Monday, February 12, 2018

Rise Above Love

Honestly, I am the type of person who don’t believe in karma. The concept of karma and dharma is actually based on a belief. Thus, I am not an expert who can describe more. But as it core, I do believe that human make his or her own choice. As I taught by Grandpa, as I grown up, and as far as I am living this life, there were so many lessons I could learn: from the environment; the people I’ve met;, the problems I’ve experienced. Thus, I can say that our present actions create the conditions for future reactions. For example, not everyone will love you, some will do bad to you (even you do good to them) and it’s normal. Then you ask: how to act for these people? Remember this, only you can define who you are and what you do when facing people.

www.wallpapersite.com

Still, rise above love. Listen to your pure heart. Follow it. God create animals with instincts. Human is the higher creature within this universe, because God create human with brain and heart to think and to feel emotions. Hurt, feeling alone, sadness, anger, hatred, revenge are normal emotions. Beside, human also have happiness, wisdom, compassion, kindness, passion, honesty those are bounded in love. We, the each one of us, ever felt sad, ever felt hurt, ever hold anger, ever hold hatred and revenge. No lies, it was normal. But next questions might be “How to cut this negative emotions within us?”.


No one will feel peaceful if they hold negative emotions within self. No one. I bet you this truth. Listen, everyday is a new blessed day. If you feel like you can’t hide anymore or stay with feeling unworthy, you should move on. You will never be able to find happiness if you don’t move on from all negative things. Every new beginning comes from some other beginning’s end. If we show compassion, wisdom and kindness; automatically we create conditions to experience them in the future. Work with passion, honesty and courage. The kindness, confidence and beautiful spirit outlasts the hatred.



If you still have think about bad past, then you are normal. But remember, real grown up don’t feel the need to dismiss their bad past to legitimize their good present. Live your life to the fullest. Focus on positive. Release all the negative things (even negative people!). Surround yourself with positive environment. Your positive actions combined with positive thinking result in success. Once you replace negative things with positive ones, you will start having positive results. Let the outcomes work for you. :)

Saturday, December 9, 2017

#TakeAction #16Days #OrangeTheWorld: Open Letter to Survivor Violence Against Women



You don't know what he did to me, and i tried to tell you but you didn't believe me, moreover, you blamed me, you judged me. - a survivor of sexual harassment.
Dear survivors around the world, I feel you. About the fear to deal with perpetrators, about the stigma you've to receive, about the sadness, about the shame, about the hatred and disgust. I feel you.

Too many of us, still thinking like "Don't speak up. Don't report abuse. Keep it!". That sentence dominate the reason why you still keep silent, even you are tortured, even you must fight through bitterness by alone. You feel like no one can understand. I feel you.

But listen to this: WOMEN, DON'T LET IT KILLS YOU. BREAK THE SILENCE. You need to speak up. You need to break the vicious, long-term cycle of abuse. I feel it. You are assaulted by physical, sexual, and psychological also. And it doesn't easy to recover. You don't need to feel guilty to yourself.

Enough is enough. Speak for yourself. Speak for other women who need your help and support also. LEAVE NO ONE BEHIND. Don't blame yourself. You don't need to hear negative stigma from people who judge you. Educate them. If they won't educate themselves, it's not your fault. Let them. Build positive mind. Release all hatred and anger within. Make improvements. You have to be strong to build a better future for your kids. They need education, they need to raise awareness, they must recognize all forms of oppression. Our children deserves better future. Transform the culture. We need to STOP the cycle now. An, it starts with you...



❣  Sending love and hug  
Fellow survivor



Thursday, December 7, 2017

Convo Sama Anak-Anak

Gue termasuk pendidik yang cukup dekat dan akrab dengan anak didik. Nah, ada satu anak yang sering ngobrol-ngobrol dengan gw. Anaknya cerdas, cukup dewasa untuk seusianya (meski tidak meninggalkan sifat kanak-kanaknya, buat gw sih wajar). Anak ini cukup kritis dalam setiap pertemuan. Gue senang-senang aja kalau dia banyak bertanya atau bahkan mengkritisi apabila saya melakukan kesalahan kecil. Sering terjadi percakapan yang membuat gw terbengong-bengong, mikir, ngakak tertawa dan bahkan speechless.
Ini ada beberapa kutipan penggalan percakapan kami di sela-sela proses belajar.





Saturday, November 11, 2017

Side Work: Menjadi Tenaga Pendidik

Credits to Janista istockphoto.com


Salah satu kegiatan sosial yang saya jalani adalah menjadi tenaga pendidik untuk anak-anak, tiga kali dalam seminggu. Pada dasarnya saya menyukai dunia anak-anak, jadi bukan hal baru apabila saya dihadapkan dengan tingkah polah mereka yang terkadang membuat tertawa, kadang membuat berpikir keras, kadang membuat kita menyadari hal-hal kecil yang kadang terlupakan, pun juga kadang membuat kita jengkel. Berhadapan dengan dunia anak memang memerlukan tenaga ekstra dalam mengolah kesabaran dan emosional diri. Jangan sampai bertindak abuse verbal maupun fisik kepada anak sebab kekerasan akan menimbulkan dampak buruk untuk perkembangan anak tersebut. Kebijaksanaan dan kearifan perlu dikedepankan tentunya.

Memahami dunia anak memang bukan suatu hal mudah. Karakter satu dengan yang lain pun perlu dipahami apabila kita ingin lebih dekat dengan mereka. Daya tangkap anak tidak sama: ada yang cerdas, ada pula yang lambat; ada yang motoriknya cukup energik, ada yang sedikit lamban; ada yang emosinya mudah terdistraksi, ada pula yang cukup tenang mengelola. Semua karakter ini cukup spesifik apabila kita mampu melihat dan mengamati secara lebih dekat. Sebagai tenaga pendidik tentunya adalah amanah yang besar bagi saya. Secara pribadi saya memang belum ada pengalaman sebagai orangtua karena saya juga masih belum menikah, karena itu peranan saya sebagai pengganti orangtua mereka di tempat pendidikan adalah tanggung jawab yang mesti saya perankan sebaik-baiknya.

Awalnya saya memang hanya dianggap sebagai tenaga pendidik bantu, tetapi lambat laun kedekatan secara psikologis dengan mereka pun ikut terbangun. Ada semacam perasaan bahagia bila bertemu dan memandang senyum pada wajah-wajah mereka. Bahagia sederhana yang tidak ternilai ketika tingkah polah mereka membuat saya sering tertawa. Lama-lama mereka juga terbiasa dengan kehadiran saya, sehingga kalau saya tidak datang (lalu diganti tenaga pendidik lain) mereka pun merasa ada bagian yang hilang. Pertemuan berikutnya mereka akan bertanya: "Kakak kemarin kemana?" atau "Bu Guru kok kemarin nggak masuk?".

Ada 3 kelas yang terdiri dari premediate, mediate dan intermediate. Kebetulan saya mengampu kelas mediate dengan sejumlah 17 -18 anak. Jika hari cerah semua datang bahkan ada anak-anak yang pindah bergabung di kelas saya. Namun, jika hari hujan mungkin hanya sekitar 10-12 anak yang datang. Usia mereka bermacam antara SD kelas 1 hingga SD kelas 5. Di kelas premediate ada sekitar 15 anak pula. Kadang saya merangkap sebagai guru bantu juga di kelas premediate yang isinya rata-rata usia Paud hingga TK B.

