Thursday, June 23, 2011

“Separoh Abad Lebih Ndalem Martanan dan Gulawentahan yang Membentuk Pribadi dan Prinsipku, Seorang Bening Rahardjo” PART 6

Berkeras dalam prinsip, itulah aku. Kerasnya watak dan pendirianku atas apa yang kuyakini benar, itu menurun dari Eyang Kakung sendiri sebenarnya. Beliau juga orang yang keras atas prinsipnya. Namun, yang membedakan adalah, Eyangku tidak pernah menaruh dendam dalam hatinya pada orang-orang yang telah sedemikian di luar batasnya menyakiti beliau. Sedangkan aku, aku menjadi orang yang berkeras hati, apabila yang dilakukan padaku telah lebih dari batas wajar. Aku memang berpegang pada prinsip lakon dalam wayang, siapa menabur bakal menuai, cepat atau lambat, setiap apa yang kita lakukan, akan ada balasannya. Tetapi memang untuk hal yang satu itu, entah mengapa rasanya sulit bagiku untuk bisa menerima dan memaklumi tindakan orang-orang yang telah menyebabkan ketraumaan seumur hidup dalam diriku, bahkan tega membuat malam-malamku menjadi tidak indah dengan bunga tidur. Semakin aku mencoba untuk melupakan, semakin rasa sakit itu terkubur dalam hatiku. Jadi, caraku untuk tetap ‘berpegang’ pada lakon wayang yang sabar adalah: Move on! Ya, pergi sejauh-jauhnya dari mereka yang telah membuatku luka. Menciptakan kehidupan baru yang bahagia, tentunya tanpa mereka.

Bagi sebagian orang, mungkin itu dianggap sebagai ketidakmampuanku dalam menerima kenyataan pahit. Justru karena aku menerima dan meyakini bahwa Tuhan punya balasan yang sangat adil untuk semua perbuatan, itu yang membuatku menjadi sosok yang arogan, hidup untuk kebahagiaan yang aku ciptakan sendiri tanpa orang-orang yang berlaku picik, berlaku tidak benar. Sedikit ada benarnya, namun ternyata ada juga salahnya dalam aku mempersepsikan kebahagiaan. Setelah aku tahu, bahwa kebahagiaan itu dapat kita rasakan bukanlah dengan sengaja diciptakan, tapi berjalan dengan sendirinya. Itulah yang aku sadari, mengapa aku tidak pernah bisa menemukannya sekeras usahaku untuk mencari dan menciptakannya. Suatu hal bodoh yang menurutku tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Aku tahu, ada beberapa sahabat yang bahkan mengatakan padaku, ia tidak habis pikir mengapa aku sebegitu kerasnya mencari apa itu kebahagiaan. Dia katakan padaku, hidupnya selalu dipenuhi dengan kebahagiaan. Kebahagiaan itu, ia katakan, adalah saat dimana ketika ia jauh dan merasa rindu, mamanya meneleponnya dengan suara yang lembut. Kebahagiaan itu adalah dimana saat ia makan es krim. Kebahagiaan itu adalah saat dimana ia  mendapat sms dari kekasihnya, kebahagiaan itu adalah saat dimana dia tahu bahwa tulisannya dimuat dalam sebuah majalah. Kebahagiaan itu adalah saat dimana dia bersepeda mengelilingi kompleks. Mungkin, temanku ini menganggap aku gila. Orang gila yang tengah mencari hal yang sebenarnya tidak perlu untuk dicari dan dapat dengan mudah dirasakan dalam hal-hal yang sepele. Yah, mungkin dia benar. Tapi, menurutku dia pun tidak sepenuhnya benar, ketika dia mengatakan “hidupku selalu penuh dengan kebahagiaan”. Aku katakan itu membosankan! Bahagia yang sebenarnya adalah ketika kita merasakan bahagia setelah melewati ketidakbahagiaan. Hidup akan menjadi lebih berwarna.

Tapi seperti apapun, itulah aku, Bening Rahardjo. Wanita yang telah menemukan independensi dalam perjalanan hidupku….



