Friday, July 11, 2014

Convo: Ga*a Tonight





"Just to be clear, I am not standing for any side.
But I can telling you, that I am standing for women and children."





Mr. X: It's amazing that so few have been killed in Ga*a after so many sorties. I applaud the I*F's professionalism & humanity.

Me: Excuse me? So few? Humanity? Do you see how many children always become victims there, Sir? And you called it humanity by killed people?

Mr. X: You don't attack 500+ targets in 36 hours with 400+ tons of explosives and only kill 38 people by accident. Ha*as's use of human shields contributed to that number. Immoral and a war crime.

Me: First to be clear, I am not standing for Ha*as or I*F. Is humanity just hanging on weapon, Sir?  Is there any humanity by the word of "war"?

Mr. X: Absolutely. In war one can choose to behave humanely as we've discussed, or not, I*IS for example...Read and tell me who is more humane...? Victims of Ha*as who have brainwash the children to commit suicide for Allah. Mu*lims killing each other.

Me: In spite of influence new generation by science & technology, it's all just about "how to be & treat other as HUMAN". That's all. Humanitarian issue is sensitive conversation. Leave all the attributes and issues of religion, ethnicity and region if we want to achieve it. Human is blood. Blood is blood. Blood has no name. Blood has no religion. Blood has no region. Blood has no language and ethnic. Not because I wear this scraf then I stand for Ga*a. NO. It's all just about human.








I don't care people called me ass*ole or what. I don't care if even I bullied by you or what. At least, I can say that I stand for women and children. I can help by the way I can, by writing, by discussion with powered-people. To stop the war, anywhere. PLEASE.......


Regards,

Bening Rahardjo


Wednesday, July 9, 2014

Indonesian Presidential Election 2014: Jentik Ungu Today! :)



Hallo Indonesia!! 

Hari ini kita semua telah melewati pesta demokrasi terbesar negeri ini, ya, pemilihan presiden Indonesia 2014. Pemilihan presiden Indonesia kali ini mungkin yang paling banyak ditunggu-tunggu masyarakat, entah mengapa atmosfer politik tahun 2014 ini terasa sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin dikarenakan kandidat calon presiden yang hanya ada dua pasang, sehingga tidak banyak jumlah suara yang memecah. Mungkin juga karena perhatian rakyat Indonesia kepada pemilu kali ini sudah lebih besar, pemahaman rakyat Indonesia mengenai nasib politik bangsa sudah lebih baik. Bahwa satu suara saja sangat penting guna menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan.  

Tidak hanya warga negara kita yang tinggal di dalam negeri, dari laporan KPU dan Kementrian Luar Negeri, mereka yang berada di luar negeri pun sangat antusias dengan pemilu presiden kali ini. Memang pemilihan presiden di luar negeri lebih dahulu dilaksanakan. Teman saya yang ada di Belanda juga sudah mengabarkan bahwa ia telah menggunakan hak pilihnya dengan baik. Siapapun nanti yang akan terpilih, menurutnya itu bukan menjadi masalah. Ya, saya sangat setuju. Siapapun yang akan terpilih, sama-sama cerdas dan membawa misi-visi yang baik. Harapannya hanya satu, amanah. Itu saja. Meski hanya sebuah kata "amanah", itu sama sekali bukan berarti ringan. Tantangan ke depan bangsa kita jauh lebih besar. Hal yang paling penting adalah kita semua sudah memilih dengan menggunakan hati. Semua sudah memilih sesuai dengan pilihan hati masing-masing :)

Meskipun begitu, tetap saja pemilu presiden kali ini tidak luput dari perpecahan melalui black campaign oleh banyak oknum. Jujur, sebelum 9 Juli, saya tidak terlalu menikmati tayangan berita di televisi, berita di koran pagi, berita di media internet bahkan hingga media sosial. Menurut saya, teman sudah terpecah belah hanya karena banyak dari mereka yang memilih mendukung kandidat presiden pilihannya secara frontal. Semoga, setelah terpilihnya presiden baru secara resmi nanti, kita segera kembali bersatu sebagai satu rakyat Indonesia :)

