Monday, February 27, 2017

Life List: Pengalaman Pertama Mendaki

Hi guys, postingan saya kali ini mau bahas seputar pendakian. Pasti kalian punya dong Life List yang ingin kalian lakukan minimal sekali dalam hidup? Demikian juga dengan saya, salah satu hal terbesar dalam hidup yang ingin saya lakukan adalah mendaki. Bagi banyak orang, mungkin melakukan pendakian ke gunung-gunung adalah hal normal dan biasa dilakukan. Tetapi bagi sebagian orang lain dengan kondisi fisik yang kurang beruntung, mendaki mungkin akan menjadi pengalaman berharga yang ingin mereka lakukan minimal sekali dalam hidup. Pengalaman saya kali ini adalah kali pertama dalam menaklukan ego saya dan diri saya sendiri. Kalau ada yang bertanya apa sih motivasi naik gunung? The truth is, saya ingin merasakan sensasi mendaki seperti yang banyak orang ceritakan, meski dengan kekurangan-kekurangan yang saya miliki. Banyak orang bercerita bahwa kalau kamu ingin tahu dirimu yang sebenarnya, cobalah mendaki gunung. Semua watak aslimu akan keluar. Dulu sih nggak begitu paham. KKN UGM selama 3 bulan di tempat yang terpencil nggak ada sinyal dan sangat jauh dari modern, menurut saya itu juga bisa memunculkan watak asli seperti apa hanya dalam seminggu di rumah pondokan hehehe :p


Nggak sih, itu hanya salah satu motivasi. Salah dua yang lain adalah rasa minder saya. Minder? Kok bisa? Iya. Sejujurnya, saya sering sekali iri melihat banyak teman yang sering pamer foto muncak. Bawa-bawa bendera merah putih di puncak. Bawa-bawa tulisan "Elu dapat salam dari ketinggian sekian Mdpl" (oh gosht!). Atau yang paling ekstrem adalah foto bergandengan tangan (dimana hanya tangan si pengandeng doang yang kelihatan) di puncak sama pasangan, sambil dikasih caption ala-ala "Jangan lepaskan genggamanmuuu oooww...." (somehow, malah mirip liriknya Tulus). Sering sih mikir, mereka naik puncak segitunya ya persiapan bawa tulisan segala, trus mikir mau foto pose begini begitu, dll. Who knows guys, mungkin saya aja yang terlalu iri. Eh tapi betul loh, kalau niat awal kalian mendaki untuk lebih memahami diri dan memaknai hubungan dengan alam; hubungan dengan Sang Pencipta, kalian pasti nggak akan se-alay itu untuk pamer ke khalayak.. Peace to all! xD  

Another reason is.... the guy who has my heart (ahiyy!), adalah seorang anak gunung banget deh. He named hiself as a traveler, nature lovers. Gileeee....mimpi apa saya jadi secret admirer orang macam begini hahahaha. Bertolak belakang banget sama saya. Saya adalah orang yang homey sekali. Clue for me: family, sensitive, fragile, books, art, theater, basketball, fashion, advocacy, social. Jauuuh dari kata traveling. Oke lah, saya suka melakukan vacation at least thrice in a year, but ya nggak pernah naik gunung. Sampai suatu ketika, saya selalu menemukan postingan-postingan doi yang pakai caption begini: "Wanita yang hobi traveling dan hiking itu istriable banget". Nah loh! Seketika saya mikir...emangnya wanita yang rumahan banget, yang lebih senang menghabiskan waktu dengan buku, teater, hobi basket dan nonton basket, seni lukis, mengamati perkembangan fesyen, hobi nulis dan uji coba masak; isn't she worth for a wife? Lol. God, beruntungnya para wanita yang diberkahi dengan fisik yang sehat dan kemampuan untuk bisa olahraga lari marathon dan naik gunung. Saya jadi bercermin ke diri sendiri. Olahraga lari aja harus dengan advice yang benar dari dokter. Udara dingin juga saya tidak kuat, susah nafas dan jantung jadi agak nyeri. So, dari situ...saya punya tekad dan list of life untuk minimal sekali dalam hidup naik gunung. Bukan berarti untuk menunjukkan ke si dia itu loh ya. That's a cheesy. Kalau saya mau pamer mah, saya upload foto terus saya tag dah si doi, pakai caption: "Eh, gue udah istriable banget looh!". Hahaha. NOPE. Buat saya, yang terpenting adalah berkompromi dengan tubuh dan diri sendiri. Itu saja.


Lanjut cerita, bagi teman-teman yang sering naik gunung pasti familiar dengan apa yang musti dipersiapkan; bekal apa yang harus dibawa terutama pada gunung yang masih aktif yang masih berbau belerang;  juga medan seperti apa yang bakal ditemui. Namun, bagi mereka para pemula dan orang-orang yang belum pernah sama sekali mendaki, pasti akan sangat memerlukan sharing pengalaman. So, the story begins from this...