-Best Regards-

Wednesday, June 22, 2011

“Separoh Abad Lebih Ndalem Martanan dan Gulawentahan yang Membentuk Pribadi dan Prinsipku, Seorang Bening Rahardjo” PART 5

Belajar dari semua kepahitan, aku menjadi lebih mengerti kini, begitu kita bertindak, jangan sesali apa yang telah dilakukan. Apa yang sudah lewat biarkan berlalu. Semua orang punya masa lalu, entah pahit, entah buruk, entah baik, entah manis. Masalah seburuk apapun masa lalu kita, itu urusan kita dengan Tuhan. Tuhan yang mendengar dan menerima urusan dosa dan pahala kita. Kalau terus dipikirkan apa yang mesti dilakukan, kita tidak akan pernah maju, dan bisa-bisa pikiran kita terfokus pada satu itu, lalu yang terjadi adalah kita tidak dapat melaksanakan tugas yang sekarang dengan baik. Jadi, aku berkata pada diriku sendiri, “Apa yang sedang kau lakukan saat ini, lakukan sebaik-baiknya. Semua itu akan meningkatkan fleksibilitasmu, Ning!”. Tidak mungkin, dalam setiap langkah selalu mulus. Sudah aku katakan, aku hanya hidup sederhana dan biasa. Sering terjadi kekurangan. Dalam kondisi seperti itulah, aku membutuhkan waktu untuk berfikir, bahkan berfikir dua kali, berfikir sebelum bertindak, berfikir untuk menata ulang, merencanakan option-option tertentu, yang semua ada konsekuensinya tentu. Ini seperti taruhan dalam perang, kalau salah strategi, kita akan hancur dalam kurun waktu beberapa detik; tapi kalau strategi kita bagus, kita akan selamat. Jadi kupertaruhkan harapan dan hidupku dalam rencana itu. Ibu secara tidak langsung telah mengajariku untuk tidak takut mengambil keputusan yang berat, meskipun harus dibayar mahal secara emosional dan menurunkan sedikit harga diri dalam jangka pendek. Terkadang, benar kalau situasi dan kondisi memang menuntut untuk berani menurunkan sedikit harga diri dan ego. Bukan kita tidak lagi berharga, justru itu akan memberikan penghargaan pada diri kita sendiri. Kita tangguh. Kita harus berani menghadapi resiko dan akibatnya, meski tak selalu menyenangkan. Keberanian itu adalah pilihan di antara dua kemungkinan; suatu tekad untuk tidak mundur dan stuck di titik itu saja. Aku sadar, kalau aku terlalu memperhatikan kemungkinan buruk, atau sibuk dengan hitungan rasional, aku tidak akan pernah berani mengambil keputusan. Kalau tidak ada pilihan-pilihan baik, aku hanya berpegang pada “lakukan saja apa yang harus dilakukan, Ning!”. Titik.

                Aku pernah mengalami kondisi depresi, yang aku sendiri sudah putus asa dan tidak tahu apa yang mesti kuperbuat. Badanku tidak karuan rasanya, sejenak aku berubah menjadi sedikit “aneh”, aku bahkan tidak tahu berapa lama aku tertidur, karena setiap malam aku tidak bisa memejamkan mata hingga pagi subuh hari. Siang pun, hanya sebentar memejam lantas terjaga lagi. Hingga aku menawarkan diri menjadi “dokter” bagi adik-adik kecilku di SLB dan Panti-Panti Asuhan. Aku merasa perlu bertemu mereka, untuk membantu mereka, bercanda sedikit dan membagi rizqi dengan mereka. Namun, kenyataannya, sesampai di sana, akulah yang menjadi “pasien” mereka. Aku seperti pasien yang diberi suntikan insulin untuk menanggulangi “gangguan mental yang tidak dapat disembuhkan”. Suntikan itu adalah semangat, senyum, tawa dan keceriaan mereka. Itulah “obat” yang menyembuhkanku.

Eyangku selalu mengajariku untuk mencatat apa-apa saja yang penting dan berkesan dalam perjalanan hidup. Tentang kejadian-kejadian, bahkan tentang prinsip hidup. “Semua yang kau rasa penting, catatlah. Karena ingatanmu tidak akan sama selamanya. Kalau sudah menuliskan semuanya, pikiran akan lebih tertata.” Itu kata beliau. Jadi, aku dari kecil senang mencatat apapun, yang aku rasa menarik dan bisa menjadi cerita untuk hari tua nanti. Seperti saat aku membuat catatan ini untuk diriku sendiri maupun untuk orang lain agar tahu mengenai diriku.