Metode pengajaran saya memang santai tetapi tetap ada target yang menjadi indikator pembelajaran. Metode menghafal, menulis, berbicara dan praktek saya kembangkan setiap pertemuan. Meski saya mengajar dengan santai, bukan berarti tidak ada hukuman bagi anak yang memang bersalah. Hukuman juga sebisa mungkin saya terapkan dengan bijaksana agar si anak mengerti aturan dan nilai-nilai kesopanan. Di kelas mediate, saya menerapkan aturan-aturan tertentu dengan perjanjian bersama mereka. Jadi ketika ada anak yang melanggar aturan tersebut, tetapi saya tidak melihatnya, teman-temannya yang lain akan mengingatkan (atau bisa juga lapor kepada saya). Hukuman pun diberikan sesuai dengan perjanjian kami bersama. So far, hal ini bisa saya terapkan dan masih berjalan dengan baik. Selain memberikan tambahan ilmu dan wawasan, meningkatkan aspek motorik, pendidikan mengenai adab dan etika pun juga selalu saya selipkan. Pujian bagi mereka yang memang berprestasi lebih juga sering saya lakukan, agar ada kebanggaan pada diri anak tersebut. 

Saya membatasi hal-hal yang memang tidak terlalu penting untuk dilakukan: marah/emosi kepada anak. Mengapa? Pertama, energi yang seharusnya keluar positif dari diri kita akan menjadi tidak seimbang. Kedua, membuat mood saya menjadi buruk untuk mengajar. Padahal, seberapapun buruk suasana hati kita, anak-anak tersebut berhak mendapat ilmu. Ketiga, jika anak tumbuh dan berada dalam lingkungan yang positif, tentu mereka pun akan mencontoh dan berkomitmen pada hal-hal positif pula. Meski hanya 1 jam hingga 1,5 jam setiap kali pertemuan, namun saya menekankan pada kualitas pendidikan anak. Terlalu lama belajar juga akan membuat mereka bosan dan lelah. Sehingga saya sering mengkombinasikan dengan ice breaking dalam metode mengajar. 

Banyak manfaat yang saya rasakan setelah menjalani side work sebagai pendidik. Saya ingin anak-anak mencintai saya, karena itu saya pun harus mendidik mereka dengan cinta dan ketelatenan. Intinya, saya harus menjadi role model yang berkualitas bagi mereka. Bagi diri saya sendiri setidaknya, sangat sangat melatih kesabaran dan kecerdasan saya dalam memanajemen emosional. Membuat saya lebih kreatif dan melatih daya ingat saya juga untuk selalu belajar pada sesuatu wawasan baru. Menjadikan saya terpacu untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Apabila mengingat mereka, saya menyadari bahwa saya jauh dari kata baik, sehingga saya pun harus menjadi pribadi yang baik, untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak didik saya. :)




Regards,

Bening

Monday, April 24, 2017

Old Song: Can You See by Tiffany

Kalau ada yang tahu lagu ini, kalian pasti cukup berpengetahuan. Listen it! 😀

Sunday, April 9, 2017

The Cactus Concept



Have you thought about "The Cactus Concept" in your lifetime? 

What if we live in a world where people care more about someone's appearance rather than their feelings? Be patient, be bouncy, and flexible in life. Don't feel inferior when someone knock you down. Just prepare for the impact. Because the meaning of life is not just about your appearance, but how to survive and process.


Saturday, April 8, 2017

Understanding Depression


2 days ago (7th April) was World Health Day and WHO's theme for this year was Depression. Depression (major depressive disorder) is a common and serious medical illness that negatively affects how you feel, the way you think and how you act.

Depression is more than just feeling "down". It caused feelings of intense sadness --including feeling helpless, hopeless, and worthless-- last for many days to weeks and keep you from functioning normally. Depression is not simply a temporary change in mood or a sign of weakness.

Depression is not a JOKE. It isn’t fun to have, nor is it funny.

If you’re living with it, or supporting someone through it, day-to-day life can be very tough indeed. A constant battle against the darkness. Depression is an everyday battle, and more people need to be aware about it.

I’ve lived it. I've felt it. And I stand by those who are living it too.

I have struggled with depression and I could honestly say that it was not easy. However, depression is not something to be ashamed of. Besides, telling a bunch of people that I struggle with depression just doesn’t sound fun too. You know, the stigma. 

So with this, I hope people think carefully next time when they want to make a joke, it might hurtful to someone. With compassion, with empathy and in sincere solidarity we can understanding Depression. Although depression is a cruel and isolating illness, if you’re living with it, you are by no means alone. People across the globe are facing similar struggles to you. 

 

--Regards--

Bening

Tuesday, April 4, 2017

Momok Seputar "Kapan Nikah?"

 
Doh, pernah nggak sih kalian tiba-tiba merasa berhenti pada pertanyaan seperti ini? Mungkin untuk teman-teman yang sudah berkeluarga, pertanyaan seperti ini sudah terlewati. Tidak perlu saling menghakimi, seseorang melewati fase-fase dalam hidupnya yang tentu berbeda dengan orang lain. Saya sering bertemu dengan orang yang melontarkan pertanyaan seputar pernikahan kepada saya, mulai dari yang sekadar iseng bertanya, sarkasme, bahkan sampai yang begitu menusuk perasaan. Bagi Anda yang masih melajang ketika usia Anda sudah matang untuk menikah, mungkin akan familiar dengan pertanyaan berikut:
STANDARD QUESTION: "Kapan nikah?"

RHETORICAL QUESTION: "Kamu masih aja betah melajang ya?"

SARCASM QUESTION: "Kapan nih? Orang lain anaknya udah mau masuk TK, kamu masih gitu-gitu aja."

EVIL QUESTION: "Apa nggak ada yang mau sama kamu? Atau kamu yang kebanyakan pilih-pilih? Eh, orang itu nggak ada yang sempurna. Makanya kalau main yang jauh, dandan yang cantik/ganteng, biar cepet ketemu jodoh. Nggak gitu-gitu aja. Nggak malu kamu sama teman-temanmu yang sudah punya dua anak?"
Yah, jawaban untuk masing-masing pertanyaan itu sih beda-beda. Ada yang bisa dijawab dengan senyuman, ada yang dijawab dengan kalimat "doain aja", ada yang bisa dijawab dengan kalimat balasan lebih sarkas, ada yang (rasanya) ingin dijawab dengan sebuah tonjokan di wajah. LOL 



Buat kalian yang masih single dan sering bertemu dengan pertanyaan ini, tenang aja, kalian bukan satu-satunya orang yang merasa 'annoying'. Mungkin jika satu-dua penanya akan sedikit ditoleransi, tetapi jika kemanapun kalian melangkah tiba-tiba ada pertanyaan seperti ini kan lama-lama jadi jengah juga. Bahkan yang paling parah jika yang diajukan bukan pertanyaan, melainkan penghakiman. Menyakitkan sekali, tentu. Apalagi jika dilontarkan di depan umum, dimana banyak orang yang kemudian memperhatikan reaksi Anda atas pertanyaan tersebut.

