"Pada akhirnya apa sih yang kita cari itu? Kenyamanan kan? Ya sudah, mungkin itu yang bikin saya mantap untuk menikah"
- An actress who has just married
Saya teringat sebuah jawaban dari artis yang sedang diwawancarai oleh awak media mengenai pernikahannya. Kenyamanan. Sebuah kata menarik untuk dikupas jika menyangkut pernikahan. Sebuah pernikahan tentu membutuhkan komitmen dari kedua belah pihak. Jangankan ikatan dalam pernikahan, sebelum menikahi anak orang saja anda juga butuh komitmen untuk meyakinkan wanita yang ingin anda ajak menikah, ataupun keluarga dari wanita tersebut. Lalu, cukupkah semua dibangun dengan komitmen? Saya memang belum berada dalam fase tersebut, hampir. Namun, kita bisa kupas bersama-sama dari berbagai sudut pandang.
Pernikahan memang tidak pernah sesederhana yang kita ucapkan. Banyak hal detail yang terkait satu sama lain yang penting untuk kita kompromikan bersama kedua belah pihak sebelumnya. Ada ungkapan mengatakan "Hati orang yang dewasa tidak hanya membutuhkan perasaan, tetapi juga kesiapan". Tentu saja kesiapan juga sangat dibutuhkan bagi seseorang dalam menentukan keputusan 'bersedia atau tidak' untuk menikah dengan pasangannya. Bukan masalah 'kapan', sebab pertanyaan 'kapan' itu sudah berhubungan dengan waktu yang berada jauh di luar kuasa manusia. Ini tentang 'bersedia atau tidak'. Kesiapan juga bisa diartikan mental, fisik maupun materi.
Jika rupa yang menjadi tolak ukur seseorang dalam mencari pasangan hidup, bukankah pada akhirnya rupa yang tampan dan cantik bisa keriput hanya dalam beberapa tahun? Kecuali, jika anda memang sanggup membiayai apabila pasangan menginginkan operasi plastik, tanam benang, atau bahkan suntik botox yang banyak dilakukan orang. Lalu, faktor materi kah yang menjadi tolak ukur juga? Well, kita semua tentu sudah dengar bahwa materi tanpa bisa dinikmati hanyalah sekadar penghias dunia. Memang materi penting, ada juga mereka yang memilih menikah karena dilandaskan kepada kepentingan materi. Ada. Namun, untuk menjadi pasangan hidup, itu tidak sama.
Betapa mahal harga yang harus dibayar untuk menghabiskan sisa hidup bersama seseorang dalam tekanan, kepura-puraan, ataupun kegamangan. Kembali lagi pada jawaban aktris tadi. Ya, saya rasa memang benar. Orang yang memilih pacaran sebelum menikah, mungkin sudah merasakan gagal-coba lagi-gagal lagi-coba lagi hingga pada akhirnya dia akan menemukan titik di mana seseorang merasa jenuh dengan kegagalan terus lalu memilih untuk segera mengakhiri ketidakjelasan hubungannya dalam suatu hal yang lebih sakral, pernikahan. Pada akhirnya, jawaban 'kenyamanan' ini memang yang dicari oleh orang-orang yang memang menginginkan untuk mencari pasangan hidup. Sekali lagi, pasangan hidup. Jelas akan sangat berbeda jika niatannya hanya berorientasi pada kata 'pacar' ataupun sekadar 'status'. Beda pula kondisinya jika yang dicari adalah pasangan yang sekedar untuk 'one-night-stand-love', kata 'love' di sini mungkin sedikit agak 'berlebihan', tapi sungguh anda mungkin tidak perlu berkompromi sedemikian rumit hingga mendapat titik temu sebuah kata 'nyaman' tadi. Nyaman pada diri sendiri, juga nyaman pada pasangan.
Pada akhirnya orang akan memilih pasangan yang betul-betul bisa bersatu sebagai satu tim kuat dalam mengarungi kehidupan rumah tangga ke depan dan yang terpenting adalah untuk 'survive'. Bukan hanya bertahan hidup masalah materi, tetapi juga bertahan hidup dalam banyak hal yang melekat pada kehidupan dua pribadi yang bersatu ini. Kata 'kompromi' akan menjadi lebih sering dibutuhkan di sini ketimbang sekedar komitmen. Namun, akan lebih indah jika, untuk bisa 'survive' tadi, kata kompromi dan komitmen bisa diselaraskan. Kita berkomitmen untuk menjalani sisa hidup dengan pasangan, yang berarti bahwa apapun risiko yang terjadi nantinya, itulah yang harus siap untuk dikelola bersama. Mengenai hal-hal yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan dari diri pasangan, perbedaan pendapat, perbedaan pola pikir, perbedaan penerimaan, akan selalu mewarnai perjalanan tim ini untuk 'survive' atau tidak. Di situlah kata 'kompromi' akan berperan besar untuk menengahi perbedaan di antara keduanya. Should you be like: she/he has to accept me for WHO I AM now? It will only happen if you think that people will not change or evolve. And how's about THE FACT? Just think it.... You know, feelings are temporary, love is about temporal noun. What we create, the life we share, the children we bare are permanent. BUT NO.
Jadi, kenyamanan yang saya maksud di sini hanya bisa ditempuh dengan kata kompromi dan komitmen. Saya rasa, tanpa keduanya, cinta saja akan menjadi feels no taste. Kejutan-kejutan baru dalam pernikahan juga bisa menjadi magnet perekat hubungan yang ups and downs. Nobody know what will happen later. Being messy, not dressing up to please your partner anymore, gaining weight, swearing, developing annoying habits/manners, not going out on dates anymore, stop being romantic, and so forth,....do you think thats when the relationship starts losing its spark? I do think that way.