“Separoh Abad Lebih Ndalem Martanan dan Gulawentahan yang Membentuk Pribadi dan Prinsipku, Seorang Bening Rahardjo” PART 4

Sejak kecil, aku menyadari kulitku gelap seperti masyarakat Jawa pada umumnya. Bahkan teman-teman kakakku semua mengatakan kalimat yang sangat menusuk kadang, “Apa kau sungguh adik kandungnya? Mengapa warna kulit kalian berbeda? Kakakmu terlihat cerah sekali.” Menyakitkan bukan? Itu pernah betulan aku alami saat menjalani Masa Orientasi Siswa ketika masuk ke SMA Negeri di daerah asalku dulu. Kebetulan, yang memimpin banjarku adalah anak OSIS, teman kakak (karena aku dan kakak selalu bersekolah di sekolah yang sama, kecuali saat kuliah, jarak kami hanya satu tahun di tiap tingkatan, dia selalu di atasku), jadi kabar bahwa kakakku mempunyai adik yang jadi siswa baru sudah menyebar ke anak OSIS. Aku merasa kesal kalau sudah begitu. Namun, perlahan aku akan tunjukkan bahwa dengan hati yang bersih, semua itu bisa mengalahkan kecantikan fisik. 

Kata saudara-saudaraku dari bapak, Eyang Kakung dari bapak kandungku adalah seorang blasteran, aku tidak tahu persis bagaimana silsilahnya dan dari mana asal-muasalnya. Namun, yang dapat dilihat pasti secara fisik adalah keturunan dari gen mereka sangat kuat: badan mereka yang tegap besar, tingginya yang di atas tinggi orang Indo pada umumnya, kulitnya bersih-bersih putih-kemerahan, gigi putih tertata rapih dan berhidung mancung. Rambut mereka berombak-sedikit banyak condong ke arah keriting kecil. Bapak dan kakak kandungku masih mewarisi ukuran badan besar, tegap, tinggi, dan rambut keriting. Karena itulah kulit kakakku juga bersih, cerah, berbeda denganku yang kecoklatan, postur tubuh tidak terlalu tinggi, bertulang tubuh kecil-kurus, rambutku juga lurus sewaktu kecil hingga remaja (sekarang terlihat sedikit mengombak seperti saudara-saudaraku keturunan dari gen ibu). Saat remaja, kami terlihat kontras. Kakak dengan badannya yang tinggi sekali, kulit cerah dan rambut keriting. Sedangkan aku pendek, berkulit gelap dan berambut lurus. 

Mungkin, karena itulah aku sebagai wanita menjadi begitu mengagumi sosok wayang Sembodro, atau yang memiliki nama kecil Roro Ireng. Sifat anggun, anteng, berbudi halus dan cerdas yang aku kagumi. Sembodro kecil memang kulitnya hitam legam, karena itu dia dipanggil Roro Ireng. Namun, setelah menjadi isteri Arjuna, dia berubah menjadi wanita cantik yang banyak disukai Ratu di berbagai kerajaan, tetapi Sembodro adalah sosok wanita yang sangat menjunjung kesetiaan dan kecintaan pada suaminya. Eyangku gemar mirsani ringgit (wayang), walaupun sudah jarang digelar pertunjukan langsung, Eyang tetap bisa menikmati di layar kaca televisi dulu, yang setiap malam minggu sering ada siaran wayang langsung. Biasanya dalangnya Ki Mantep Soedarsono yang begitu digemari Eyang. Selain beliau berasal dari daerah yang sama dengan kami, dalang yang satu itu juga sangat begitu memahami dan memegang pakem Jawa. Ya, pakem. Semua apa yang dilakukan orang Jawa ada pakemnya, begitu kata Eyang Puteri. Pakem itu aturan atau adat yang diugemi (dipegang dengan sungguh), seperti prinsip hidup. Lakon wayang selalu menggambarkan waktu yang berputar mengikuti siklus. Maksudnya bukan mengajari kita untuk berpasrah pada kekuatan yang tidak terelakkan. Ajarannya justru bahwa hal-hal yang tidak berubah dalam hidup dapat menjadi sumber kekuatan dan pegangan bagi kita untuk menghadapi tantangan, dan untuk mengubah keadaan.