Legaaaa rasanya 9 Juli telah terlewati! Tinggal menunggu perhitungan resmi dari KPU saja, toh siapapun yang menjadi presiden terpilih nanti, kita semua tetap harus ikut mendukung dan mengawasi jalannya pemerintahan. Berikut adalah gambar-gambar yang merekam pesta demokrasi Indonesia di luar negeri maupun di dalam negeri yang saya ambil dari berbagai sumber:

The Indonesian election mascot 2014
The ballot papers
Insert ballot paper into the box after vote
Purple ink as proof we have voted
Election atmosphere at The Consulate General Republic Indonesia, Frankfurt
At Indonesian embassy, New York USA
at Indonesia
Selfie after election
The flick after election
At Taiwan
At KBRI Beijing
At KJRI New York, USA


Salam jentik ungu!


Regards,

-BR-

Friday, July 4, 2014

Budaya Membaca dan Menulis




"You can make anything by writing" - C.S Lewis
Dewasa ini kita sering kali dimanjakan oleh kemajuan teknologi dan informasi melalui media elektronik terutama jaringan internet. Kemudahan mendapatkan akses jaringan internet sudah bisa kita rasakan bahkan tanpa melalui computer, cukup dari handphone berlabel ‘smart’ saja kita sudah bisa mengakses internet melalui fitur-fitur yang tersedia. Ada manfaat besar yang bisa kita rasakan dari perkembangan teknologi yang semakin hari semakin pesat ini. Namun juga tentu dalam semua evolusi ada dampak yang ikut muncul di dalamnya. Entah dampak positif maupun negatif, semua memiliki konsekuensi.

Sekarang adalah jamannya teknologi, dimana semua orang bisa dengan mudah mengakses informasi apapun dari internet. Ada keuntungan dan ada kekurangannya. Bagi entrepreneur, keuntungannya adalah kita tidak harus berkantor di satu tempat. Kita bisa berkantor dimana saja sepanjang kita punya akses teknologi yang baik. Klien juga tidak harus dari ranah local saja, tapi bisa mencakup klien yang lebih luas. Informasi dan pengetahuan juga bisa kita pelajari dari internet. Namun, kekurangannya adalah kita menjadi malas dengan cara belajar konvensional. Semua yang konvensional sudah mulai ditinggalkan orang. Padahal tidak semua cara belajar konvensional itu tidak lebih baik dari pembelajaran berbasis teknologi seperti yang terjadi saat ini. Contohnya, dulu untuk mendapatkan gambaran atau menjawab suatu kasus empiris yang ditemui dalam dunia pendidikan, seseorang harus membuka buku (bahkan tidak hanya satu buah buku saja) guna mendapatkan jawaban dan gambaran tersebut. Namun saat ini, orang cenderung memilih mencari jawaban melalui mesin pencari Google di internet. Cukup dengan satu atau dua keyword saja sudah muncul berpuluh-puluh tautan di dalamnya. Bisa kita pilih salah satu dengan mudah. Tidak perlu menulis ulang atau mengetik ulang seperti yang dilakukan orang secara konvensional, tetapi cukup dengan copy-paste lalu jadi. Nah, kebiasaan buruknya adalah budaya 'copy-paste' ini juga diaplikasikan di dunia pendidikan formal, sehingga yang banyak terjadi adalah kasus plagiarisme. 

Esensi dari dunia pendidikan sekarang sudah banyak melenceng, siswa bukan lagi fokus pada budaya membaca dan menulis, tetapi hanya terfokus pada bagaimana caranya agar lulus Ujian Nasional. Ilmu bukan lagi hal utama ketika seseorang menempuh pendidikan, tetapi yang paling utama hanya sebatas pada “nilai” dan “tittle”. Bagi mereka, toh tanpa membaca buku-buku teori yang dianggap sangat konservatif tadi, mereka juga bisa lulus dengan nilai yang baik. Kemudian cara-cara pragmatis pun dilakukan. Kehidupan dunia selalu berevolusi. Teknologi menjadikan sebagian besar generasi Y atau generasi Echo Boomer jauh dari budaya membaca dan menulis. Generasi Y mungkin unggul dalam hal multitasking, tetapi ketergantungan pada teknologi juga menjadikan mereka memiliki pola pikir pragmatis, serba instant dan egosentris. Tujuan pragmatis, laku pragmatis, pemikiran pragmatis. Konsep ini bahkan sudah dimulai dari budaya di dalam keluarga dan di dalam institusi pendidikan. Fenomena “membaca elektronik” lebih berkembang dari sekadar membaca “buku manual”. Jangankan buku teori yang setebal alas tidur, buku-buku karya sastra saja semakin tidak diminati.