Well, saya sudah mengalami hal-hal semacam ini. Mau dibilang kebal, nyatanya ya tidak kebal juga. Masih terasa sakit juga sih kalau ada yang melontarkan evil question seputar pernikahan (apalagi jika di depan umum). Entah kenapa budaya yang ada pada orang-orang di negeri kita, mereka lebih senang jika melihat orang lain berada pada posisi 'uncomfortable', sehingga merasa bisa dijadikan bahan bully-an/ejekan (dari yang sekadar ringan hingga serius). Contohnya, menanyakan kepada pasangan menikah yang belum diberi keturunan: "Kapan hamil?" atau "Kapan punya baby?". Such a stupid question! Kehadiran keturunan itu anugerah dari Tuhan. Banyak pasangan yang berusaha ingin mempunyai keturunan tetapi masih belum diberi amanah sama Tuhan. Mikir nggak gimana perasaan mereka jika kalian menanyakan pertanyaan tersebut? Kalian bikin orang sedih, jelas. Kalau kalian sudah berkeluarga, bersyukurnya apabila diberi anugerah keturunan lebih cepat dari yang lain. Namun, pahami pula perasaan orang-orang yang belum seberuntung kalian.

So does with marriage.


Jangan menghakimi seseorang yang belum menikah. Doa kalian itu jauh lebih mereka butuhkan ketimbang pertanyaan yang berkecenderungan menghakimi. Kalau ada yang berdalih "Menghakimi bagaimana? Itukan pertanyaan standar, wajar dong bertanya!" Iya sih bertanya itu wajar. Mungkin juga kalian bertanya karena perhatian, tapi alangkah baiknya kalian juga memperhatikan perasaan orang yang akan kalian beri pertanyaan itu. Mengapa harus menjatuhkan seseorang untuk membuat Anda tinggi?

And, buat kalian para kaum single yang masih berjuang untuk menuju hubungan yang halal dan sah di mata hukum dan agama, here's for you:


Salam.




Wednesday, March 29, 2017

Wisata Alam Rumah Pohon Banyu Anyep, Jatiyoso, Karanganyar

Hello again peeps! How was your weekend? Kalau saya sih, weekend kali ini lumayan seru. Kemarin saya habis jalan-jalan ke sebuah lokasi wisata baru di daerah kelahiran saya, Kabupaten Karanganyar, Solo. Anyway, lokasinya bernama Banyu Anyep. Kalian pernah ke kebun buah Mangunan di Imogiri, Yogyakarta; atau ke rumah pohon di Kalibiru Kulonprogo, Yogyakarta? This location offers you the best view that mixed by Mangunan and Kalibiru. Just visit to prove my words! 😊

Banyu Anyep, entah kenapa lokasi ini diberi nama Banyu Anyep. Tapi memang lokasinya sejuk, lebih sejuk dari Tawangmangu atau Sarangan. Sebelum masuk ke area rumah pohon, di depan ada sebuah tuk/mata air yang bisa digunakan siapa saja untuk cuci tangan atau sekedar membasuh wajah. Airnya memang super dingin. Pantaslah kalau lokasinya dinamakan Banyu Anyep.
Kalau kalian bertanya dimana lokasi wisata ini berada, silakan buka GPS (mungkin nggak ada sih di GPS, ahaa 😅 tapi minimal bisa mengakses daerah Jatiyoso). Kalau Anda berkendara, saya sarankan naik motor yang waras. Lokasinya bisa sih diakses dengan mobil, tetapi benar-benar harus lihai yang mengemudikan. Sebab jalannya sempit; curam; kanan-kiri berupa jurang dalam; agak berlubang; tanjakan dan tikungan juga ekstrem. Jika Anda berkendara dari arah jalan matesih-tawangmangu: setelah melewati lampu merah dekat pasar matesih ambil jalan yang ke arah tembus Jumantono. Kurang lebih jalan 1km, Anda akan bertemu pasar kecil (lebih tepatnya kios berjejer-jejer kalau siang hari). Ambil jalan ke kiri menuju Desa Beruk. Jika tidak ada di GPS, tanya pada penduduk lokal, pasti mereka tahu arahnya sebab Desa Beruk cukup dikenal oleh karena lokasinya yang sangat jauh dari kota. 

Eits, tapi jangan salah... Meski jauh dari kota, Desa Beruk sudah diisi dengan rumah-rumah penduduk yang megah dan mewah. Mungkin rata-rata bekerja di luar Jawa atau bekerja sebagai pedagang dan pemasok pertanian. Mobil yang diparkir di rumah-rumahnya juga sudah banyak yang bagus. Setelah melewati Desa Beruk ini, believe me or not....ternyata Anda harus melewati beberapa bukit lagi untuk sampai di desa yang tertinggi di Jatiyoso. Helppp..... 😲

Nanti di sepanjang menuju lokasi rumah pohon, Anda akan diarahkan dengan papan petunjuk sederhana. Sampailah Anda di Kelurahan Wonorejo, Jatiyoso. Lokasi dimana wisata Banyu Anyep berada.

Seru sih! Deg-degan sepanjang jalan membonceng motor. Mana waktu kemarin saya berboncengan dengan motor bebek, pas di tanjakan kebetulan ada penduduk lokal yang memberhentikan (Saya nggak tahu waktu itu ada kejadian apa, di kali. Mungkin ada yang terperosok atau gimana). Jadi lah motor kami tidak kuat naik ke tanjakan, yang mengharuskan saya gempor jalan kaki naik bukit 😂 Well done.

Don't imagine too much. Banyu Anyep ini bukan ditangani oleh Dinas Pariwisata alias masih ilegal, ditangani oleh penduduk setempat. Jadi masalah keamanan belum bisa saya jaminkan untuk Anda. Tapi mengenai view yang bisa Anda dapatkan di sini, saya jamin Anda tidak akan menyesal! Rumah pohonnya juga masih ditopang kayu penyangga seadanya, pengikatnya juga masih berupa kawat ringan. Plus lagi, wisatawan lokal banyak yang BELUM paham konsep keamanan! Heran saya...sudah dipasangi tulisan maksimal 4 orang di atas papan, tidak lebih dari 5 menit. Lah ini malah uyel-uyelan berebut buat eksis foto. Yaelah...hits boleh, cerdas tetap harus kali! 


Anda bisa melihat puncak Lawu dari dekat dan melihat kota Karanganyar, Wonogiri, Surakarta dari atas sini. Semoga pihak pemerintah daerah segera turun tangan mengelola lokasi-lokasi wisata lokal yang banyak hits di media sosial ini, sehingga bisa menarik wisatawan asing dan wisatawan dari daerah lain yak! 😉



Regards.