Cerita-cerita wayang tidak berubah selama berabad-abad, tetapi tetap kaya dan luwes. Di dalamnya selalu banyak misteri dan hal baru. Lagipula, dalang selalu menyisipkan masalah-masalah yang menyangkut desa, politik, kondisi ekonomi, sejarah, dan cerita-cerita baru. Tapi satu yang tidak pernah berubah. Setiap wayang menunjukkan perbedaan tajam antara yang baik dengan yang jahat, dua sisi jiwa dan tindakan manusia. Bahwa kebaikan selalu menang. Mungkin, karena salah satu ajaran inilah, Eyang gemar menceritakan tokoh perwayangan dan lakon wayang setiap setelah makan malam. Kebaikan menang atas kejahatan. Itu yang kemudian kupegang menjadi prinsipku. Aku bisa menunggu bertahun-tahun karena aku berpegang pada apa yang kuanggap benar dan aku yakin bahwa semua akan menjadi beres suatu saat nanti. Sikapku ini sering kali mengherankan teman-temanku. Apalagi setelah menginjak bangku pendidikan tinggi, aku memiliki teman yang beragam latar budaya dan daerah asalnya. Teman-teman dekatku sendiri, ada yang dari Palembang, Jakarta, Banyuwangi, Padang, Batak, Sunda, Kebumen, Blitar, semua berasal dari watak yang keras dan kuat tegas semua. Walaupun aku sudah cukup lama bersahabat dekat dengan mereka, aku tetap memiliki mentalitas Jawa yang terpendam begitu mengakar. Sikapku ini yang sering mengherankan teman-temanku yang kebanyakan dari luar Jawa. Aku dibilang terlalu lemot dan sabar. Bagiku, inilah sikap orang Jawa yang ditampilkan dalam wayang, suatu kepercayaan tentang kesabaran. Aku begitu sabar dengan orang yang telah menghianatiku, menipuku bahkan memfitnahku. Aku menunggu saja dengan tenang, hingga akhirnya orang-orang itu akan berjatuhan sendiri. Itu pula yang diajarkan Eyang Kakungku semasa hidup beliau mendidik aku.

Meskipun lembut, Eyang selalu menerapkan disiplin yang ketat di Ndalem Martanan itu. Tidak boleh bersuara gaduh saat makan. Makan di meja makan. Tidak usah mengeluh apa yang dimakan saat itu, disyukuri saja, semuanya akan menjadi nikmat saat makan. Eyang juga akan mengikatku di cagak (soko rumah) dengan jarik (kain jarit) lalu mencambuki tubuhku dengan cambuk rotan. Itu jika aku melakukan kesalahan yang sangat tidak bisa ditolerir atau aku berbohong. Beliau menekankan pentingnya kejujuran. Kalau kami mengulangi kesalahan yang sama, hukumannya akan lebih berat. Walaupun di rumah kami banyak yang ndherek (istilah untuk rewang yang mengabdi), beliau berdua tidak pernah memanjakan kami untuk hanya duduk di depan saja, ongkang-ongkang istilahnya. Beliau mengajariku hal penting: “Jangan menunda pekerjaan. Kalau bisa dilakukan sekarang, lakukan segera!”

Aku tidak pernah merasa hidup miskin, meskipun aku kira memang begitu. Kami tinggal di Ndalem Martanan yang sederhana. Sebuah rumah joglo tua yang sangat luas. Bangunan itu masih terhitung baru, bangunan utamanya dibangun sebelum kemerdekaan RI, tahun 1940. Namun, pendhapinya baru dibangun tahun 1961. Terdiri dari 4 bangunan: Pendhapi (pendopo); Omah Ndalem (bangunan dalam utama); Gandhok Samping (bangunan samping sebelah bangunan utama); dan Gandhok Wingking (bangunan dapur belakang dan rumah di pekarangan belakang). Rumah luas itu pernah menjadi saksi kelahiran setiap putera-puteri Eyang yang berjumlah 9 orang. Rumah itu menjadi saksi betapa kuatnya Eyang dalam bekerja keras demi anak cucunya. Setelah semua merantau, hanya tinggal Eyang Kakung-Puteri, Ibu, Kakak, dan aku di sana. Hidup kami sederhana. Tapi begitu bahagia. Kami merasa lengkap dengan adanya mereka dalam hidup kami. Eyang Kakung pernah berkata padaku: “Hidup prihatin memang sakit, namun akan banyak hal indah di dalamnya yang bisa menjadi pelajaran dan penguat untuk pribadimu ke depan nanti. Kau harus tersenyum dan kendalikan raut mukamu di depan orang. Jika keadaanmu telah berubah, bersikaplah luwes dan tetap pada prinsipmu. Jangan ada rasa iri, dengki, dendam, merendahlah, merunduklah. Yang berbudi lebih baik akhirnya.” Aku begitu terkesan dengan kalimat itu.