"Melihat dan mendengarkan itu kodrat manusia. Tidak perlu diajari, tidak perlu dibiasakan. Tetapi negara yang besar dan maju itu karena selalu berusaha menge'mbangkan budaya baca dan tulis. Apapun, salah satunya adalah sastra. Sastra itu melengkapi semua yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia. Para sastrawan membuat karya sastra bukan tanpa dasar, melainkan dari perjalanan hidup. Dimana diharapkan akan bisa menjadi batu loncatan kehidupan"
- Suparto Brata, Begawan Sastra Jawa Solo
Menurut sastrawan Ahmad Tohari dalam acara bedah novel "Dari Kota Solo hingga Brattleboro", remaja saat ini lebih berminat pada buku-buku dengan label 'best seller' yang bernuansa komedi gaul. Buku-buku seperti ini tidak memerlukan penelitian, tidak memerlukan riset, tidak memerlukan penegasan. Semua yang ada di internet juga bisa diracik menjadi tulisan kemudian diterbitkan. Banyak penerbit yang memerlukan eksistensi, banyak penulis yang memerlukan ketenaran. Masyarakat sendiri justru menikmati bacaan yang bersifat ringan dan menghibur, mereka tidak tertarik membaca bacaan 'berat' dan yang memerlukan waktu lama untuk mencerna. Para terpelajar semakin jauh dari budaya membaca, apalagi budaya menulis. Bagi mereka budaya 'copy paste' jauh lebih praktis. Mudah, murah, cepat dan tidak perlu berpikir terlalu lama. Memang banyak yang ingin menulis, tetapi juga masih bersifat karya instant. Tidak semua berimbas baik untuk kehidupan manusia itu sendiri. Menulis menumbuhkan kreatifitas dan merangsang perkembangan otak bagi pelakunya.


"We first make our habits, then our habits make us" - John Dryden, kritikus sastra Inggris
Oleh karena itu, anak-anak generasi Z yang sedang dalam masa pertumbuhan saat ini harus dibiasakan dengan budaya membaca dan menulis, agar budaya membaca dan menulis tidak hilang dari kehidupan sehari-hari. Mengenalkan anak pada dunia membaca dan menulis akan sangat bermanfaat untuk perkembangan baik otak maupun psikis. Melalui budaya membaca dan menulis, artinya kita selalu memberi asupan dan mengajari pikiran serta jiwa. Sedang memberi asupan untuk pikiran dan jiwa itu adalah fitrah manusia yang baik, sebagai loncatan dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Bagaimanapun, generasi Z akan menjadi generasi penerus bangsa ini. Semoga dengan semakin canggihnya teknologi pendukung untuk generasi Z nanti, tidak menggerus esensi dari dunia pendidikan yang sebenarnya. 



Regards,


Bening Rahardjo




Thursday, July 3, 2014

Waiting for "Pilpres" 9 Juli 2014

Sudah siapkah Anda untuk Pemilu tanggal 9 Juli nanti?