Monday, March 27, 2017

Practicing And Learning New Thing at Work

It was super busy week, I've been kinda busy with my tenders schedule. Like what I've told you before, this is a new field of work for me. I did not expect that to lead the auction process would be as complicated as this (specially when dealing with government bureaucracy) .Hahaha. 
Anyway, when I worked as a fashion designer assistant, the sense of fatigue was also greater than this. I worked almost a full week. I've worked in 'numb' feeling as if there were no Sunday in your week dictionary of life. Really. Whether that's good or bad? Good if it is worth with the compensation you receive. Bad if you are only enslaved by work and don't have time to relieve pressure of work (at least a day in week). From the beginning, I didn't understand how to measure and then I learned. I didn't understand about design, then I finally charged with creativity. In fashion work, it required me to understand and memorize the materials fabric, zipper, thread, buttons, sequins, embroidery, printing, etc. I was also have to understand the quality of stitching. I had to learn a new fashion trend that always turns. I also observed characteristic of famous designers from abroad and within the country. However,  I did it all with passion because I love fashion world! So whatever felt tired, it was still fun.

Whereas now, this is really a new field that I learned. I am facing what so called the 'economy' field which do require me to understand and familiar with economic terms, I have much to learn. Bad news, I am stressful to follow all steps of my work. Good news, I don't have to work a full week. The things I learned was not in vain, the company that I represent won fairly large tender project this year. I won my very first tender! Omg! Cheers, though starting next Wednesday will be a busy day-to-day for me *sigh* But the numbers I will accept is certainly comparable to the work that I do.
God bless us!

Sunday, March 19, 2017

Join BDK Cycling Club (Klub Gowes)

Selamat berhari minggu, teman!

Hari ini tadi diawali dengan mendung yang menggantung, saya pergi bersepeda bersama dengan klub sepeda kantor kakak. Hal baru lagi saya coba. Awalnya tidak tertarik untuk ikut gowes, apalagi gabung di klub pesepeda. Beberapa waktu lalu kakak menawarkan saya untuk gabung sebagai anggota klub sepeda kantornya. Saya ditawari membayar seratus ribu rupiah untuk menjadi anggota plus sebuah jersey club. Sempat nanya ini itu. 
"Entar kalau cuma gue yang orang luar kantor gimana Kak? Nggak mau ah, gue sungkan.." 
"Udah lu ikut aja. Lagian ini klub untuk umum, yang ikut itu kebanyakan para nasabah. Orang kantor mah malah pada nggak tertarik"
"Serius nih? Tapi ntar gue naik  apa?"
"Ya naik sepeda lah, Oneng.. Namanya juga klub sepeda."
Hello brooo... gue mah juga tahu kalau gowes itu naik sepeda. Maksudnya...gue kan cuma punya sepeda polygon yang dipasang kerenjang di depannya. Is that make a sense for join the cycling club? Bisa-bisa sepeda gue paling unyu ntar. 😣
Akhirnya saya bergabung. And for the first info, hari minggu akan ada acara gowes bareng 10Km. Ya acaranya jatuh pada hari ini tadi. Waduh, 10Km? Awalnya mikir serem juga bayangin 10Km. Pulang pergi berarti udah 20Km. Belum jarak dari rumah ke tempat kumpul. Buat yang sudah senior gowes mah.. Pasti jarak segitu hanya kacang buat mereka *hormat suhu!*. Sanggup apa enggak ya saya sepedaan segitu jauhnya. Sepedaan paling jauh terakhir kali ya waktu ke sekolah jaman SMP. Lol 😝 Habis itu, saya sepedaan paling banter dari rumah ke alun-alun kota aja. Basmallah aja deh.

Berbekal sepeda yang saya punya, jersey polyster bagus, sepatu olahraga yang nyaman dan air minum, akhirnya saya berangkat juga ikut acara klub. Anyway, setelah dijalani ternyata it was fun! Huulaa.. Kumpul sama bapak-bapak yang usianya rata-rata pensiunan sih, seru juga. Mungkin yang usia 30-40 hanya beberapa, malah yang sudah sepuh lebih mayoritas. FYI, sepeda mereka ya sepeda untuk gowes yang memang mehong harganya. Jauh lah kalau dibandingkan sepeda saya yang apa atu. Awalnya dijalan yang menanjak curam saya nggak kuat, masih dituntun. Beginner. Harap maklum. So far, menyenangkan sekali ternyata. Serasa di negeri oranye yang kemana-mana pakai sepeda gowes. Pantesan orang barat lebih kuat secara fisik dibanding kita, karena kita kemana-mana naik motor mobil. Mau beli sesuatu ke warung yang hanya 30 meter aja naik motor. Lah orang barat lebih suka bersepeda dan jalan kaki. Hal positif yang baik dicontoh.

Pengalaman pertama saya sih ada beberapa kendala, seperti:
  1. Kram (actually, saya nggak pemanasan lebih dulu. Padahal pemanasan kaki, tangan dan badan itu penting. Jangan asal mengayuh sepeda saja).
  2. Tidak kuat di tanjakan curam. Nih ya gaes.. Ada triknya ternyata mindah-mindahin geer sepeda itu. Bodohnya saya karena nubie, asal aja pindah geer. Emang sih kalau tanjakan landai, cukup main feeling. Maksudnya, kalau masih kuat tanpa pindah geer ya diusahakan tetap mengayuh/jangan berhenti.
  3. Alat pompa portable. Ya, saya lupa bawa alat ini. Penting sekali, kalau ban kita kempes di jalan, tidak perlu cari bengkel. Bahkan untuk mereka yang sepedanya dah mahal-mahal itu, ternyata punya alat emergency untuk menangani permasalahan sepedanya sendiri loh gaes.
  4. Handuk kecil. Baju jersey yang dipakai biasanya gampang dingin karena keringat , apalagi saya pakai jilbab begini. Keringat udah basah aja di dada dan punggung. Nah, biasanya para pesepeda bawa handuk kecil minimal untuk mengelap keringat. Pada tahap jarak yang lebih jauh, biasanya mereka bawa baju ganti. Agar tidak terjadi paru-paru basah, angin duduk atau masuk angin.
  5. Minyak gosok. Penting! Apalagi kalau sewaktu-waktu terjadi kram.
Itu sih beberapa yang saya pastikan lain kali kalau ikut gowes lagi harus dibawa. Memang rasa kekeluargaan sesama pesepeda satu klub itu besar ya. Contoh kecil waktu saya mau parkir sepeda, harus menjinjing melewati trotoar tinggi, salah seorang bapak langsung menawarkan bantuan dengan sigap. Apalagi karena saya perempuan dan paling muda diantara mereka 😄


Jadi gimana, kalian ada yang tertarik gabung klub gowes? 😉


Regards.



Saturday, March 18, 2017

Viewer Discretion in Social Media

Baru saja kemarin netizen Indonesia dibuat heboh oleh aksi bunuh diri seorang laki-laki warga Jagakarsa yang merekam aksi nekadnya gantung diri dengan video live di Facebook. Video live tersebut menjadi viral setelah akun @lambe_turah mempostingnya. Sorry not sorry, buat saya pribadi, lu mau bunuh diri apa gimana terserah aja, kalau mau ninggalin pesan bermakna buat keluarga yang ditinggal, silakan. Tapi karena itu sudah merambah media internet, mempostingnya secara LIVE dan membiarkan seluruh masyarakat untuk melihat aksi lu, itu jelas SALAH. Ada juga cara-cara seperti itu bakal menjadi legitimasi sosial kalau dibiarkan.

