Bicara tentang Hari Pahlawan, tentu kita semua akan ingat pada nama-nama seperti Soedirman, Pattimura, Syahrir, Soekarno, Soepriyadi, Slamet Riyadi, Cut Nyak Dien, Kartini, Moh.Hatta, dll, bukan? Ya, seluruh rakyat Indonesia pastinya akan selalu mengenang perjuangan mereka dalam bentuk gerakan perlawanan kepada para penjajah. Namun, kali ini dalam postingan pribadi, saya akan memperkenalkan sosok pahlawan yang tentu kalian tidak akan mengenalnya. Justru, saya menjadikannya pahlawan tanpa tanda jasa. Kalau orang lain mengatakan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, bagi saya Eyang Kakung adalah orang yang sangat pantas untuk diberi gelar yang serupa, setidaknya, bagi saya pribadi. Ya.
Eyang adalah sosok pengganti figur seorang bapak. Mencintai saya dengan segala kekurangan saya di waktu kecil hingga remaja. Mengajari saya banyak ilmu tidak hanya dunia tetapi juga pendekatan spiritual kepada Yang Maha Esa. Membukakan hati saya kepada hal-hal penuh empati yang tidak pernah saya sentuh sebelumnya. Memberikan saya pemahaman tentang dunia di luar yang tidak pernah saya datangi sebelumnya. Menambah wawasan saya kepada segala sesuatu yang belum pernah saya temui. Mendukung saya dalam segala situasi.
Mungkin bagi kalian, orang pertama yang mengajari kalian cara berlari, berjalan, membaca, menaiki sepeda adalah orang tua, tetapi dalam kehidupan saya, eyanglah yang memberikan semua ilmu itu. Sungguh, banyak hal yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu untuk membeberkan betapa ketulusan dan kebaikan yang ada di dalam diri Eyang Kakung bagi tumbuh kembang saya hingga pada saat usia saya yang sekarang ini, semua sangat berarti. Semua hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang tua saya, Eyang Kakung yang menempati posisi itu. Sampai saat ini, saya tidak terlalu fasih jika harus memboncengkan orang dengan sepeda. Saya bisa naik sepeda, sendirian, tanpa memboncengkan orang di belakang.
Pernah di suatu pagi, sehabis shalat subuh berjamaah di bilik kamar beliau yang sunyi, lantas beliau mengajak saya untuk berjalan-jalan pagi. Kami berjalan beriringan sampai di suatu kampung, yang masih dalam satu kawasan. Saya masih dapat mengingat suasana di kala itu, tentu tidak seperti sekarang ini yang sudah banyak lampu di sana-sini. Suasana pagi masih terasa sepi, remang dan dingin. Hanya sedikit rumah yang sudah berdiri kokoh di kampung. Tiba-tiba, Eyang Kakung menghentikan langkah saya dengan tangan kirinya.
"Kenapa, Eyang?"
"Sssst..."
Eyang hanya memberi isyarat dengan tangan kanannya agar saya diam sejenak. Beliau menunjuk ke arah depan, di tengah kegelapan subuh, dengan telunjuk jari kanannya. Saya mengikuti arah telunjuk itu, tidak menemukan apa-apa.
"Ada apa, Eyang?"
"Itu, ada macan. Kelihatannya dari hutan di seberang, ayo kita balik arah saja."
Eyang menarik tangan saya pelan-pelan berjalan berbalik arah, tanpa tergesa. Hanya langkah biasa yang penuh waspada. Ketika saya hendak menoleh ke belakang untuk memastikan apakah kami benar-benar aman, Eyang Kakung hanya menahan tolehan kepala saya agar tetap melihat lurus ke depan. Entahlah, apa mungkin pada saat itu masih ada macan yang berkeliaran di hutan, di bukit yang letaknya tidak jauh dari kampung kami. Mungkin saja ada. Sebab saya pernah melihat sebuah kidang/menjangan/kijang yang pernah tertangkap oleh tetangga ketika sedang mencari kayu di bukit itu pula. Kemudian menjadi tontonan menarik orang-orang kampung di waktu itu. Termasuk saya, tentunya.
Pernah dalam perjalanan hidup saya ketika hendak mencari Perguruan Tinggi yang terbaik setelah lulus Sekolah Menengah Atas, di saat bersamaan kondisi kesehatan Eyang Kakung sudah naik turun. Beliau mengajari saya untuk bertirakat. Memohon dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Esa dengan segala kerendahan hati. Berpuasa, berdoa dan berlaku jujur. Beliau selalu membangunkan saya pukul tiga pagi untuk mengawali aktivitas. Waktu sepagi itu Eyang Kakung sudah mengisi penuh bak mandi kami yang besar. Beliau meneruskan dengan menyapu halaman dan sekeliling rumah. Beliau selalu mengajarkan untuk membersihkan halaman sebelum orang-orang beraktivitas pagi. Oleh karena rumah kami berdekatan dengan sebuah pasar tradisional, hanya berjarak -/+ 30 meter, kami harus terbiasa menyapu sebelum orang-orang berlalu-lalang menuju ke pasar.
Saya selalu bertugas menyiapkan sarapan pagi setelah Eyang Puteri meninggal, hal yang biasa saya lakukan dari kelas empat SD. Kami punya rewang yang membantu pekerjaan memasak dan mencuci, mereka datang pukul 08.00 pagi hingga selesai pukul 16.00 sore, setiap hari, apabila tidak ada kepentingan lain. Kalau rewang saya sudah memasak sayur di sore hari, biasanya pagi itu saya tinggal menghangatkan dan menggoreng lauk saja. Ketika pencernaan Eyang sudah mengalami gangguan, saya selalu menawari apakah beliau menginginkan sarapan dengan bubur atau nasi biasa. Kalau beliau menginginkan bubur, saya akan pergi berbelanja ke pasar sebentar, jadi tidak aneh apabila terkadang pukul lima pagi, dengan berseragam, saya sudah mengantri untuk sebuah bubur di pasar. Hampir seluruh pedagang di pasar itu mengenal saya, bahkan hingga kini.
