Sudah siapkah Anda untuk Pemilu tanggal 9 Juli nanti?
Seminggu lagi Warga Negara Indonesia akan melaksanakan pesta
demokrasi terbesar untuk menentukan pemimpin Negara, ya, tanggal 9 Juli pemilihan presiden
secara langsung tentunya sudah sangat dinantikan oleh seluruh masyarakat. Sudah
mantapkah pilihan Anda? Masing-masing punya jawabannya. Bahkan teman saya yang kuliah di Belanda sudah mengabari akan melaksanakan pemilu tanggal 5 Juli nanti. Jujur, saya pribadi
sudah jengah dengan money politic, black campaign dan immature-nya masyarakat
kita dalam menyambut 9 Juli nanti. Bagaimana tidak? Saya yakin, anda yang punya
pikiran ‘waras’ pasti juga sama jengahnya dengan saya. Ya bagaimana tidak saya
sebut immature, kalau setiap hari menonton berita di televisi isinya malah
saling menyudutkan. Masing-masing media memuat pemberitaan yang condong kepada
salah satu capres. Saya coba beralih ke koran langganan harian, ternyata sama
saja. Sekarang koran langganan saya pun sudah condong ke salah satu capres.
Bahkan hingga kalawarti Jawa langganan mingguan saya pun juga sudah tidak
netral. *sigh* Saya coba membuka timeline
twitter isinya juga saling serang sana-sini, saling tuduh sana-sini dari masing-masing
pendukung capres-cawapres. Di twitter,
tidak hanya tokoh masyarakat, artist, bahkan hingga mereka yang ‘dianggap’
sebagai pemuka agama pun tidak terlepas dari kondisi immature politik seperti
sekarang ini. Apalagi masyarakat umum, dari yang merasa paling pintar, paling tahu,
hingga paling-paling yang lain. Padahal, banyak diantara mereka yang ternyata
masih pemilih pemula. Ada pemilih pemula yang sudah merasa paling pintar bahkan sampai merasa sudah sedemikian 'oh-so-yes' dengan menyudutkan Capres tertentu *dalam hati: tahu apa to kamu Le...mbok ya sekolah dulu yang bener, belajar yang rajin, baru komentar*. Aksi unggah DP twitter pun juga tidak kalah menarik.
Mulai menjejerkan foto dengan nomor urut pasangan yang didukung, hingga
memasang foto selfie mereka dengan capres. Tidak kurang juga peran dari
Photoshop dan agen-agen edit foto dalam mendukung aksi ini.
Saking jengahnya, saya pindah ke Facebook. Oh well…. Ternyata timeline di Facebook pun tidak jauh berbeda,
malah lebih parah dari kicauan Twitter yang hanya mampu diungkapkan dalam 160
karakter saja. Karakter di Facebook yang lebih panjang, otomatis juga
mempengaruhi panjangnya aksi balas-berbalas, serang-menyerang, bahkan aksi
saling membagikan tautan dari link-link yang mereka anggap sangat mendukung.
Aksi unggah foto profile dengan identitas nomor urut pasangan pun tidak luput
dilakukan. Bahkan ada yang frontal saling adu argument dalam sebuah comment
*mikir: ini maunya apa to yaaaa mereka* Siapa pun makhluk yang ‘masih’ normal
akan dianggap ‘tidak normal’ dalam dunia immature politik saat ini. Siapa yang
berdiam dianggap tidak paham politik. Siapa yang aktif ‘berkicau’ dianggap
paling tahu, paling pintar, dan paling-paling yang lainnya tadi. *God! I am
feeling ‘oh-so-lost’!*
Jadi, makna asas pemilu LUBERJURDIL itu mungkin sekarang
hanya tinggal LUBER saja. Ya, LUBER kemana-mana. Gimana ndak LUBER, kalau hal yang seharusnya rahasia sekarang malah diumbar kemana-mana? Mau dibilang RAHASIA gimana
kalau individu-individunya sendiri yang dengan bangga mengaku-aku dukungan
kepada capres-cawapres tertentu? Dulu (duluuuuu sekali) orang itu tabu
mengungkap siapa yang akan mereka coblos di Pemilu. Sekarang? Orang dengan
bangga malah woro-woro di media social. Tidak hanya woro-woro atas dukungannya,
malah kadang sampai kebablasan saling lempar opini yang merasa ‘paling’ tadi. Kalau
mengutip kata-kata Bapak Taufik Ismail saat Kongres Pemuda Nasional di Jakarta
2012 lalu, beliau bilang: “Saya heran, kenapa masyarakat Indonesia saat ini
senang sekali dengan kata ‘paling’ untuk membanggakan dirinya sendiri“.