I know one couple, even they been after 40 years of marriage, they still act like if they were dating, and they are very much in love. They talk to each other very politely, respect each other's space all the time. Well, sangat-sangat langka pasangan seperti ini. Sang istri tetap selalu menarik di mata suami, begitu pula istri selalu menjadikan suaminya panutan dan tetap mendampingi suami dalam penyakit tuanya sekalipun. Mereka itulah pemenang yang tetap mampu menyalakan obor 'cinta' dalam proses bertahan hidup sebagai sebuah tim. And I really really know, to be a 'superb team' through life is not easy. But they do.
Regards,
Bening Rahardjo
Jika rupa yang menjadi tolak ukur seseorang dalam mencari pasangan hidup, bukankah pada akhirnya rupa yang tampan dan cantik bisa keriput hanya dalam beberapa tahun? Kecuali, jika anda memang sanggup membiayai apabila pasangan menginginkan operasi plastik, tanam benang, atau bahkan suntik botox yang banyak dilakukan orang. Lalu, faktor materi kah yang menjadi tolak ukur juga? Well, kita semua tentu sudah dengar bahwa materi tanpa bisa dinikmati hanyalah sekadar penghias dunia. Memang materi penting, ada juga mereka yang memilih menikah karena dilandaskan kepada kepentingan materi. Ada. Namun, untuk menjadi pasangan hidup, itu tidak sama.
Betapa mahal harga yang harus dibayar untuk menghabiskan sisa hidup bersama seseorang dalam tekanan, kepura-puraan, ataupun kegamangan. Kembali lagi pada jawaban aktris tadi. Ya, saya rasa memang benar. Orang yang memilih pacaran sebelum menikah, mungkin sudah merasakan gagal-coba lagi-gagal lagi-coba lagi hingga pada akhirnya dia akan menemukan titik di mana seseorang merasa jenuh dengan kegagalan terus lalu memilih untuk segera mengakhiri ketidakjelasan hubungannya dalam suatu hal yang lebih sakral, pernikahan. Pada akhirnya, jawaban 'kenyamanan' ini memang yang dicari oleh orang-orang yang memang menginginkan untuk mencari pasangan hidup. Sekali lagi, pasangan hidup. Jelas akan sangat berbeda jika niatannya hanya berorientasi pada kata 'pacar' ataupun sekadar 'status'. Beda pula kondisinya jika yang dicari adalah pasangan yang sekedar untuk 'one-night-stand-love', kata 'love' di sini mungkin sedikit agak 'berlebihan', tapi sungguh anda mungkin tidak perlu berkompromi sedemikian rumit hingga mendapat titik temu sebuah kata 'nyaman' tadi. Nyaman pada diri sendiri, juga nyaman pada pasangan.
Pada akhirnya orang akan memilih pasangan yang betul-betul bisa bersatu sebagai satu tim kuat dalam mengarungi kehidupan rumah tangga ke depan dan yang terpenting adalah untuk 'survive'. Bukan hanya bertahan hidup masalah materi, tetapi juga bertahan hidup dalam banyak hal yang melekat pada kehidupan dua pribadi yang bersatu ini. Kata 'kompromi' akan menjadi lebih sering dibutuhkan di sini ketimbang sekedar komitmen. Namun, akan lebih indah jika, untuk bisa 'survive' tadi, kata kompromi dan komitmen bisa diselaraskan. Kita berkomitmen untuk menjalani sisa hidup dengan pasangan, yang berarti bahwa apapun risiko yang terjadi nantinya, itulah yang harus siap untuk dikelola bersama. Mengenai hal-hal yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan dari diri pasangan, perbedaan pendapat, perbedaan pola pikir, perbedaan penerimaan, akan selalu mewarnai perjalanan tim ini untuk 'survive' atau tidak. Di situlah kata 'kompromi' akan berperan besar untuk menengahi perbedaan di antara keduanya. Should you be like: she/he has to accept me for WHO I AM now? It will only happen if you think that people will not change or evolve. And how's about THE FACT? Just think it.... You know, feelings are temporary, love is about temporal noun. What we create, the life we share, the children we bare are permanent. BUT NO.
Jadi, kenyamanan yang saya maksud di sini hanya bisa ditempuh dengan kata kompromi dan komitmen. Saya rasa, tanpa keduanya, cinta saja akan menjadi feels no taste. Kejutan-kejutan baru dalam pernikahan juga bisa menjadi magnet perekat hubungan yang ups and downs. Nobody know what will happen later. Being messy, not dressing up to please your partner anymore, gaining weight, swearing, developing annoying habits/manners, not going out on dates anymore, stop being romantic, and so forth,....do you think thats when the relationship starts losing its spark? I do think that way.
I know one couple, even they been after 40 years of marriage, they still act like if they were dating, and they are very much in love. They talk to each other very politely, respect each other's space all the time. Well, sangat-sangat langka pasangan seperti ini. Sang istri tetap selalu menarik di mata suami, begitu pula istri selalu menjadikan suaminya panutan dan tetap mendampingi suami dalam penyakit tuanya sekalipun. Mereka itulah pemenang yang tetap mampu menyalakan obor 'cinta' dalam proses bertahan hidup sebagai sebuah tim. And I really really know, to be a 'superb team' through life is not easy. But they do.
Regards,
Bening Rahardjo