Tuesday, June 21, 2011

“Separoh Abad Lebih Ndalem Martanan dan Gulawentahan yang Membentuk Pribadi dan Prinsipku, Seorang Bening Rahardjo” PART 3

Aku lahir dan menjadi bagian dari kebudayaan Jawa yang sudah berkembang beribu tahun lamanya, dan bertahan di tengah perubahan jaman. Kata Eyang Kakungku, orang  Jawa biasanya anteng, tenang. Mereka menghormati orangtua, serta menghargai hierarki dan atasan. Pada umumnya orang Jawa tidak suka menunjukkan emosi. Bahkan ketika marah, mereka tetap sopan. Orang luar Jawa sering salah kira dan menganggap sopan santun Jawa sebagai tanda kerendahan hati. Sopan santun ini sering membawa masalah, karena orang lain tidak bisa menduga apa yang aku pikirkan. Karenanya, aku juga harus punya prinsip tegas, “Kadang dalam situasi tertentu, kita harus punya garis batas ketegasan sikap kita atas: ya, tidak, hijau, merah, baik, buruk. Itu semua agar kita tetap berpegang pada prinsip. Dan orang tidak menjadi salah sangka karena kelemahan kita atas ketegasan.”

Aku begitu sangat amat akrab dengan budaya Jawa. Karena semenjak kecil, dari aku lahir, aku ikut tinggal dan dibesarkan oleh Eyangku. Bukan karena Ibuku tidak sayang padaku, tapi karena rasa sayangnya itulah, beliau ‘menitipkan’ aku pada orangtuanya. Istilah menitipkan dan dibesarkan itu, disebut ‘ngengger’ dalam bahasa Jawa. Ibuku tidak lantas melepaskan begitu saja, beliau juga ikut tinggal di Ndalem Martanan itu bersama kami. Hanya saja aktivitas serta pekerjaannya yang terkadang ‘membatasi’ kedekatan kami, kedekatan yang seharusnya terjalin alamiah antara Ibu dan anak. Kedua Eyangku, beliau orang yang sangat memegang adat Jawa. Orang yang sangat berbudi halus dan sopan dalam Jawanya. Ajaran dan gulawentahan yang sangat menjunjung tinggi adat serta kesopanan Jawa. Banyak hal dan pelajaran yang kuperoleh dari masa kecilku di Ndalem Martanan. Kalau bertamu di lingkungan orang Jawa, duduklah dengan merapatkan kaki. Orang Jawa tidak pernah menyilangkan kaki ketika bertamu atau menerima tamu, karena dianggap tidak sopan. Mereka juga tidak pernah menaruh kaki di atas meja, jika Anda melakukan itu, bisa dianggap kurangajar. Budaya orang Jawa juga percaya pada ‘ngelmu’, atau kekuatan ilmu gaib. Di masa kecilku, Eyangku—maupun melalui rewang-rewangnya—selalu memberiku jamu-jamuan tradisional untuk menyembuhkan demam atau luka. Jamu itu dibuat dari tumbuh-tumbuhan empon-emponan, akar-akaran dan daun-daun pepohonan lain. Sambil meminumkan jamu, Eyang Puteri membisikkan doa, lalu meniupi bagian badanku yang demam. Untuk obat infeksi, Eyang Kakung biasanya memberi getah daun pohon dapet ke bagian yang luka. Sedangkan Eyang Puteri, ia mengunyah daun-daunan dan akar-akaran lalu meludahkannya di atas lukaku. Aku tidak merasa jijik. Tak lama, luka itu cepat mengering, darahnya juga dibersihkan. Saat kecil, aku pernah disengat lebah di bagan kelopak mata, rasanya sakit bukan main, sampai badanku demam. Eyang Kakung segera  mencari daun-daunan, mengunyahnya, mencampurnya dengan tembakau lalu diludahkan di bekas sengatan itu. Beliau menggosoknya dengan kuat hingga rasa sakit sedikit hilang. Sekali lagi, aku tidak merasa jijik, sekalipun bercampur dengan ludah.

Tentunya Eyangku mendapat ilmu itu dari warisan moyang kami dahulu. Kadang-kadang beliau membuat ‘eksperimen’ dengan berbagai tanaman obat di pekarangan belakang rumah kami. Aku percaya saja, bahwa keakraban dengan alam merupakan kunci dasar penyembuhan. Belum ada rasio semasa aku remaja.

