Friday, June 13, 2014

"Joko Songo" Monologue


By: Bening K.G. Rahardjo


The national slogan "MERDEKA" means independence. Source: kaskus.co.id

Mural slogan on restaurant at that time. Source: kaskus.co.id

Another mural slogan. Source: kaskus.co.id


Menurut si Sengkuni, hidup kita akan lebih baik kalau nurut saja sama kumpeni. Ah! Bosok! Lebih baik opo, hla wong setiap hari saja cuma ada kelaparan dan ketakutan. Kerja juga hanya dibentak-bentak dan diapusi. (SENYUM SINIS). Hla mbok mending nganggur, ketimbang kerja buat kumpeni lagi! Mlarat secara terhormat. Daripada hanya jadi keset mereka, hidup bukan mati pun tidak, ya tho?

Aku ini pemuda! Mosok rela kalau Ibuku direbut sama kumpeni? Kalau ujung-ujungnya tunduk lagi sama kumpeni, buat apa itu Kanjeng Raden Mas Insinyur Soekarno dan kawan-kawan bacain teks proklamasi? Aku ini anak ndeso. Tapi aku nduwe roso. Kalau serdadu-serdadu itu, aku yakin sejuta persen, mereka itu mati roso! Ndak punya hati nurani!

Kalau mereka punya uteg dan ati, ndak mungkin mau ngrebut Ibuku lagi!

Apa mungkin, karena Ibuku terlalu cantik? Pasti. Ibuku memang molek. Aku saja selalu rindu di dekatnya. Adem. Tentrem.

Atau, jangan-jangan karena Ibuku terlalu kaya? Terus, mereka mau morotin bondhone Ibuku? Kalau itu, aku ndak tahu. Ibuku ini sekaya apa sampai para kumpeni itu nyidham harta Ibuku?

AH. MBOH! ORA URUSAN!

Yang aku tahu, aku ini SOENARTO! Putra Bapak Martoyo. Bapakku Kepala Pasar Matesih. Siapa tho yang ndak mengenal bapakku? (TERTAWA). Yu Marikem, penjual sego tiwul paling enak se-Pasar Matesih saja kenal bapakku. Ning, yo, mungkin nek serdadu-serdadu itu pasti ndak kenal sama bapakku. Mereka itu kenalnya cuma sama Ibuku! Sudah jelas karena Ibuku yang molek dan sugih tadi.

The freedom fighters. Source: kaskus.co.id

AKU INI SOENARTO!

Anggota Pasukan Alap-Alap. Siapa yang ndak tahu?

ANGUDI LEBURING ANGKORO PENJAJAH, AMRIH LUHURING ANAK PUTU.

(TERTAWA)

Aku sering bertugas untuk Mangkunegaran dan Kasunanan. Jadi buat opo takut sama kumpeni? (TERSENYUM SINIS).

Takut mati? Oh,....,NDAK! Aku ndak takut mati.

Aku itu hanya takut nek aku mati, apa Ibuku akan tetap perawan? Semprul! Kalau aku sampai mati duluan dalam Clash II ini, kan aku ndak bisa lihat. Opo Ibuku akan direbut lagi sama kumpeni atau akan tetap perawan?! Siapa yang mau ngabari aku di akherat nanti? (TERTAWA).

SSSSSSSSSSSSSSSTTTTTT...........

Lambene mingkem dhisik! Ada serdadu datang! Aku dan kawan-kawanku iki lagi ndelik di tumpukan jerami. Jangan sampai mereka mendengar kami. Ini taktik.

Aku melihat orang-orang dungu itu menyeret Lek Marto. Sepatu lars itu terus berderapan di tengah malam mencekam. Mencari orang-orang yang ada di kampung. Sedangkan aku dan teman-temanku sudah menyebar pasukan di Matesih dan Tawangmangu. Rumah penduduk yang terpencil kami jadikan kamp untuk menyusun taktik kami.

Suara burung gagak dan angin, menebarkan bau bacin dari bedhil mereka dan bedhil kami.

Bu, kenapa kau ajarkan aku tentang kehormatan, kalau pada akhirnya manusia tega saling membunuh?

Tapi mereka bukan manusia Bu!

Mereka itu makhluk diciptakan oleh peradaban besi. Mereka hanya bisa membunuh dan membuat Kau menjadi tak perawan! Jadi, ijinkan aku untuk membunuhnya. Sebelum, mereka menghapus keperawananmu. Tenang saja Bu, aku sudah menggali kuburku sendiri. Tanpa tangis. Tanpa belasungkawa dan karangan bunga. Aku akan mati sebagai SOENARTO! Anake Pak Martoyo sing bagus dewe sak-Pasar Matesih! Kamu pasti akan bangga tho Bu? (TERTAWA).

SSSSSSTTTTTTTTTTT..........!

PATROLI KENDARAAN DATANG! KITA SUDAHI PERCAKAPAN INI!

INI MASALAH NYAWAKU, KAWAN!

AKU NDAK MAU MATI PEKOK. GARA-GARA TAWA-MU YANG KOYO SRINDIL ITU TERDENGAR MEREKA NANTI!

Kendaraan itu mendekat. Jantungku deg-degan ora karuan. Sungguh! Ini jauh menegangkan ketimbang aku dhelikan untuk ngapeli anake Bu Mangun sing galak itu. Sekarang saatnya untuk menjadi mesin pembunuh bagi serdadu maskulin itu.

Hanya ada pilihan, TIJI TIBEH!

MATI SIJI MATI KABEH, MUKTI SIJI MUKTI KABEH.