Sekitar dua minggu lalu saya baru saja pulang dari 'muncak' (God...baru pertama kali dalam hidup rasanya saya nuliskan kata ini). Jujur, due to my medical health history, saya memang sangat dilarang untuk melakukan aktivitas berat oleh dokter; apalagi aktivitas seperti naik gunung, membayangkannya pun tidak. Bagi penderita jantung seperti saya, sangat berbahaya jika memaksakan diri. For some reason, finally I could fill one of my llife list. But then, I gave my best advice to you--person with the same medical health history--DON'T DO ANYTHING THAT COULD ENDANGER YOURSELF. That's all.

Jadi saya melakukan perjalanan ke salah satu gunung di daerah Dieng bersama dengan rombongan. Sekian orang yang bergabung, hanya saya kira-kira yang masih single; sedang yang lain bergabung bersama dengan pasangan mereka. It was okay. I mean, literally okay until I found difficulties with me. Bukan masalah baper loh ya. Yaelah, masalah apalagi sih selain yang saya ceritakan di atas. Yup kondisi jantung yang tidak stabil. The thing became worse when you chose the wrong time for traveling. Ya, waktu itu saya pikir pertengahan bulan Februari sudah masuk ke spring season. Well, ternyata sampai seminggu sebelum tanggal keberangkatan cuaca masih sama dinginnya. Curah hujan tinggi, angin kencang dan udara yang begitu dingin.  

The day was coming.

Berangkatlah saya dengan bekal winter jacket, duck boots anti licin, gloves, hat, socks, wool scarf, baju berlapis-lapis, jilbab langsungan yang super comfy dan hangat. Beberapa hari sebelum berangkat saya sudah prepared macem-macem tuh; mulai dari make up yang bakal dipakai biar kulit nggak kusam dan kering (dari sekian banyak persiapan entah kenapa harus ini yang muncul di benak saya saat itu. Lol!); juga bawa bekal makanan snack untuk nyemil biar bisa ngilangin dingin kalau ada api unggun (dikira kemah pramuka kali ya hahaha). Alat mandi; minimal sabun cuci muka, sikat gigi dan tooth paste. I told you nih, sampai sana hilang semua angan-angan kamu bakalan gosok gigi ataupun cuci muka. Hilang semua selera mengunyah snack atau minum orange water. EVEN, my most gold chimera....doing make up biar muka agak kinclong saat foto-foto; maupun angan-angan bakalan ada api unggun. Hell! Semua itu nggak bakalan kalian lakukan. Buat menangkal udara dingin yang begitu menusuk tulang aja kita udah sangat payah, apalagi mau make up an. Hahaha, the stupid thing I've ever dreamed saat mau muncak. Yah maklumin aja ya, anak baru xD


Jadi pastikan saja kalian bawa ini:
  • Baju hangat dan jacket yang tidak gampang basah saat terkena kabut, sebab ini bahaya untuk paru-paru kalian juga ya.
  • Jangan pakai celana yang terlalu skinny dan berbahan tipis, kalau ada sih celana cargo untuk naik gunung; atau jeans biasa yang nyaman.
  • Kalau memakai jilbab, pakailah jilbab yang aman dan nyaman. Nggak ribet dengan peniti dan jarum pentul dan inner dan lain-lainnya. Lol.
  • Sepatu usahakan yang bawahnya tidak licin, agar saat kalian mendaki dan berpijak pada batu-batu yang licin, tidak mudah terpeleset.
  • Masker, kaus kaki, sarung tangan, topi penutup telinga, dan wool scarf
  • Obat-obatan khusus; plester, tissue basah, kantung plastik (untuk membuang sampah agar tidak mengotori puncak, saat turun kalian bisa membuangnya di tempat pembuangan sampah)
  • Air minum (sumber kehidupan, fungsi lainnya ya saat nggak ada air di puncak bisa kalian gunakan untuk wudhu emergency)
  • Roti, makanan yang gampang dimakan. Kemasannya tidak ribet untuk dibuka.
  • Tas ransel yang kuat
  • Kompas dan peluit.
  • Senter biasa/head lamp (yakin kalian akan butuh ini) 




Singkat cerita, rombongan saya harus berpindah dari bus besar ke kendaraan omprengan mini untuk bisa menjangkau lokasi. Masih tengah malam kami harus menyusuri jalanan sepi, kecil, licin, berkabut tebal. Kurang lebih 1 jam perjalanan dari shalter bus besar tadi, kami sampai di desa terakhir untuk menuju lokasi. Oh ya, the sad news was...tepat 3 kendaraan di depan kami, satu rombongan kendaraan tergelincir ke jurang. Suasana jadi bertambah mencekam. I couldn't tell you in detail, but the weather was really bad. Even our driver also said he had a few days bad weather conditions there. When I looked out the window, fog obscured the view. Visibility to the front was only about 1 until 2.5 meters. Really bad. Sampai akhirnya sempat berhenti beberapa menit, hingga 3 kendaraan di depan kami tidak berani melanjutkan perjalanan. Sopir rombongan kami membuka jalan untuk yang lain dengan sangat lihai dan hati-hati. Mendebarkan. Kurang lebih 1 jam perjalanan, kami akhirnya sampai di parkiran terakhir untuk menuju pintu masuk ke puncak.