Aku begitu ingat, pasti, setelah sholat maghrib, Eyang Kakung mengajakku duduk di teras, melihat bintang di langit. Kondisi dulu masih bisa melihat langit dengan lapang, tidak seperti sekarang, sudah banyak tertutup bangunan. Beliau lalu menjelaskan padaku, hitungan bintang menurut orang Jawa. Mereka menyebutnya mongso. Ini mongso tandur (bertanam), mongso ngrabuk (merabuk), atau mongso panen, mongso ketigo (kemarau) atau mongso rendeng (penghujan). Rasi bintang, tanda-tanda bintang di langit malam, itu yang mereka pelajari. Aku selalu kagum dengan ilmu orang Jawa yang begitu hebat, semua didasarkan pada alam. Mereka mempelajari kebiasaan alam dan tanda-tanda alam dengan begitu hebat. Padahal di sekolah saja, aku lupa-lupa ingat mengenai pelajaran seperti itu.

Monday, June 20, 2011

“Separoh Abad Lebih Ndalem Martanan dan Gulawentahan yang Membentuk Pribadi dan Prinsipku, Seorang Bening Rahardjo” PART 2

Lama kelamaan aku makin pintar melupakan sesuatu. Tapi aku tidak pernah bisa mengatasi rasa rinduku pada desa kecil itu. Seperti ada sesuatu yang hilang di sana, entah apa itu, aku sendiri tidak tahu. Yang pasti, sesuatu menungguku di sana. ini bukan bicara mengenai Ndalem Martanan. Karena aku yakin, tanpa kutuliskan di sini pun, semua yang ada di Ndalem itu akan selalu kurindukan dan menunggu kedatanganku setiap saat dengan tangan terbuka. Kalau dipikir-pikir, agak konyol juga, bagaimana mungkin aku bisa menemukan sesuatu yang bahkan tidak dapat kutentukan apa itu?

Semakin beranjak usiaku, semakin menapaki masa dewasa sebagai seorang wanita yang cukup independen, aku merasa banyak perkara-perkara lama yang belum selesai, kemudian muncul lagi menghadang, yaitu perkara yang mestinya masih dapat kita lakukan atau yang harus kita lakukan, padahal sebenarnya sudah tidak mungkin kita lakukan. Mula-mula, aku merasa biasa saja, kemudian terjadi pergolakan dalam diri. Awalnya masih aman-aman saja, putaran kilasan adegan masa lalu, muncul dengan tenang. Tapi lama kelamaan kilasan adegan itu tidak mau pergi, malah seperti mengatakan sesuatu padaku: “Siapa bilang kamu tidak bisa? Semua ada pilihan. Jalan masih terbuka lebar. Tinggal memutuskan yang mana, dan bertindak.”

Pada mulanya hanya dengungan biasa, tapi pesan yang sama dengan frekuensi dengungan yang terus-menerus, lama-lama membuat aku mulai mendengarkan juga, dan akhirnya aku mampu berfikir. “Oke. Jangan-jangan suara itu benar. Pilihan memang selalu ada. Jalanku masih terbuka.” Dan saat itulah, pikiran serasa kembali muda dan fresh.

Akhirnya aku memutuskan:  Aku akan datang membuktikan semuanya pada desa kecil itu, pada semua yang ada di dalamnya! Aku akan membuktikan atas masa lalu itu dengan masa depan dan kehidupan yang terbaik!

Sebagai persiapan, inilah yang sedang aku jalani, yang hingga saat ini masih kujalani. Semua berproses. Kita tidak bisa menyalahkan pada apa yang telah terjadi. Masa lalu, itu semua dialami oleh setiap pribadi orang yang bernafas di muka bumi ini. Dalam ingatanku, paling tidak sudah seumur pohon jati aku tinggal di sana. Padahal yang sebenarnya hanyalah baru seumur jagung. Aku sadar, ingatanku bisa tertipu, oleh hal-hal yang seharusnya tidak begitu berat kupikirkan. Aku menapaki persiapanku ini dengan berdebar-debar. Orang Jawa sangat percaya pada ‘lakon’. Kalau ada yang tidak mengerti apa itu lakon? Yang dimaksud adalah ‘apa yang akan terjadi ketika seseorang menjalani hidupnya; akan seperti apa cerita hidupnya.’ Itulah lakon. Dan dalam lakon hidupku, semua memang ‘harus’ berjalan begitu. Dan aku harus membuktikan.

