"You can make anything by writing" - C.S Lewis
Dewasa ini kita sering kali
dimanjakan oleh kemajuan teknologi dan informasi melalui media elektronik
terutama jaringan internet. Kemudahan mendapatkan akses jaringan internet sudah
bisa kita rasakan bahkan tanpa melalui computer, cukup dari handphone berlabel
‘smart’ saja kita sudah bisa mengakses internet melalui fitur-fitur yang
tersedia. Ada manfaat besar yang bisa kita rasakan dari perkembangan teknologi
yang semakin hari semakin pesat ini. Namun juga tentu dalam semua evolusi ada
dampak yang ikut muncul di dalamnya. Entah dampak positif maupun negatif, semua memiliki konsekuensi.
Sekarang adalah jamannya teknologi, dimana semua orang bisa dengan mudah
mengakses informasi apapun dari internet. Ada keuntungan dan ada kekurangannya.
Bagi entrepreneur, keuntungannya adalah kita tidak harus berkantor
di satu tempat. Kita bisa berkantor dimana saja sepanjang kita punya akses
teknologi yang baik. Klien juga tidak harus dari ranah local saja, tapi bisa
mencakup klien yang lebih luas. Informasi dan pengetahuan juga bisa kita
pelajari dari internet. Namun, kekurangannya adalah kita menjadi malas dengan
cara belajar konvensional. Semua yang konvensional sudah mulai ditinggalkan
orang. Padahal tidak semua cara belajar konvensional itu tidak lebih baik dari
pembelajaran berbasis teknologi seperti yang terjadi saat ini. Contohnya, dulu untuk
mendapatkan gambaran atau menjawab suatu kasus empiris yang ditemui dalam dunia
pendidikan, seseorang harus membuka buku (bahkan tidak hanya satu buah buku saja)
guna mendapatkan jawaban dan gambaran tersebut. Namun saat ini, orang cenderung
memilih mencari jawaban melalui mesin pencari Google di internet. Cukup dengan
satu atau dua keyword saja sudah muncul berpuluh-puluh tautan di dalamnya. Bisa
kita pilih salah satu dengan mudah. Tidak perlu menulis ulang atau mengetik
ulang seperti yang dilakukan orang secara konvensional, tetapi cukup dengan
copy-paste lalu jadi. Nah, kebiasaan buruknya adalah budaya 'copy-paste' ini juga
diaplikasikan di dunia pendidikan formal, sehingga yang banyak terjadi adalah
kasus plagiarisme.
Esensi dari dunia pendidikan
sekarang sudah banyak melenceng, siswa bukan lagi fokus pada budaya membaca dan
menulis, tetapi hanya terfokus pada bagaimana caranya agar lulus Ujian
Nasional. Ilmu bukan lagi hal utama ketika seseorang menempuh pendidikan,
tetapi yang paling utama hanya sebatas pada “nilai” dan “tittle”. Bagi mereka,
toh tanpa membaca buku-buku teori yang dianggap sangat konservatif tadi, mereka
juga bisa lulus dengan nilai yang baik. Kemudian cara-cara pragmatis pun
dilakukan. Kehidupan dunia selalu berevolusi. Teknologi menjadikan sebagian
besar generasi Y atau generasi Echo Boomer jauh dari budaya membaca dan
menulis. Generasi Y mungkin unggul dalam hal multitasking, tetapi
ketergantungan pada teknologi juga menjadikan mereka memiliki pola pikir pragmatis,
serba instant dan egosentris. Tujuan pragmatis, laku pragmatis, pemikiran
pragmatis. Konsep ini bahkan sudah dimulai dari budaya di dalam keluarga dan di
dalam institusi pendidikan. Fenomena “membaca elektronik” lebih berkembang dari
sekadar membaca “buku manual”. Jangankan buku teori yang setebal alas tidur,
buku-buku karya sastra saja semakin tidak diminati.
"Melihat dan mendengarkan itu kodrat manusia. Tidak perlu diajari, tidak perlu dibiasakan. Tetapi negara yang besar dan maju itu karena selalu berusaha menge'mbangkan budaya baca dan tulis. Apapun, salah satunya adalah sastra. Sastra itu melengkapi semua yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia. Para sastrawan membuat karya sastra bukan tanpa dasar, melainkan dari perjalanan hidup. Dimana diharapkan akan bisa menjadi batu loncatan kehidupan".
- Suparto Brata, Begawan Sastra Jawa Solo
Menurut sastrawan Ahmad
Tohari dalam acara bedah novel "Dari Kota Solo hingga Brattleboro", remaja saat
ini lebih berminat pada buku-buku dengan label 'best seller' yang bernuansa
komedi gaul. Buku-buku seperti ini tidak memerlukan penelitian, tidak memerlukan
riset, tidak memerlukan penegasan. Semua yang ada di internet juga bisa diracik
menjadi tulisan kemudian diterbitkan. Banyak penerbit yang memerlukan eksistensi, banyak penulis yang memerlukan ketenaran. Masyarakat sendiri justru menikmati bacaan yang bersifat ringan dan menghibur, mereka tidak tertarik membaca bacaan 'berat' dan yang memerlukan waktu lama untuk mencerna. Para terpelajar semakin jauh dari
budaya membaca, apalagi budaya menulis. Bagi mereka budaya 'copy paste' jauh
lebih praktis. Mudah, murah, cepat dan tidak perlu berpikir terlalu lama. Memang
banyak yang ingin menulis, tetapi juga masih bersifat karya instant. Tidak
semua berimbas baik untuk kehidupan manusia itu sendiri. Menulis menumbuhkan kreatifitas dan merangsang perkembangan otak bagi pelakunya.
"We first make our habits, then our habits make us" - John Dryden, kritikus sastra Inggris
Oleh karena itu, anak-anak generasi Z
yang sedang dalam masa pertumbuhan saat ini harus dibiasakan dengan budaya
membaca dan menulis, agar budaya membaca dan menulis tidak hilang dari
kehidupan sehari-hari. Mengenalkan anak pada dunia membaca dan menulis
akan sangat bermanfaat untuk perkembangan baik otak maupun psikis. Melalui
budaya membaca dan menulis, artinya kita selalu memberi asupan dan mengajari
pikiran serta jiwa. Sedang memberi asupan untuk pikiran dan jiwa itu adalah
fitrah manusia yang baik, sebagai loncatan dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Bagaimanapun, generasi Z akan menjadi generasi penerus bangsa ini. Semoga dengan semakin canggihnya teknologi pendukung untuk generasi Z nanti, tidak menggerus esensi dari dunia pendidikan yang sebenarnya.
Regards,
Bening Rahardjo