Seketika saat akun @lambe_turah memposting mengenai info ini, saya langsung cari tahu akunnya. Beuuh! Malah banyak yang nge-share videonya. Ni orang-orang mikirnya apa sih ya, batin saya waktu itu. Bukannya di-report kek ke Official Facebook bahwa pemilik akun udah meninggal; juga adanya konten video berisi violence di dalamnya yang sangat tidak pantas ditonton. Eh malah banyak yang nonton dan membagikannya. Hmm... Parahnya lagi saya hanya baca komentar orang-orang di situ. Kebanyakan sih menyesal sudah nonton dan merasa takut. (Jelas lah. Ngapain juga coba pakai nonton tindakan suicide gantung diri, nungguin orang meregang nyawanya sendiri pakai tali sampai sakaratul maut menyakitkan. Saya mah ogah).

Seingat saya dulu juga pernah ada aksi gadis 12 tahun bunuh diri membakar diri sendiri yang kemudian direkamnya secara live juga di Facebook. Fitur siaran langsung media sosial jadi dimanfaatkan untuk merekam aksi bunuh diri. Mungkin depresi yang tidak ditangani dengan baik menjadikan orang mudah untuk melakukan hal-hal nekad. Please kepada para pembaca dimanapun Anda berada, apabila menemukan contoh kasus seperti ini lagi, langsung REPORT ACCOUNT saja. Report video-nya juga biar pihak Facebook langsung menutupnya. Bukan hal yang pantas lah disebarin. Apalagi jika dilihat oleh orang-orang dengan emosi labil atau anak-anak, bisa menjadi contoh buruk tentunya. Seperti apabila Anda melihat konten yang tidak layak dilihat/dibaca di media sosial, saat ini pihak penyelenggara media sosial sudah menerapkan layanan report account atau block untuk mencegah konten negatif. Tidak perlu disebarluaskan, langsung saja laporkan. Kalau Anda menyebarkannya, sama saja Anda meracuni orang lain. Please, be wise ya peeps!


Regards.


Friday, March 17, 2017

(Apakah) Tuhan (Perlu) Berpolitik (?)

Yo guys, judul postingan ini mungkin terdengar 'bit strange'. Actually, memang ini terkait dengan isyu hangat yang sedang banyak diberitakan oleh media belakangan: Pemerintah melalui Kementerian Agama tengah menyusun aturan mengenai ceramah di rumah ibadah yang berlaku untuk semua agama yang diakui di Indonesia. Read this linkhttp://m.metrotvnews.com/video/primetime-news/8koXodRK-pemerintah-siapkan-standarisasi-ceramah-di-rumah-ibadah

Ketika membaca beberapa berita online mengenai wacana ini, saya seketika langsung mikir: "Wait, wait... Maksudnya penyeragaman seperti apa? Penyeragaman konten kah? Penyeragaman format kah? Atau yang seperti apa?; Maksud label standarisasi itu bagaimana ya? Apakah-- ceramah, khutbah, kajian, atau apapun bentuknya itu--harus melalui semacam screening baik/tidaknya, layak/tidaknya?"; Apakah itu bisa bermakna 'pembatasan'?. 

Lalu mulailah saya mencari informasi tentang wacana ini. Segitu kritisnya ya kondisi toleransi umat beragama di negara kita hingga perlu adanya aturan mengenai ceramah di rumah ibadah? Rumah ibadah. To be sure... Bukan sekadar 'rumah' atau tempat. Tetapi ini jauh lebih sakral maknanya. Tempat dimana kita lebih memfokuskan diri pada hubungan hamba dengan Tuhan. Tempat kita mencari kedamaian diri dan energi spiritualitas. Mari kita bahas dari berbagai sudut pandang.

Rumah ibadah bermacam-macam, sesuai dengan agama yang diakui dan dilindungi oleh negara: ada masjid, gereja, pura, vihara, kelenteng. Semua itu adalah tempat suci yang digunakan bagi umat untuk melakukan praktik keagamaan. Masing-masing agama punya ajaran tentang kebaikan. Masing-masing agama punya topik bermacam-macam bersumber dari kitab suci, yang dapat dipakai bagi para pendakwah untuk melakukan praktik keagamaan kepada umat (pemeluk agama). Praktik keagamaan ini bermacam-macam, bisa mencakup ceramah, ritual, khutbah, peringatan atau pemujaan, kajian, dll. 

Bukan bermaksud apriori, tetapi wacana baru mengenai aturan ceramah di tempat ibadah, menurut saya hal itu boleh atau bisa dilakukan hanya jika keadaan suatu negara sudah sedemikian gentingnya untuk mempertahankan keamanan dan stabilitas nasional. Itu yang mengusik saya, apakah keamanan dan stabilitas nasional kita sudah pada tahap yang bisa dikatakan kritis? Apakah warga negara sudah benar-benar krisis toleransi hingga memunculkan wacana seperti tersebut oleh pemerintah? 

Label standarisasi ini--seperti yang ditulis di media-media--cenderung meletakkan posisi pemerintah bermanipulasi politik pada agama. Apakah Tuhan yang kita sembah di tempat ibadah perlu berpolitik? Hambanya iya, melakukan politik. Apakah agama juga menjadi manuver lain bagi elit kala jalan politik sudah dirasa kaku dengan cara 'lawas'? Sudah jelas iya. 

Mungkinkah pribadi individu sebagai pemeluk agama ataupun sebagai umat masih bisa berteduh pada bunyi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing; dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Jaminan ibadah yang kemudian dilabeli dengan 'standar' yang ditetapkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa politik dan agama menjalankan peran masing-masing dalam keutuhan negara. Kita tidak mungkin mendasarkan pilihan politik yang tidak ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebaliknya, politik juga bisa memecah belah kerukunan beragama.

Lalu pertanyaannya adalah beragama itu apa sih? Apakah hanya dengan mengucapkan kalimat tertentu "Aku percaya Tuhan" bisa dianggap beragama? Apakah dengan mengakui adanya kekuatan luar biasa di luar diri individu? Apakah beragama itu pengakuan secara formalitas? Apakah beragama itu adalah ketika individu bisa berdoa kepada Tuhan? Apakah beragama itu sebatas pengakuan bahwa individu menganut agama tertentu? Lalu dimana letak pemahaman, pengahayatan akan ajaran agama dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya? Melalui agama itu sendiri diatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan maupun hubungan manusia dengan sesama manusia.

Apakah tempat suci yang dianggap 'rumah Tuhan' begitu 'perlu' diajak berpolitik? Kita semua tahu bahwa sejarah penyebaran agama adalah melalui jalan politik. Bukankah tempat ibadah merupakan tempat yang dianggap suci dalam penyelenggaraan peribadatan? Tempat dimana individu memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Tempat untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta,. Tempat untuk memaknai hubungan manusia sebagai hamba dengan segala kekurangan dan dosa-dosanya. Tempat dialog/komunikasi sosial antarpemeluk agama mengenai pemahaman keagamaan.

