Friday, January 20, 2017

Bermedia Sosial yang Sehat.

Hi guys, lama sekali rasanya saya tidak update laman ini. Rindu menulis dan sering juga sih kepikiran untuk menulis, tetapi karena kesibukan pekerjaan dan persiapan pernikahan kakak saya sehingga saya menjadi tidak produktif menulis. Sebenarnya banyak sekali topik yang melintas di kepala saya dan mengusik rasa gatal di tangan untuk mengetikkan jari-jemari di atas keyboard, but oh.... #nosebleed ...Huh, pitty. Now, I get my chance to write here and well...let's start this! 



Few days ago, saya baru saja meng-unfollow seorang relasi di Twitter. So, what's the big deal? Ya, memang bukan hal baru dan bukan hal yang besar sih kita follow/unfollow seseorang di media sosial. Seperti hal yang normal, wajar, lumrah, I mean, it literally just happened. Tapi yang jadi point di sini adalah alasan me-remove seseorang dari daftar kontak atau daftar teman di media sosial. That's it. Just like me. I don't know, saya termasuk orang yang cepat ilfeel atas sesuatu. Sikap, bicara atau mungkin gaya seseorang saja besar pengaruhnya kepada pemahaman saya akan mereka--in another side, it wasn't good way to making connection with others.

Ceritanya cukup simpel, saya dan relasi ini berkenalan melalui dunia sastra. Lalu terjalinlah komunikasi, walaupun kami baru bertatap muka sekali saja, selebihnya komunikasi lewat sosial media. Terlepas dari apapun, beliau adalah seorang penulis yang saya kagumi. Bahasa penulisannya menunjukan bahwa beliau orang yang cerdas dan berwawasan. Sebelumnya saya katakan, benar ucapan orang bahwa pemilihan pilihan politik sering kali menjadi sumber pemecah pertemanan. Tidak hanya jelang Pilkada Jakarta, jejak jelang Pilpres juga timeline media sosial selalu ramai dengan postingan-postingan yang banyak berisi hasutan, hoax, saling menjatuhkan satu-sama lain, dsb. Rasanya jengah setiap scrolling timeline selalu menemukan hal yang begitu-begitu saja. Negative thought, memang. Racun bagi jiwa jika setiap hari hanya melihat dan membaca hal-hal negatif. 

Kembali ke relasi, beliau adalah salah satu orang yang aktif di Twitland. Aktif dengan bahasa-bahasa sastranya yang menarik. Entah mengapa menjelang Pilkada Jakarta beliau menjadi karakter yang seratus delapan puluh derajat berbeda. Adaaa saja yang dicacinya, ada saja yang dicibirnya, ada saja yang ditulisnya dengan bahasa penuh kebencian atas satu ras tertentu. Mengenai pilihan politik, tidak hanya beliau sih, saya juga punya banyak teman di media sosial yang terang-terangan mengenai pilihan politik. SILAKAN. Saya tidak tahu ya, apakah saya yang old fashion atau memang sekarang jamannya orang cenderung blak-blakan. Masalah pilihan politik yang seharusnya menjadi privasi, kini orang dengan bangga blak-blakan di muka umum. Biar gimana sih? Lalu mulai muncul pengamat politik dadakan di media sosial, beropini sendiri, menggiring opini publik pada satu cara pandang tertentu--tetapi bukan dengan cara positif. Terlebih parah adalah menyebar hoax.

Relasi saya ini bisa dikatakan hampir tiap jam tiap menit menuliskan tweet yang berisi kebencian dan opini yang rasis. Setiap saya baca, negatif terus nih orang, batin saya. Beliau menggiring opini pada perpecahan agama. Jujur, kalau itu sehari sekali saya masih AGAK toleran. Tapi kalau tiap menit tweet dan setiap buka timeline isinya hanya dia terus yang menuliskan sampah-sampah penyakit seperti itu terus, GHOST! I better not to read it. So, saya tanpa ragu langsung meng-unfollow beliau. Case closed. Tidak sedikit juga yang mungkin mengatakan: itu cuma media sosial kali, nggak usah baperan deh. Ya memang, memang dunia maya dan media sosial. Justru karena media sosial adalah dunia maya, tempat kita melepas penat dari dunia riil, kita pun punya hak untuk memilah dan memilih siapa yang 'bisa' menemani kita di dunia maya itu.
 
Bisa nggak sih kita berteman SEHAT di media sosial?

Bisa kok! Bisa banget! Kalian sendiri yang menentukan mau bermedia sosial dengan sehat atau dengan negatif. It's on your hand. Hanya kalian yang bisa menyaring siapa-siapa yang bisa diajak berteman di media sosial dengan positif atau negatif. 
Lalu bermedia sosial yang sehat itu yang seperti apa? Apa patokannya?

Bermedia sosial secara sehat seperti apa, itu juga kalian yang punya ukuran sendiri! Bisa jadi hanya gebetan pasang foto sama orang lain, bagi kalian itu menyakitkan. Bisa jadi hanya karena seseorang memposting sesuatu lalu kalian merasa tersindir dan merasa itu menyakitkan. Bisa jadi hanya karena mantan memposting foto dengan pacar barunya, namun bagi kalian itu menyakitkan.
Hello guys, it's absolutely up to you.
Kalau saya pribadi sih, sehat itu jauh dari kata-kata negatif. Bagi saya--yang berasal dari keluarga plural, dari beragam agama, beragam etnis, beragam ciri fisik--kalimat yang mengandung unsur provokasi pada perpecahan agama dan SARA itu adalaah TIDAK SEHAT.

So, satu kalimat penutup yang mau saya sampaikan di sini....



See ya guys!