Seminggu lagi Warga Negara Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi terbesar untuk menentukan pemimpin Negara, ya, tanggal 9 Juli pemilihan presiden secara langsung tentunya sudah sangat dinantikan oleh seluruh masyarakat. Sudah mantapkah pilihan Anda? Masing-masing punya jawabannya. Bahkan teman saya yang kuliah di Belanda sudah mengabari akan melaksanakan pemilu tanggal 5 Juli nanti. Jujur, saya pribadi sudah jengah dengan money politic, black campaign dan immature-nya masyarakat kita dalam menyambut 9 Juli nanti. Bagaimana tidak? Saya yakin, anda yang punya pikiran ‘waras’ pasti juga sama jengahnya dengan saya. Ya bagaimana tidak saya sebut immature, kalau setiap hari menonton berita di televisi isinya malah saling menyudutkan. Masing-masing media memuat pemberitaan yang condong kepada salah satu capres. Saya coba beralih ke koran langganan harian, ternyata sama saja. Sekarang koran langganan saya pun sudah condong ke salah satu capres. Bahkan hingga kalawarti Jawa langganan mingguan saya pun juga sudah tidak netral. *sigh* Saya coba membuka timeline twitter isinya juga saling serang sana-sini, saling tuduh sana-sini dari masing-masing pendukung capres-cawapres.  Di twitter, tidak hanya tokoh masyarakat, artist, bahkan hingga mereka yang ‘dianggap’ sebagai pemuka agama pun tidak terlepas dari kondisi immature politik seperti sekarang ini. Apalagi masyarakat umum, dari yang merasa paling pintar, paling tahu, hingga paling-paling yang lain. Padahal, banyak diantara mereka yang ternyata masih pemilih pemula. Ada pemilih pemula yang sudah merasa paling pintar bahkan sampai merasa sudah sedemikian 'oh-so-yes' dengan menyudutkan Capres tertentu *dalam hati: tahu apa to kamu Le...mbok ya sekolah dulu yang bener, belajar yang rajin, baru komentar*. Aksi unggah DP twitter pun juga tidak kalah menarik. Mulai menjejerkan foto dengan nomor urut pasangan yang didukung, hingga memasang foto selfie mereka dengan capres. Tidak kurang juga peran dari Photoshop dan agen-agen edit foto dalam mendukung aksi ini. 

Saking jengahnya, saya pindah ke Facebook. Oh well…. Ternyata timeline di Facebook pun tidak jauh berbeda, malah lebih parah dari kicauan Twitter yang hanya mampu diungkapkan dalam 160 karakter saja. Karakter di Facebook yang lebih panjang, otomatis juga mempengaruhi panjangnya aksi balas-berbalas, serang-menyerang, bahkan aksi saling membagikan tautan dari link-link yang mereka anggap sangat mendukung. Aksi unggah foto profile dengan identitas nomor urut pasangan pun tidak luput dilakukan. Bahkan ada yang frontal saling adu argument dalam sebuah comment *mikir: ini maunya apa to yaaaa mereka* Siapa pun makhluk yang ‘masih’ normal akan dianggap ‘tidak normal’ dalam dunia immature politik saat ini. Siapa yang berdiam dianggap tidak paham politik. Siapa yang aktif ‘berkicau’ dianggap paling tahu, paling pintar, dan paling-paling yang lainnya tadi. *God! I am feeling ‘oh-so-lost’!*

Jadi, makna asas pemilu LUBERJURDIL itu mungkin sekarang hanya tinggal LUBER saja. Ya, LUBER kemana-mana. Gimana ndak LUBER, kalau hal yang seharusnya rahasia sekarang malah diumbar kemana-mana? Mau dibilang RAHASIA gimana kalau individu-individunya sendiri yang dengan bangga mengaku-aku dukungan kepada capres-cawapres tertentu? Dulu (duluuuuu sekali) orang itu tabu mengungkap siapa yang akan mereka coblos di Pemilu. Sekarang? Orang dengan bangga malah woro-woro di media social. Tidak hanya woro-woro atas dukungannya, malah kadang sampai kebablasan saling lempar opini yang merasa ‘paling’ tadi. Kalau mengutip kata-kata Bapak Taufik Ismail saat Kongres Pemuda Nasional di Jakarta 2012 lalu, beliau bilang: “Saya heran, kenapa masyarakat Indonesia saat ini senang sekali dengan kata ‘paling’ untuk membanggakan dirinya sendiri“. Exactly! Orang yang sungguh-sungguh mempelajari dan memahami ilmu politik dengan bijak, pasti akan setuju dengan kalimat ini:Menyelami politik tidak cukup hanya dengan sehari dua hari, tidak cukup pula digambarkan dengan warna hitam dan putih, tidak cukup  hanya dengan satu dua referensi. Setiap politikus & negarawan punya peta politik masing-masing”.