Pemerintah sendiri menjamin dan melindungi tempat ibadah sebagai wujud nyata dari UUD 1945 mengenai kebebasan beragama. Sejarah bangsa menjelaskan bahwa negara dan landasan negara kita disepakati di atas kesepakatan bersama. Semua kembali lagi kepada UUD 1945 dan Pancasila, bahwa negara kita menjamin kebebasan tetapi juga mengakui perbedaan di dalamnya. Kita telah belajar nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 mengenai toleransi beragama sejak bangku sekolah dasar. Kemudian apabila dalam praktiknya di kehidupan bernegara nilai-nilai tersebut luntur, apakah kemudian cara mengatasinya dengan melakukan 'penyeragaman' ceramah atau khutbah di tempat ibadah akan efektif? 

Mungkin yang ditakutkan oleh pemerintah adalah berkembangnya paham-paham radikal dari praktik keagamaan yang dilakukan di tempat ibadah. Tidak kita pungkiri bahwa saat ini sedang marak peningkatan radikalisme yang memunculkan konflik dan kekerasan sosial bernuansa agama. Tengok saja pilkada atau pilpres yang selaku diwarnai dengan konflik dan perpecahan berbasis SARA. Sudah menjadi hal melelahkan bagi siapa saja yang melihat dari konteks humanisme tentunya. Tindakan memaksakan pendapat, bahkan pada tindakan memobilisasi massa pada satu pandangan politik tertentu dengan nama agama. Well, bagi saya silakan saja apabila individu meyakini suatu pandangan tertentu mengenai politik (yang dibasiskan pada keyakinan agama), tetapi apakah TUHAN perlu dilibatkan dalam deprivasi politik? Sedangkan sebagai individu beragama kita meyakini bahwa Tuhan itu Maha Suci. Tuhan adalah Maha dengan segala Maha-NYA.


Sangat kompleks apabila melihat dari sudut pandang netral. Beberapa yang bisa dipandang secara kasat mata mengapa radikalisme bisa menjamur dan menjadi endemi sosial, yakni: Pertama, euforia kebebasan yang tidak mau peduli kepada pihak lain yang berakibat menurunnya toleransi; Kedua, fragmentasi politik dan sosial di kalangan elit yang berimbas pada grassroot dan menyebabkan konflik laten horizontal; Ketiga, tidak konsistennya penegakan hukum, terutama beberapa kasus konflik dan kekerasan sosial membawa atribut keagamaan; Keempat, disorientasi nilai dan norma sosial, ujung dari semuanya adalah kebimbangan individu dan ketidakpercayaan pada lembaga penyelenggara pemerintahan yang berakibat penyimpangan nilai dan norma sosial (bahkan nilai dan norma agama itu sendiri). 

Kelompok radikal sangat mudah memanfaatkan tempat ibadah yang tidak terurus dengan baik oleh masyarakat sekitar. Akan lebih gampang menyusupkan paham radikal melalui agama. Maka upaya menanggulangi radikalisme ini tidak cukup hanya dilakukan satu dua elemen saja, tetapi diperlukan semua elemen untuk bersinergi. Penguatan nilai norma Pancasila dan UUD 1945 sangat perlu diajarkan terus-menerus. Tidak cukup hanya di sekolah-sekolah, di dalam institusi dan keluarga pun perlu diperkuat. Peran keluarga dan masyarakat adalah yang paling dekat untuk membentengi dari propaganda radikalisme terselubung dalam praktik keagamaan. Masyarakat yang dapat mengawasi praktik keagamaan yang dilakukan di tempat ibadah yang ada di sekitar mereka. Pengurus tempat ibadah juga harus melibatkan masyarakat setempat sehingga apapun kegiatan keagamaan yang dilakukan atas sepengetahuan masyarakat sekitar.


Regards.

Wednesday, March 15, 2017

'Bug Transition' at Work (Do What You Love / Love What You Do)

Hi, apa kabar? Hope you guys in a good and happy situation. Bless for all of us :)

Hmm... have you ever faced 'bug transition' at work? No, this is not about the 'bug' as in software system, kinda like that analogy. I mean, each people may react differently to different type of changes; or event the same type of change occurring at different times in life. For example I had a weird problem when I was suddenly confronted with the work related to tender or auction; as some of you already knew, that my basic previous work before are related to computer and fashion; and right when I'm faced with the procurement tender process, of course I experienced a kind of 'bug transition', like some kind of 'jetlag' at work. I just realize that I am facing a very much different job from what I've lived, in spite of the fact that all still related to administration stuff, but this is obviously much different. When I lived my role at fashion work, I so enjoyed it. Take care of mailing, filing documents, scheduling a meeting with client, set the work plan, do the contract agreement, choose material fabrics, body fitting, make sure the tailors working hard to support production system, do packing, shipping, and others. I know, a job that is associated with passion will feel more alive and energized. True.


Afterwards, when I was faced with tender projects which its debt ceiling could be far above the usual contract I ever signed, honestly I felt scared and nervous. Is this the work I really want? Still, the document selection were super strict and meticulous, no doubt, it was electronically and transparently project organized by the government. All bidders could monitor via internet. Still, bureaucratic system are very complicated. It does not matter when it comes to permission and other terms, because it should to be legal. But my point here is, the appointment documents that are exhausting; you have to get there, you have to go here, you have to do this, you have to be so (anyway I don't know what's the function of electronic transparency here). When the government are ready for electronic procurement, it should not need to be complicated as it was for physical document screening process. Well, maybe it was just me who don't understand about auction. Just skip.
 
Adjusting to a new culture and environment is a normal process and can generate a wide variety of reactions and feelings. People move through life they continually experience change and transition. These changes often result to new networks, new relationships, new behaviors, and new self-perceptions; juts like what I faced. Many people go through a period of personal frustration or disenchantment with their new environment. Such a 'culture shock' and it's normal part. Whereas, this could be a serious problem if the stress factors aren't handled properly. Still, to keep in mind is happiness. Are you happy living your job? Or is it just to make something negative to you? It's all up to you. We have different type of person at work. There are people who are challenged to do work which 'THIS ISN'T ME AT ALL'. Beside, there are people who prefer to pursue job what became their PASSION. It depends which personally are you? Me? I am clearly for the second anyway. I don't want to be stuck in the wrong place :)


 So for those of you who also experienced a 'bug transition' as I am, let us prepare ourselves to adapt with any situation. Be bouncy and flexible, because life is just a matter of how we are prepared to accept any impacts. Be bold for the change, and more importantly: Be bold for who you are!