Exactly! Orang yang sungguh-sungguh mempelajari dan memahami ilmu politik
dengan bijak, pasti akan setuju dengan kalimat ini: “Menyelami
politik tidak cukup hanya dengan sehari dua hari, tidak cukup pula digambarkan
dengan warna hitam dan putih, tidak cukup
hanya dengan satu dua referensi. Setiap politikus & negarawan punya
peta politik masing-masing”.
Saya pernah saking kesalnya dengan salah seorang teman (sorry Bre kalo lo baca ini), saya balas kalimat-kalimat dia yang saya rasa terlalu menyudutkan salah satu capres. Yah, memang hak setiap orang untuk berpendapat dan mengeluarkan ekspresinya, tetapi ada bijaknya kalau kita punya landasan argument yang kuat terlebih dahulu. Landasan itu dari mana? Ya dari referensi macam-macam. Jangan Anda merasa sudah paling tahu dan paham kalau Anda hanya 'belajar' dari media televisi X atau Y misalnya. Kalau Anda tahu dan belajar dari media, tentunya Anda pun tahu bahwa muatan suatu media tidak mungkin terlepas dari kepentingan individu di situ. Jangan pula Anda merasa paling tahu, kala Anda hanya belajar dari media elektronik. Apalagi link-link yang bahkan tidak jelas siapa yang menulisnya. Di jaman serba gadget seperti sekarang ini, siapa sih yang tidak senang menulis melalui piranti elektronik? Lebih mudah dibaca banyak orang, lebih mudah menggiring opini banyak orang. Kalau Anda ingin belajar, carilah sebanyak mungkin referensi untuk diri Anda sendiri. Membaca satu buku saja juga tidaklah bijak, coba Anda baca beberapa referensi jika memang Anda menemukan banyak pertentangan pendapat di situ, karena buku juga buatan manusia. Semakin banyak Anda membaca, semakin banyak referensi yang Anda dapatkan sebagai pendukung. Semakin bijak pula Anda memandang suatu kasus dari pelbagai sudut pandang. Toh siapapun yang jadi presidennya nanti, kita akan tetap jadi rakyatnya bukan? Jadi untuk apa saling menjelekkan. Mereka sama-sama cerdas. Bicara kekurangan, semua juga ada kekurangan. Bicara bersih atau tidaknya, well, I have to say this: Apa Anda yakin semua yang berkecimpung di dunia politik itu 'bersih'? Semua diatasnamakan "RAKYAT". Rakyat yang mana dulu? Anda rakyat, saya juga rakyat, kita Warga Negara Indonesia adalah rakyat Indonesia. Oknum dalam dunia politik yang mengkultuskan rakyat sebagai pendongkrak untuk eksis dalam kekuasaan. Politik itu tidak kotor. Orang-orang di dalamnya-lah yang menggunakan cara kotor untuk mengotori politik itu sendiri.
Suatu ketika saat diskusi tentang Pemilu Presiden di rumah, bahkan simbok rewang saya di rumah saja bisa mengatakan: "Jan-jane coblosan ki yo ming ngedu uwong. Ha yo pora ngedu jenenge? Hla sing kono pilih ngono, sing kene pilih ngene. Tembe mburine do padu dewe-dewe". ("Sebenarnya Pemilu itu hanya mengadu orang saja. Bagaimana tidak? Kalau yang di sana memilih si itu, yang di sini memilih si ini. Ujung-ujungnya malah saling bertengkar").
Kalau saya menanggapi simbok rewang ini dengan kalimat:"Ha yo kuwi. Mbok gek ndang Pemilu, gek ndang nyoblos, gek ndang rampung, gek ndang bubar wong-wong le do ngroso paling pinter kuwi". ("Hla ya itu. Semoga segera datang Pemilu, biar segera nyoblos, biar segera selesai, biar segera bubar juga orang-orang yang merasa paling pintar itu").
Beda lagi kalau kata Cak Lontong, begini:
Apapun pilihan Anda, saya hanya bisa mengajak. Jangan lupa JENTIK UNGU untuk 9 Juli nanti! 5 menit untuk 5 tahun yang akan datang. Jangan khawatir, bagi Anda yang berada di tanah rantau atau Anda yang akan bepergian tanggal 9 Juli nanti, anda bisa mengurus Formulir model A-5 untuk tetap bisa memberikan hak suara Anda.
Semoga 9 Juli segera tiba. Selamat mencoblos! :)
Salam DAMAI,
Bening Rahardjo