Pernah merasa sangat terjatuh ketika usaha saya gagal untuk menembus beberapa Perguruan Tinggi Negeri. Universitas Brawijaya, Universitas Diponegoro, bahkan Universitas Sebelas Maret yang dekat dari rumah, semua gagal saya tembus melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) waktu itu. Nilai rapor saya tidak mampu bersaing dengan para pendaftar lain. Banyak dari teman-teman saya yang melakukan mark-up untuk nilai rapornya sebelum mendaftar PMDK. Saya bukan orang yang dididik dengan cara seperti itu. Eyang Kakung selalu menekankan pada saya untuk berlaku jujur (laku jujur kang utama), beliau lebih bangga kepada apa yang saya peroleh dari proses yang saya jalani, ketimbang bagaimana hasilnya. Meski, apa yang sudah kita usahakan dengan harga yang terbaik tidak selalu pasti hasilnya sesuai yang kita inginkan. Namun, ternyata Yang Maha Kuasa memberikan saya kemudahan di lain waktu, tes mandiri Universitas Gadjah Mada yang saya ikuti akhirnya lolos seleksi
Satu kali dalam hidup saya, saya pernah sangat membahagiakan Eyang Kakung sebelum beliau sedo, ya dengan diterimanya saya di Perguruan Tinggi Negeri yang baik itu. Saya bahagia, setidaknya beliau pernah menemani perjalanan saya di Perguruan Tinggi selama hampir dua setengah tahun. Hal yang selalu mengingatkan saya kepada beliau, bertirakat. Saat sudah mencapai titik yang diinginkan, jangan lupa untuk tetap rendah hati, ingat Siapa Yang Membantumu dengan Segala Keagungannya. Suatu sore selepas maghrib, ketika kami duduk bersama di regol depan rumah, Eyang Kakung berpesan sangat dalam kepada saya tentang banyak hal. Banyak hal yang belum bisa saya maknai di usia saya waktu itu, sehingga banyak pula kalimat-kalimat Eyang Kakung yang tidak bisa saya pahami maksudnya. Saya ingat salah satunya beliau menembangkan bait Dhandhanggula, yang masih bisa saya nyanyika dalam hati:
|| Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana, sartane kawruhana. ||
"Ngger anakku, orang boleh menyombongkan ilmunya di depan kita, tidak mengapa. Kamu tahu, orang berilmu tidak akan pernah merasa bahwa dirinya berilmu. Selalu ingatlah akan ilmu padi. Sing bisaa rumangsa, aja rumangsa bisa."
Ya. Nasihat hidup orang Jawa, tidak hanya bersumber dari agama-agama dan kepercayaan yang berkembang di tanah Jawa, seperti Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Kong Hu Cu, dan Islam, tetapi juga dapat kita temui dalam karya budaya yang berupa tulisan dari para pujangga, wali, raja, dan para kaum cendekiawan lainnya. Eyang Kakung saya adalah satu contoh pahlawan nyata untuk hidup saya, juga kehidupan orang lain, who knows? Selama hampir 30 tahun beliau menjadi pemimpin di wilayah kami, belum pernah sedikitpun saya mendengar orang berkata buruk tentangnya. Belum pernah sedikitpun saya melihatnya menghukum orang dengan semena-mena, belum pernah sedikitpun saya mendapati ajaran dan tuturan beliau yang menyimpang dari nilai-nilai filosofis kebudayaan dan kearifan laku manusia. Belum pernah saya mendapati beliau berkata kasar kepada rewang-rewang di rumah. Saya selalu mendapati beliau membantu orang-orang yang sedang dalam kesusahan datang kepadanya. Saya selalu mendapati beliau dengan sabar memberikan pitutur kepada orang-orang yang datang sekadar ingin meminta nasihatnya. Saya selalu mendapati beliau tengah berdoa khusyuk di sepertiga malam, memohon dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Memberi. Saya selalu mengamati beliau selalu tergesa untuk datang awal setiap shalat jum'at di mesjid besar kami. Beliau selalu mengajarkan 'lebih baik engkau datang untuk melayat saudaramu yang meninggal dan keluarga mereka yang sedang berduka, ketimbang engkau datang ke pesta-pesta pernikahan'. Beliau selalu melayat siapapun baik yang dikenal maupun yang tidak dikenalnya secara pribadi di wilayah kami, menaiki sepeda tuanya. Bukan berarti datang ke pesta itu tidak diperbolehkan, katanya. Beliau juga selalu berusaha datang ke undangan pesta pernikahan, meski apabila berhalangan, beliau menyuruh saya dan rewang di rumah untuk njagongke/menggantikan beliau.
Saya yakin, banyak pahlawan-pahlawan di luar sana yang tidak pernah terjangkau oleh media-media besar, Mereka yang tulus memberikan pertolongan dan kasih sayang kepada orang lain, mengorbankan diri mereka untuk orang lain, memberikan perhatian kepada orang lain. Masing-masing dari kita pun pasti memiliki tokoh pahlawan imajiner yang kita banggakan. Siapapun itu, saya yakin mereka adalah orang-orang hebat yang pantas untuk diteladani dan mereka mengajarkan kepada kita tentang satu hal: kebaikan.
-Bening Rahardjo-