Regards,

Bening Rahardjo
 

Monday, February 27, 2017

Life List: Pengalaman Pertama Mendaki

Hi guys, postingan saya kali ini mau bahas seputar pendakian. Pasti kalian punya dong Life List yang ingin kalian lakukan minimal sekali dalam hidup? Demikian juga dengan saya, salah satu hal terbesar dalam hidup yang ingin saya lakukan adalah mendaki. Bagi banyak orang, mungkin melakukan pendakian ke gunung-gunung adalah hal normal dan biasa dilakukan. Tetapi bagi sebagian orang lain dengan kondisi fisik yang kurang beruntung, mendaki mungkin akan menjadi pengalaman berharga yang ingin mereka lakukan minimal sekali dalam hidup. Pengalaman saya kali ini adalah kali pertama dalam menaklukan ego saya dan diri saya sendiri. Kalau ada yang bertanya apa sih motivasi naik gunung? The truth is, saya ingin merasakan sensasi mendaki seperti yang banyak orang ceritakan, meski dengan kekurangan-kekurangan yang saya miliki. Banyak orang bercerita bahwa kalau kamu ingin tahu dirimu yang sebenarnya, cobalah mendaki gunung. Semua watak aslimu akan keluar. Dulu sih nggak begitu paham. KKN UGM selama 3 bulan di tempat yang terpencil nggak ada sinyal dan sangat jauh dari modern, menurut saya itu juga bisa memunculkan watak asli seperti apa hanya dalam seminggu di rumah pondokan hehehe :p


Nggak sih, itu hanya salah satu motivasi. Salah dua yang lain adalah rasa minder saya. Minder? Kok bisa? Iya. Sejujurnya, saya sering sekali iri melihat banyak teman yang sering pamer foto muncak. Bawa-bawa bendera merah putih di puncak. Bawa-bawa tulisan "Elu dapat salam dari ketinggian sekian Mdpl" (oh gosht!). Atau yang paling ekstrem adalah foto bergandengan tangan (dimana hanya tangan si pengandeng doang yang kelihatan) di puncak sama pasangan, sambil dikasih caption ala-ala "Jangan lepaskan genggamanmuuu oooww...." (somehow, malah mirip liriknya Tulus). Sering sih mikir, mereka naik puncak segitunya ya persiapan bawa tulisan segala, trus mikir mau foto pose begini begitu, dll. Who knows guys, mungkin saya aja yang terlalu iri. Eh tapi betul loh, kalau niat awal kalian mendaki untuk lebih memahami diri dan memaknai hubungan dengan alam; hubungan dengan Sang Pencipta, kalian pasti nggak akan se-alay itu untuk pamer ke khalayak.. Peace to all! xD  

Another reason is.... the guy who has my heart (ahiyy!), adalah seorang anak gunung banget deh. He named hiself as a traveler, nature lovers. Gileeee....mimpi apa saya jadi secret admirer orang macam begini hahahaha. Bertolak belakang banget sama saya. Saya adalah orang yang homey sekali. Clue for me: family, sensitive, fragile, books, art, theater, basketball, fashion, advocacy, social. Jauuuh dari kata traveling. Oke lah, saya suka melakukan vacation at least thrice in a year, but ya nggak pernah naik gunung. Sampai suatu ketika, saya selalu menemukan postingan-postingan doi yang pakai caption begini: "Wanita yang hobi traveling dan hiking itu istriable banget". Nah loh! Seketika saya mikir...emangnya wanita yang rumahan banget, yang lebih senang menghabiskan waktu dengan buku, teater, hobi basket dan nonton basket, seni lukis, mengamati perkembangan fesyen, hobi nulis dan uji coba masak; isn't she worth for a wife? Lol. God, beruntungnya para wanita yang diberkahi dengan fisik yang sehat dan kemampuan untuk bisa olahraga lari marathon dan naik gunung. Saya jadi bercermin ke diri sendiri. Olahraga lari aja harus dengan advice yang benar dari dokter. Udara dingin juga saya tidak kuat, susah nafas dan jantung jadi agak nyeri. So, dari situ...saya punya tekad dan list of life untuk minimal sekali dalam hidup naik gunung. Bukan berarti untuk menunjukkan ke si dia itu loh ya. That's a cheesy. Kalau saya mau pamer mah, saya upload foto terus saya tag dah si doi, pakai caption: "Eh, gue udah istriable banget looh!". Hahaha. NOPE. Buat saya, yang terpenting adalah berkompromi dengan tubuh dan diri sendiri. Itu saja.


Lanjut cerita, bagi teman-teman yang sering naik gunung pasti familiar dengan apa yang musti dipersiapkan; bekal apa yang harus dibawa terutama pada gunung yang masih aktif yang masih berbau belerang;  juga medan seperti apa yang bakal ditemui. Namun, bagi mereka para pemula dan orang-orang yang belum pernah sama sekali mendaki, pasti akan sangat memerlukan sharing pengalaman. So, the story begins from this...

Sekitar dua minggu lalu saya baru saja pulang dari 'muncak' (God...baru pertama kali dalam hidup rasanya saya nuliskan kata ini). Jujur, due to my medical health history, saya memang sangat dilarang untuk melakukan aktivitas berat oleh dokter; apalagi aktivitas seperti naik gunung, membayangkannya pun tidak. Bagi penderita jantung seperti saya, sangat berbahaya jika memaksakan diri. For some reason, finally I could fill one of my llife list. But then, I gave my best advice to you--person with the same medical health history--DON'T DO ANYTHING THAT COULD ENDANGER YOURSELF. That's all.

Jadi saya melakukan perjalanan ke salah satu gunung di daerah Dieng bersama dengan rombongan. Sekian orang yang bergabung, hanya saya kira-kira yang masih single; sedang yang lain bergabung bersama dengan pasangan mereka. It was okay. I mean, literally okay until I found difficulties with me. Bukan masalah baper loh ya. Yaelah, masalah apalagi sih selain yang saya ceritakan di atas. Yup kondisi jantung yang tidak stabil. The thing became worse when you chose the wrong time for traveling. Ya, waktu itu saya pikir pertengahan bulan Februari sudah masuk ke spring season. Well, ternyata sampai seminggu sebelum tanggal keberangkatan cuaca masih sama dinginnya. Curah hujan tinggi, angin kencang dan udara yang begitu dingin.  

The day was coming.

Berangkatlah saya dengan bekal winter jacket, duck boots anti licin, gloves, hat, socks, wool scarf, baju berlapis-lapis, jilbab langsungan yang super comfy dan hangat. Beberapa hari sebelum berangkat saya sudah prepared macem-macem tuh; mulai dari make up yang bakal dipakai biar kulit nggak kusam dan kering (dari sekian banyak persiapan entah kenapa harus ini yang muncul di benak saya saat itu. Lol!); juga bawa bekal makanan snack untuk nyemil biar bisa ngilangin dingin kalau ada api unggun (dikira kemah pramuka kali ya hahaha). Alat mandi; minimal sabun cuci muka, sikat gigi dan tooth paste. I told you nih, sampai sana hilang semua angan-angan kamu bakalan gosok gigi ataupun cuci muka. Hilang semua selera mengunyah snack atau minum orange water. EVEN, my most gold chimera....doing make up biar muka agak kinclong saat foto-foto; maupun angan-angan bakalan ada api unggun. Hell! Semua itu nggak bakalan kalian lakukan. Buat menangkal udara dingin yang begitu menusuk tulang aja kita udah sangat payah, apalagi mau make up an. Hahaha, the stupid thing I've ever dreamed saat mau muncak. Yah maklumin aja ya, anak baru xD