Sunday, June 19, 2011

“Separoh Abad Lebih Ndalem Martanan dan Gulawentahan yang Membentuk Pribadi dan Prinsipku, Seorang Bening Rahardjo” PART 1

Bening Rahardjo, begitu aku menyebut dan memanggil diriku sendiri. Nama depan cantik yang diberikan oleh pamanku (adik kandung ibu) saat ia tengah berlayar. Sedang nama belakang itu adalah nama belakang Bapak, ayah kandungku. Aku sisipkan setelah beliau meninggal awal 2009 lalu, untuk berusaha tetap memuliakannya sebagai ayah kandung. Walaupun sudah dari lahir aku tidak bersamanya, dan hanya menikmati pertemuan beberapa saat sebelum ia meninggal. Namun, hubungan darah ayah dan anak perempuannya tetap ada hingga bahkan aku menikah nanti. Aku menyatakan diriku sendiri sebagai seorang wanita yang menemukan independensinya dalam perjalanan hidupku. Aku tumbuh dan berkembang sehat, alhamdulillah, sesuatu yang pantas aku syukuri. Walaupun tahun 2006 lalu pernah dinyatakan ada sedikit gangguan besar dalam kesehatanku. Gangguan itu seterusnya sangat mempengaruhi aktivitasku sehari-hari, mengharuskan sedikit ‘harus mentolerir’ kondisi fisikku. Namun, semua tetap aku syukuri, sebagai bentuk rasa sayang Alloh SWT untuk pribadiku. Dokter spesialis yang menanganiku selalu menghibur dengan guyonannya, meski aku rasa dia sendiri sudah terlalu tua, dan lebih pantas dihibur. Dulu, sempat sebelum memasuki ruang bedah pertengahan tahun 2008 dengan kondisi yang sangat sedemikian pasrah, aku bahkan tidak sampai hati mengucapkan sesuatu pada Ibu. Aku sendiri begitu khawatir akan keselamatanku karena aku mencintai keluargaku. Bahkan, rasanya kecemasanku sudah kuserahkan kepada Tuhan. Ketika akan masuk ruang operasi, bertanyalah aku pada dokter yang bertanggungjawab atas anestesi: “Dok, kalau Tuhan Pencipta Yang Hebat dalam hidup ini, mengapa DIA tidak menciptakan tombel reset untuk hambaNYA ya?”. Dokter yang sebenarnya sudah membuat surat perjanjian dengan ibu—sebab kondisiku yang tidak stabil, dia sendiri tidak yakin bahwa operasi akan berjalan mudah—kemudian menjawab pertanyaan bodohku itu dengan bijaknya, dan inilah yang membuatku senantiasa bersyukur atas segala kondisi kesehatanku yang sampai sekarang tidak stabil kadang: “Nona, Tuhan sudah menciptakan tombol reset yang luar biasa dalam hidup kita, tombol itu namanya rasa sakit. Karena tanpa merasakan rasa sakit, kita tidak akan pernah melakukan perubahan.” .Aku pikir, perkataannya itu bisa ditarik secara general bukan hanya terkait masalah kesehatan, tetapi juga kehidupan kita. Ya, sakit ataupun senang perjalanan hidupnya, semua harus disyukuri. Aku sungguh berterimakasih kepada dr.Purwanto, Sp.An.  yang telah memberikan kalimat bijak untuk seterusnya sangat berguna membentuk diri menjadi pribadi yang selalu bersyukur, optimis dan tetap bersemangat.

Aku bersyukur dengan hidupku dan seluruh yang telah menemaniku—mereka yang kusebut dengan keluarga. Ibu, wanita utama yang ingin dan akan selalu kumuliakan dalam hidupku, yang dalam keterbatasannya telah memberikan pendidikan yang terbaik bagiku. Eyang kakung dan puteri yang telah mempersiapkan diriku untuk menghadapi segala perubahan dan menatap kerasnya fakta kehidupan ini. kebijaksanaan mereka semua tak akan pernah pudar selama perjalanan hidupku mengarungi petualangan, kesulitan hidup dan mencapai prestasi. Semua yang berada di sebuah tempat sederhana dan nyaman, yang kami sebut dengan Ndalem Martananis that all—yang begitu luar biasa memberikan inspirasi. Tanpa meninggalkan masa lampau, mereka tetap bekerja keras mengukir masa depan. Tujuan mereka adalah memberikan tempat yang menyajikan setiap orang untuk hidup bermartabat dengan dirinya, tidak ada ruang bagi kepicikan, atau bagi tindakan yang tidak bertanggung jawab dan tidak benar.

