti. Seperti saat aku membuat catatan ini untuk diriku sendiri maupun untuk orang lain agar tahu mengenai diriku.