Jadi pastikan saja kalian bawa ini:
  • Baju hangat dan jacket yang tidak gampang basah saat terkena kabut, sebab ini bahaya untuk paru-paru kalian juga ya.
  • Jangan pakai celana yang terlalu skinny dan berbahan tipis, kalau ada sih celana cargo untuk naik gunung; atau jeans biasa yang nyaman.
  • Kalau memakai jilbab, pakailah jilbab yang aman dan nyaman. Nggak ribet dengan peniti dan jarum pentul dan inner dan lain-lainnya. Lol.
  • Sepatu usahakan yang bawahnya tidak licin, agar saat kalian mendaki dan berpijak pada batu-batu yang licin, tidak mudah terpeleset.
  • Masker, kaus kaki, sarung tangan, topi penutup telinga, dan wool scarf
  • Obat-obatan khusus; plester, tissue basah, kantung plastik (untuk membuang sampah agar tidak mengotori puncak, saat turun kalian bisa membuangnya di tempat pembuangan sampah)
  • Air minum (sumber kehidupan, fungsi lainnya ya saat nggak ada air di puncak bisa kalian gunakan untuk wudhu emergency)
  • Roti, makanan yang gampang dimakan. Kemasannya tidak ribet untuk dibuka.
  • Tas ransel yang kuat
  • Kompas dan peluit.
  • Senter biasa/head lamp (yakin kalian akan butuh ini) 




Singkat cerita, rombongan saya harus berpindah dari bus besar ke kendaraan omprengan mini untuk bisa menjangkau lokasi. Masih tengah malam kami harus menyusuri jalanan sepi, kecil, licin, berkabut tebal. Kurang lebih 1 jam perjalanan dari shalter bus besar tadi, kami sampai di desa terakhir untuk menuju lokasi. Oh ya, the sad news was...tepat 3 kendaraan di depan kami, satu rombongan kendaraan tergelincir ke jurang. Suasana jadi bertambah mencekam. I couldn't tell you in detail, but the weather was really bad. Even our driver also said he had a few days bad weather conditions there. When I looked out the window, fog obscured the view. Visibility to the front was only about 1 until 2.5 meters. Really bad. Sampai akhirnya sempat berhenti beberapa menit, hingga 3 kendaraan di depan kami tidak berani melanjutkan perjalanan. Sopir rombongan kami membuka jalan untuk yang lain dengan sangat lihai dan hati-hati. Mendebarkan. Kurang lebih 1 jam perjalanan, kami akhirnya sampai di parkiran terakhir untuk menuju pintu masuk ke puncak.

Pukul hampir setengah 1 dini hari, guide kami mengumpulkan tim untuk berdoa bersama, sempat beliau mengatakan bagi anggota rombongan saat itu yang merasa tidak kuat secara fisik untuk ke atas, sebaiknya tidak melanjutkan. Sebab, memang kami diberi peringatan dari pos penjagaan di pintu masuk bahwa cuaca sangat buruk, bisa jadi jarak pandang semakin ke atas semakin tipis. Kami memang mengejar sunrise pagi itu dari puncak, berharap akan cerah tanpa kabut. Cuaca begitu dingin berkabut hingga ketika saya membuka masker bisa berhembus uap dari mulut saya. Lembab dan basah. Saya membuka hp saat itu sinyal masih agak bagus, suhu terakhir adalah 9' Celcius. Okaaay......here we go.... Sempat terpikir untuk tidak ikut ke atas, tapi akhirnya I challenged myself. Bismillahirrohmanirrohim... In the name of God, with His Almighty, I have to do this, batin saya waktu itu. I didn't bring my med, actually...

Berangkatlah kami dari pos pertama melewati jalan menanjak yang sudah dibuat dengan bata-bata awalnya, makin lama makin tidak kelihatan karena tebalnya kabut dan gelap. Medan yang kami lalui juga makin lama makin berupa bebatuan besar, belum lagi angin yang mashaa Allah kencangnya. I never imagined in my whole life would be in a situation like that. LIKE THAT, Gusti....enteng banget saya ngetiknya. Hahaha. Sepanjang jalan yang bisa kami ucapkan dalam hati hanya doa-doa, perbanyak dzikrullah dan mengingat bahwa there's no power without His Name, Allah SWT. Setelah melewati pos kedua, saya makin merasa lelah luar biasa. Ya gimana ya, olahraga yang biasa saya lakukan hanya lari kecil dan yoga sederhana aja. Routine sih abs workout 7 menit. Nah ini tiba-tiba harus melalui medan menanjak begitu. Jantung saya rasanya berdebar tidak keruan dan panas. Nafas semakin memburu dan terengah. Rasanya dada mau meledak. Beristirahat namun tetap berdiam dan berdzikir dengan lafaz perlahan. Gilaaa aja, saya nggak mau tiba-tiba bikin susah satu team rombongan di situ. Makanya dalam hati saya cuma bisa bilang KAMU HARUS KUAT, NING! Inget seorang teman dulu pernah bilang, hal-hal yang pantang kamu ucapkan saat mendaki adalah mengomel, mengeluh, atau dalam bahasa jawa 'nyelathu'. Jadi sebisa mungkin saya membatin pada diri saya sendiri untuk tidak mengeluh. Melewati pos ke-dua, medan semakin terjal dan berat. Angin juga luar biasa kencang (SERIUS!). Langkah kami juga tidak kelihatan, hanya berbekal feeling saja sih. Dalam hati kami masing-masing waktu itu saya yakin, pasti sama membatin: Gue salah milih tanggal pendakian! Lol. Yah, as you know saja, dari jumlah rombongan kami itu, hanya empat orang saja (termasuk guide) yang pernah punya pengalaman naik gunung, yang lain it was the very first moment layaknya saya.

Akhirnya setelah melewati pos terakhir.....Kami benar-benar sampai di PUNCAK. OMG! 2565 Mdpl! Entah berapa lama perjalanan kami ke puncak (mungkin sekitar 3 jam lebih), yang jelas sampai sana saya langsung shalat subuh. Hell! Nggak ada air di atas, dengan susah payah kami hanya berwudhu memakai botol air mineral seadanya. Selesai sholat (di udara sedingin itu, I didn't know sure seberapa celcius, yang pasti....dari awal aja udah 9'C...kira-kira di atas dengan kabut setebal itu dan angin sekencang itu, saya cuma bisa memperkirakan suhu di bawah 5'C pastinya. Sebab HP saya juga sudah tidak ada sinyal. Kami berharap kabut bisa segera menipis agar golden matahari terlihat. Apesnya kami....hingga pukul 6 pagi, matahari tidak juga terlihat karena tebalnya kabut dan cuaca yang sangat buruk. WORTH THE JOURNEY. Hahahaha. Sarkas deh.

Ya, itu pengalaman pertama saya naik gunung. Belum setinggi Lawu atau gunung lain sih, tetapi buat saya pribadi dengan riwayat kesehatan yang saya sebutkan tadi, untuk bisa mencapai tempat setinggi 2565 Mdpl adalah pengalaman yang luar biasa hebat dan tidak akan terlupakan. Meski tidak bisa melihat matahari karena kabut dan cuaca yang tidak mendukung, saya serombongan tim tetap bersyukur. Gave a check for one of my life list! :)




- Bening Rahardjo-