Jika banyak orang bertanya, mengapa rasa-rasanya aku seperti ingin melupakan desa asalku. Mengapa aku sedemikian arogan untuk bisa bersosialisasi lagi di sana seperti orang kebanyakan yang kembali pulang dari rantauannya. Biasanya ada alasan mengapa orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Bagiku, dengan hidup di desa itu, membangkitkan kenangan pahit masa lalu. Sesuatu yang pahit di masa lalu, yang tidak akan pernah bisa dimengerti oleh seorang pun. Pada malam hari sering aku tidak bisa tidur oleh karena memendam depresi yang luar biasa di perantauan. Itu terjadi setiap aku mengingat desa asalku, sebuah desa kecil yang menyimpan banyak cerita pahit di dalamnya. Aku bukan melupakan semuanya, tidak. Karena Ndalem Martanan, tempat aku tumbuh dan dibesarkan hingga usia 18 tahun, aku masih tetap mencintai seutuhnya. Walaupun Ndalem itu letaknya berada di pinggir jalan besar penghubung kabupaten, sampai saat ini masih berdiri kokoh dan menjadi bagian dari desa itu. Aku juga merasa, dengan tetap tinggal di sana, maka aku tidak akan berkembang. Dengan segala watak kepicikan di masa lalu, aku telah sangat terluka, jadi bagi pribadi sangatlah wajar apabila aku menjadi arogan karena rasa sakitku. Itu saja alasanku. Bagiku, kediaman setiap orang berada di masa depan, bukan di masa lalu. Berbagai tantangan yang produktif dan menggairahkan memenuhi kehidupanku. Lalu, mengapa harus melakukan wisata ke masa lalu yang hanya akan membangkitkan perih-getirnya kenangan lama?

Aku berusaha melupakan kepahitan. Mula-mula aku gagal. Misalnya, ini terjadi beberapa saat lalu setelah aku mengalami masa panjang depresiku. Aku merasa dipermainkan mentah-mentah oleh seorang teman, hanya gara-gara sebuah kalimat sms ya/tidak. Sedemikian marahnya aku hingga melontarkan kalimat yang sangat keras, sekeras prinsipku—jangan jadi orang dumeh. Seorang teman itu, hingga akhirnya merasa sangat tersinggung dengan kalimatku, dan hubungan kami menjadi tidak begitu baik. Walaupun sudah kusertai rasa dan kalimat permintaan maaf yang tulus, bahkan sudah kujelaskan alasan-alasan utama mengapa kalimat itu sampai hati terlontar dariku. Tapi, no respons.  Tak apalah. Aku cukup memahami dan memaklumi saja. Aku berharap, semua akan berjalan membaik seperti semula. Tentunya, ini juga menjadikan pelajaran bagiku, untuk lebih bisa bersikap elegant, realistis dan tidak hanya bicara omong kosong. Karena orang yang berpendidikan dan terhormat, tidak akan melukai harga diri mereka hanya untuk perkataan yang stupid.

Wednesday, June 1, 2011

Hari Kelahiran Pancasila

Yeee...ketemu lagiiii (setelah sekian lama gw ngilang untuk fokus pada satu hal yang sangat berarti buat masa depan gw, halah! :p),
hari ini, sekalinya ketemu, pas tanggal 1 Juni, bukan masalah tanggal gajian atau apa sih...tiba-tiba aja tadi gw buka-buka situs jejaring sosial, ada yang bilang kalo hari ni tuh bertepatan dengan hari peringatan sumpah pemuda, ops....ngaco! Hari kelahiran Pancasila maksudnya....*Yeeee!!!!
So, WHAT???
Sebenernya, gw gak terlalu interest aja sama ni hari...lagian apa sih makna Pancasila? toh, tiap hari gw udah mengamalkan lewat perilaku (beeehh! :D). Gw aja dah dikit-dikit lupa kalo tiba-tiba ditodong suruh ngapalin pembukaan UUD '45,... Jangankan itu, Pancasila aja, gw lupa-lupa inget di Sila ke-4 :D *eeengg inggg eennnggg

Sebagai Warga NKRI yang baik dan bertanggung jawab, gw merasa agak sungkan juga kalo gw gak hapal ama Pancasila. Hapaaalll siiihhh, tapi kadang kalo ditodong dengan cepat gw suka lupa, entah ngacak gitu di Sila ke-4, hehe...
So, Mr.President, maafin saya yaaah, bukan berarti saya gak cinta Indonesia looohh....saya cinta banget Pak, cuman yaa...ingatan jangka pendek hehe, apa daya :D
Ohya, ini ada urutan Pancasila ama lambang-lambangnya, kali aja buat refresh otak kita ke pelajaran jaman SD dulu, jaman pengamalan P4 atau apalah dulu itu...hihi, cekidot :)