Wooooh, SEMPRUL! Ndak ada pilihan lain di tengah-tengah itu! Yowes, biar sama-sama tahu, semangat pemuda kami yang kesatria, atau bedhil kumpeni itu yang lebih jantan!

DEG.................DEG...................DEG......................DEG..............

Ini saatnya!

"SERBUUUUUUUUUUUUU.........................!!!!!!!!!!!!!!!!!"

DOR.....DOR......DOR......!!!!

Rentetan peluru dari senjata laras panjang kami menghujani kendaraan patroli. "Tangkap anjing liar itu!". Aku mendengar umpatan dalam basa londo, suaranya menggeram. Aku yakin, serdadu itu pikir kami tidak tahu bahasanya. Huh, picik! Kami ini orang-orang cerdas.

Dalam kebencian, kecemasan, kemarahan.....aku mendengar suara yang begitu dekat

"DOOOOORRRRR!!!"

BEBERAPA DETIK, AKU MELIHAT WAJAH KAWAN-KAWANKU YANG PUCAT PASI.

EKSPRESI KOSONG, BESAR TAPI TIDAK BERISI.

KECEMASAN DAN KETAKUTAN MUNCUL DALAM GURATAN WAJAH-WAJAH ITU.

MEREKA SEMUA MELIHATKU..........MELIHAT DADAKU..........

Aku melihat mereka berucap dengan mulut yang kosong. Atau,....,ndak terdengar olehku? Suara detak jantungku melambat. Suara yang kudengar dari mulutku, hanya suara kendor dan jelek. Mirip orang bersendawa. Pandangan mataku suram......

BAU DARAH SEGAR.......

PAKAIAN KEBANGGAANKU, SERAGAM PASUKAN ALAP-ALAP........

DUH GUSTIIIII............!!!!!!!!!!

Apa ini yang namanya mau mati? Aku tadi hanya bercanda hlo. Ndak serius ingin mati.

Tapi............................aku ikhlas, kalaupun aku harus mati....................
Bagaimana ndak ikhlas? Hla wong ajalnya saja sudah di depan mata.

Setidaknya, aku akan menjadi mayat terhormat, yang sudah membela kehormatan Ibuku!
Emmm,......,terhormat??
Mungkin. Karena itu yang dikisahkan Ibu pada kita, bukan?

Bu, kita sama-sama mengutuk perang. Tetapi, suara kita patah dalam desingan peluru. Tak apa. Dengan suka rela aku berikan jiwa dan ragaku sebagai souvenir indah tanah Matesih. Kampung halamanku.

Aku sungguh rela, asal ragaku tidak menjadi santapan anjing peliharaan serdadu itu! Aku menyanyikan Indonesia Raya dengan suara parau. Aku bernyanyi. Menghibur diri dengan perasaan ganjil dan aneh.

The atmosphere of war at that time. Source: kaskus.co.id

The atmosphere of camp. Source: kaskus.co.id


BU....
Aku baru menyadari.....

Perang adalah pengkhianatan, bukan hanya tentang kepahlawanan seperti narasimu.
Perang bukanlah cerita heroik pembela kebenaran, tetapi juga cerita seseorang yang takut akan kematian, sepertiku.
Perang bukan hanya dunia kesatria seperti yang kau ajarkan, tapi juga dunia berhati culas yang memperebutkan kekayaan.

BU....
Apakah kau lupa menceritakan padaku cerita tentang Kurawa, selain cerita Pandhawa?
Apakah kau lupa menceritakan padaku cerita neraka, selain cerita surga?
Apakah kau lupa menceritakan padaku cerita kebencian, selain cerita perdamaian?
Apakah kau lupa menceritakan padaku cerita nafsu, selain cerita nurani?
Apakah kau lupa menceritakan padaku cerita kenangan, selain cerita kemuliaan?


Apapun yang kau tuturkan. Apapun yang kau kisahkan. Sekarang, biarkan aku menjadi gundukan kenangan untuk anak cicitku nanti. Gundukan yang menjadi pemanis cerita tentang kemuliaan mereka nanti. Aku hanya sebuah manequin dingin yang menyanyikan kidung bisu Indonesia Raya. Sampai nanti.............

Sampai mereka menyadari, kesalahan masa lalu memang tidak bisa ditebus hanya dengan kata maaf. Amis darah dan bau bangkai adalah parfum IBUKU. Namun, setidaknya, mereka bisa memilih, untuk menjadi atau tidak menjadi budak keserakahan dan kekuasaan......




CATATAN: Monolog "JOKO SONGO" ini terinsipirasi dari perjuangan 9 pemuda yang gugur dalam Perang Clash II Belanda. Mereka gugur mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pertempuran terjadi di daerah Doplang dan Pablengan, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah, pada tanggal 5 Januari 1949, pukul 15.00 s/d pukul 17.00 WIB, antara kelompok Tentara Pelajar dengan [asukan Belanda yangs edang berpatroli dengan kendaraan Panser. Dalam pertempuran itu gugur 9 pemuda setempat, salah satunya adalah SOENARTO, anggota Staf Logistik Pasukan ALAP-ALAP. Dia adalah putra Bapak Martoyo, seorang Kepala Pasar Matesih. Di Matesih terdapat Monumen Joko Songo yang dibangun untuk mengenang perjauangan pemuda Matesih dalam pertempuran tersebut. Dinamakan "Joko Songo" karena mereka merupakan 9 pemuda yang masih joko (perjaka). Monolog ini pernah dibacakan dalam Kongres Kebudayan Pemuda Indonesia tahun 2012 di Jakarta oleh penulis sendiri.