Saya pernah saking kesalnya dengan salah seorang teman (sorry Bre kalo lo baca ini), saya balas kalimat-kalimat dia yang saya rasa terlalu menyudutkan salah satu capres. Yah, memang hak setiap orang untuk berpendapat dan mengeluarkan ekspresinya, tetapi ada bijaknya kalau kita punya landasan argument yang kuat terlebih dahulu. Landasan itu dari mana? Ya dari referensi macam-macam. Jangan Anda merasa sudah paling tahu dan paham kalau Anda hanya 'belajar' dari media televisi X atau Y misalnya. Kalau Anda tahu dan belajar dari media, tentunya Anda pun tahu bahwa muatan suatu media tidak mungkin terlepas dari kepentingan individu di situ. Jangan pula Anda merasa paling tahu, kala Anda hanya belajar dari media elektronik. Apalagi link-link yang bahkan tidak jelas siapa yang menulisnya. Di jaman serba gadget seperti sekarang ini, siapa sih yang tidak senang menulis melalui piranti elektronik? Lebih mudah dibaca banyak orang, lebih mudah menggiring opini banyak orang. Kalau Anda ingin belajar, carilah sebanyak mungkin referensi untuk diri Anda sendiri. Membaca satu buku saja juga tidaklah bijak, coba Anda baca beberapa referensi jika memang Anda menemukan banyak pertentangan pendapat di situ, karena buku juga buatan manusia. Semakin banyak Anda membaca, semakin banyak referensi yang Anda dapatkan sebagai pendukung. Semakin bijak pula Anda memandang suatu kasus dari pelbagai sudut pandang. Toh siapapun yang jadi presidennya nanti, kita akan tetap jadi rakyatnya bukan? Jadi untuk apa saling menjelekkan. Mereka sama-sama cerdas. Bicara kekurangan, semua juga ada kekurangan. Bicara bersih atau tidaknya, well, I have to say this: Apa Anda yakin semua yang berkecimpung di dunia politik itu 'bersih'? Semua diatasnamakan "RAKYAT". Rakyat yang mana dulu? Anda rakyat, saya juga rakyat, kita Warga Negara Indonesia adalah rakyat Indonesia. Oknum dalam dunia politik yang mengkultuskan rakyat sebagai pendongkrak untuk eksis dalam kekuasaan. Politik itu tidak kotor. Orang-orang di dalamnya-lah yang menggunakan cara kotor untuk mengotori politik itu sendiri.
 
Suatu ketika saat diskusi tentang Pemilu Presiden di rumah, bahkan simbok rewang saya di rumah saja bisa mengatakan: "Jan-jane coblosan ki yo ming ngedu uwong. Ha yo pora ngedu jenenge? Hla sing kono pilih ngono, sing kene pilih ngene. Tembe mburine do padu dewe-dewe". ("Sebenarnya Pemilu itu hanya mengadu orang saja. Bagaimana tidak? Kalau yang di sana memilih si itu, yang di sini memilih si ini. Ujung-ujungnya malah saling bertengkar").

Kalau saya menanggapi simbok rewang ini dengan kalimat:"Ha yo kuwi. Mbok gek ndang Pemilu, gek ndang nyoblos, gek ndang rampung, gek ndang bubar wong-wong le do ngroso paling pinter kuwi". ("Hla ya itu. Semoga segera datang Pemilu, biar segera nyoblos, biar segera selesai, biar segera bubar juga orang-orang yang merasa paling pintar itu").

Beda lagi kalau kata Cak Lontong, begini:

Apapun pilihan Anda, saya hanya bisa mengajak. Jangan lupa JENTIK UNGU untuk 9 Juli nanti! 5 menit untuk 5 tahun yang akan datang. Jangan khawatir, bagi Anda yang berada di tanah rantau atau Anda yang akan bepergian tanggal 9 Juli nanti, anda bisa mengurus Formulir model A-5 untuk tetap bisa memberikan hak suara Anda.


Semoga 9 Juli segera tiba. Selamat mencoblos! :)



Salam DAMAI,


Bening Rahardjo