Photo by: Republika.com |
Dua bulan belakangan ini rakyat Indonesia disuguhi oleh bahan diskusi baru, yakni program bela negara yang digagas oleh pemerintah melalui Kementrian Pertahanan. Bahkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu sewaktu diwawancarai oleh Pers mengatakan "...Bela negara dimaksudkan untuk memperkuat posisi rakyat yang secara ekonomi lemah. Kekuatan negara itu ada di rakyatnya, tapi ketika rakyat menganggur, makan kurang, daya beli rendah, maka negara itu akan lemah,..."
Entah apa yang melatarbelakangi pemerintah dalam menafsirkan bunyi Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 ini, "Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara". Baik, mari kita pahami lebih dalam maksud kata upaya pembelaan negara ini. Diawali dengan kata hak dan kewajiban di dalam satu kalimat. Ya, kita semua pasti setuju apabila negara dalam kondisi darurat militer dan semua warga negaranya berhak dan wajib membela negara. Tanpa diminta sekalipun saya yakin bahwa pemuda Indonesia cukup legowo untuk melakukan itu, pertanyaannya: siapa sih yang ingin perang? Saat di tengah situasi keamanan negara yang kondusif? Saat kita memiliki banyak jumlah Tentara Nasional yang tangguh dan alutsista yang canggih?
Apabila kita melakukan pencarian pengertian program bela negara ini, laman wikipedia telah menyiapkannya untuk Anda. Hal menarik yang perlu kita cermati, di halaman tersebut diambil contoh bela negara di beberapa negara seperti China, Korea, Israel, Amerika, dan Inggris. Mengapa pemerintah harus bercondong kepada contoh negara-negara tersebut apabila benar-benar menginginkan program bela negara yang sesuai dengan nilai-nilai UUD 1945 dan Pancasila? Bahkan secara personal, Menteri Ryamizard Ryacudu juga memberi contoh dengan menyebutkan negara Korea, memuji rasa rela berkoban yang tinggi. Kenapa harus mencontoh kepada Korea yang memang penduduknya rata-rata lebih senang untuk berkecimpung di dunia entertain, pertanian dan pelaku bisnis. Sedangkan Indonesia, orang akan bangga apabila mampu menjadi bagian dari militer, menjadi anggota militer (kita bisa merujuk pada jumlah tentara dan polisi yang kita miliki, maupun para pemuda-pemudi yang mendaftar sekolah militer setiap tahunnya). Korea wajar mewajibkan program wajib militer kepada penduduk laki-laki yang sudah dewasa setelah Perang Korea, karena negara mereka selalu siaga apabila harus berperang sewaktu-waktu dengan tetangga serumpun. Intinya adalah latar belakang politik. Mengapa Israel juga mewajibkan penduduk sipil untuk terjun di militer? Juga karena latar belakang politik. Kemudian pemerintah kita ingin mengadopsi wacana tersebut secara sepihak atas dasar kehendak mereka atas rakyat sipil tanpa menggodoknya dengan mendalam?
Kalau alasan pemerintah adalah untuk memperdalam kurikulum lima nilai dasar yakni cinta tanah air, rela berkorban, sadar berbangsa dan bernegara,
meyakini Pancasila sebagai ideologi negara, serta memiliki kemampuan
awal dalam bela negara baik fisik maupun nonfisik, mengapa tidak para koruptor itu duluan yang diwajibkan untuk program bela negara ini? Rakyat sipil yang taat membayar pajak dan hukum harus menjalani program bela negara sementara para koruptor yang SAMA SEKALI TIDAK mencerminkan nilai-nilai Pancasila masih bisa dengan santai makan-makan di restoran di luar penjara? Menonton kejuaraan tenis sesekali lalu balik lagi ke penjara? Rakyat sipil diwajibkan untuk mencintai produk dalam negeri, di saat pemerintah menerbitkan Permendag No.87 Tahun 2015 tentang ketentuan impor produk tertentu yang mengancam keberlangsungan indsutri dalam negeri. Apa yang harus dibela?
Lucunya, ketika rakyat sipil disuguhi wacana mewajibkan bela negara tetapi saat yang bersamaan negara tidak bisa menjamin hak hidup rakyatnya. Bagaimana tidak? Wacana ini keluar disaat kabut asap melanda di beberapa tempat hingga berlarut-larut dan memakan korban. Apa yang harus dibela? Hak untuk hidup dengan bernafas di udara yang sehat saja tidak bisa dijamin oleh negara. Hak anak-anak untuk tenang bermain dan belajar dengan rasa aman saja tidak bisa dijamin oleh negara, serta bagaimana dengan ketegasan pemerintah atas kasus kekerasan yang menimpa anak-anak? Apa yang harus dibela?
Revolusi mental? Pembenahan mental? Mental siapa yang harus dibenahi? SIAPA atau APA yang harus dibela? Bukankah kita lebih pantas membela diri kita sendiri disaat pemerintah dan negara tidak bisa menjamin hak-hak dasar kita? Memang, meski tidak ada ancaman peperangan, pelatihan bela negara bisa saja
dilakukan oleh negara jika muncul bentuk-bentuk ancaman yang dinilai
bisa membahayakan keamanan negara. Bentuk-bentuk ancaman tersebut bisa
saja berupa kejahatan terorisme internasional dan nasional, aksi
kekerasan berbau SARA, pelanggaran wilayah negara baik di darat, laut,
udara, dan luar angkasa, gerakan separatisme, kejahatan dan gangguan
lintas negara, dan perusakan lingkungan. Oleh karena itu, rakyat sipil disiapkan sebagai komponen cadangan. Pemerintah merasa program bela negara ini dapat menjadi solusi untuk setiap permasalah bangsa di masa yang akan datang.
Photo by kapanlagi.com |
Tanpa bermaksud apriori pada program bela negara, Menteri Pertahanan bermaksud untuk mengubah otak rakyat sipil agar bangga kepada negara ini. Otak? Bicara tentang otak bukankah lugas bila saya menyebutnya program doktrin? Mungkin yang dimaksud Bapak Menteri adalah hati, hati nurani kita sebagai rakyat Indonesia. Tunggu dulu, Anda merasa sudah punya nurani yang cukup untuk mengaku cinta Indonesia? Ya, kita semua cinta Indonesia, yang tidak cinta Indonesia itu hanya orang-orang bodoh yang korupsi di sana itu, orang-orang yang melakukan gerakan separatisme dengan radikal, orang-orang yang tega menghabisi nyawa anak kecil, orang-orang yang tega merampas hak-hak hidup warga sipil. Betul? Kalau memang seperti apa yang dikatakan Bapak Menteri bahwa program bela negara ini berbeda dengan program wajib militer, tanpa kekerasan fisik, akankah? Ataukah rakyat sipil hanya dijadikan alat politik pemerintah? Silakan beropini masing-masing, terlepas dari pendapat kita menolak atau mendukung, program ini akan mulai dijalankan. Selamat berbela negara!
-Bening Rahardjo-