Pukul hampir setengah 1 dini hari, guide kami mengumpulkan tim untuk berdoa bersama, sempat beliau mengatakan bagi anggota rombongan saat itu yang merasa tidak kuat secara fisik untuk ke atas, sebaiknya tidak melanjutkan. Sebab, memang kami diberi peringatan dari pos penjagaan di pintu masuk bahwa cuaca sangat buruk, bisa jadi jarak pandang semakin ke atas semakin tipis. Kami memang mengejar sunrise pagi itu dari puncak, berharap akan cerah tanpa kabut. Cuaca begitu dingin berkabut hingga ketika saya membuka masker bisa berhembus uap dari mulut saya. Lembab dan basah. Saya membuka hp saat itu sinyal masih agak bagus, suhu terakhir adalah 9' Celcius. Okaaay......here we go.... Sempat terpikir untuk tidak ikut ke atas, tapi akhirnya I challenged myself. Bismillahirrohmanirrohim... In the name of God, with His Almighty, I have to do this, batin saya waktu itu. I didn't bring my med, actually...

Berangkatlah kami dari pos pertama melewati jalan menanjak yang sudah dibuat dengan bata-bata awalnya, makin lama makin tidak kelihatan karena tebalnya kabut dan gelap. Medan yang kami lalui juga makin lama makin berupa bebatuan besar, belum lagi angin yang mashaa Allah kencangnya. I never imagined in my whole life would be in a situation like that. LIKE THAT, Gusti....enteng banget saya ngetiknya. Hahaha. Sepanjang jalan yang bisa kami ucapkan dalam hati hanya doa-doa, perbanyak dzikrullah dan mengingat bahwa there's no power without His Name, Allah SWT. Setelah melewati pos kedua, saya makin merasa lelah luar biasa. Ya gimana ya, olahraga yang biasa saya lakukan hanya lari kecil dan yoga sederhana aja. Routine sih abs workout 7 menit. Nah ini tiba-tiba harus melalui medan menanjak begitu. Jantung saya rasanya berdebar tidak keruan dan panas. Nafas semakin memburu dan terengah. Rasanya dada mau meledak. Beristirahat namun tetap berdiam dan berdzikir dengan lafaz perlahan. Gilaaa aja, saya nggak mau tiba-tiba bikin susah satu team rombongan di situ. Makanya dalam hati saya cuma bisa bilang KAMU HARUS KUAT, NING! Inget seorang teman dulu pernah bilang, hal-hal yang pantang kamu ucapkan saat mendaki adalah mengomel, mengeluh, atau dalam bahasa jawa 'nyelathu'. Jadi sebisa mungkin saya membatin pada diri saya sendiri untuk tidak mengeluh. Melewati pos ke-dua, medan semakin terjal dan berat. Angin juga luar biasa kencang (SERIUS!). Langkah kami juga tidak kelihatan, hanya berbekal feeling saja sih. Dalam hati kami masing-masing waktu itu saya yakin, pasti sama membatin: Gue salah milih tanggal pendakian! Lol. Yah, as you know saja, dari jumlah rombongan kami itu, hanya empat orang saja (termasuk guide) yang pernah punya pengalaman naik gunung, yang lain it was the very first moment layaknya saya.

Akhirnya setelah melewati pos terakhir.....Kami benar-benar sampai di PUNCAK. OMG! 2565 Mdpl! Entah berapa lama perjalanan kami ke puncak (mungkin sekitar 3 jam lebih), yang jelas sampai sana saya langsung shalat subuh. Hell! Nggak ada air di atas, dengan susah payah kami hanya berwudhu memakai botol air mineral seadanya. Selesai sholat (di udara sedingin itu, I didn't know sure seberapa celcius, yang pasti....dari awal aja udah 9'C...kira-kira di atas dengan kabut setebal itu dan angin sekencang itu, saya cuma bisa memperkirakan suhu di bawah 5'C pastinya. Sebab HP saya juga sudah tidak ada sinyal. Kami berharap kabut bisa segera menipis agar golden matahari terlihat. Apesnya kami....hingga pukul 6 pagi, matahari tidak juga terlihat karena tebalnya kabut dan cuaca yang sangat buruk. WORTH THE JOURNEY. Hahahaha. Sarkas deh.

Ya, itu pengalaman pertama saya naik gunung. Belum setinggi Lawu atau gunung lain sih, tetapi buat saya pribadi dengan riwayat kesehatan yang saya sebutkan tadi, untuk bisa mencapai tempat setinggi 2565 Mdpl adalah pengalaman yang luar biasa hebat dan tidak akan terlupakan. Meski tidak bisa melihat matahari karena kabut dan cuaca yang tidak mendukung, saya serombongan tim tetap bersyukur. Gave a check for one of my life list! :)




- Bening Rahardjo-