Sunday, November 14, 2010

“Most of All, They Taught Me Happiness”


Gagasan mengenai apa yang ingin saya sampaikan di sini tidak diajarkan di sekolah maupun perguruan tinggi manapun. Saya menemukannya sesudah periode panjang dan pencarian diri dalam ’profesi’ saya sebagai makhluk Tuhan. Saya belum pernah mengikuti kuliah mengenai bagaimana menyayangi sesama dengan tulus, bagaimana menggunakan bahasa isyarat untuk berbicara dengan para tuna wicara, bagaimana menciptakan senyum dan tawa bahagia untuk anak-anak yatim piatu, serta bagaimana untuk melakukan pendekatan dengan para penyandang autis dan keterbelakangan mental (idiot). Dikarenakan suatu kegiatan sosial-lah akhirnya saya diharapkan mampu menciptakan senyum untuk seluruh warga penghuni salah satu Sekolah Luar Biasa dan beberapa yayasan panti asuhan.

Lebih dari satu dasawarsa, menjalani ’profesi’ saya sebagai hambaNYA, saya merasa semuanya flat. Ini bukan perasaan jenuh tentang hidup dan kehidupan yang saya alami, saya mampu mengatasi masalah yang tidak ada habis-habisnya; intensitas kegiatan dan keputusan pelik dalam perjalanan hidup; namun saya dididik oleh gulawentahan seorang eyang, untuk berfikir bahwa ’profesi saya yang sebenarnya’ adalah melakukan hal yang dapat dilakukan untuk menolong ’tanpa harapan lebih’ daripada peran saya sebagai sesama, ”sabisa-bisaa nenulung yen ana wong jejaluk tetulung”. Tetapi untuk ini dibutuhkan perjuangan selama bertahun-tahun, sebelum saya memahami bagaimana melakukannya. Kalau perasaan Anda sama seperti saya, barangkali, suatu hari, akan memungkinkan kita untuk mencapainya secara langsung, untuk memahami setepatnya mengapa dan bagaimana mereka yang terbatas secara ekonomi bahkan psikis maupun fisik itu mampu menyembuhkan perasaan diri mereka sendiri, tetap sehat, mencintai diri sendiri dan orang lain—yang tulus datang padanya-- serta memunculkan kepolosan yang mengundang kebahagiaan bagi siapa saja.

Pada bulan Ramadhan lalu, 4 minggu penuh saya habiskan untuk mengadakan kegiatan sosial di jalanan, di panti-panti dan terakhir di sebuah Sekolah Luar Biasa. Setiap minggu saya berkonsentrasi untuk satu tempat, hanya di minggu ke-4 saja yang saya lewati di dua tempat berbeda. Saya tidak sendiri, saya menjadi satu tim dengan dua rekan saya. Konsep kerja kami adalah menjadi pengepool dan penyalur; kami mencari, mengumpulkan dan menyalurkan dana dan bantuan dari para donatur dan dermawan dalam bentuk uang maupun barang, untuk sasaran yang telah kami niatkan sebelumnya, yaitu anak-anak yatim piatu di panti-panti yang masih jarang tersentuh; orang-orang jalanan yang berusia lanjut; serta para siswa Sekolah Luar Biaasa.

Di awal, saya bekerja sesuai dengan apa yang telah terkonsep sebelumnya, tetapi karena saya yang terjun langsung menangani setiap hal yang kami butuhkan untuk kegiatan, mau tak mau, perasaan sentimental saya juga ikut dilibatkan sepanjang kegiatan. Saya tidak tahu kapan persisnya saya memahami bahwa justru dunia tempat kita menghabiskan hidup inilah yang memberi kita energi dan kemungkinan untuk saling peduli. Belas kasihan kepada sesama itu muncul jauh di kemudian hari, dan ini bukan merupakan rahmat Tuhan yang diperoleh secara cuma-cuma, melainkan melalui sayatan yang dibuatnya; semua rasa perih; iba; syukur; tangis; bahkan senyum sandiwara yang diupayakan untuk menutupi luka. Mula-mula hanya bisikan hati yang hampir-hampir tak terdengar, seolah-olah berasal dari dengung lirih banyak orang. Lama-kelamaan bisikan itu menyatu, semakin keras, dan akhirnya menjadi ‘panggilan murni’—yang membuka kenyataan bahwa dari gema ‘mereka yang super’ itulah terlahir rasa saling menghormati dan kasih sayang sesama.

Ketika saya memulainya, saya berharap akan menemukan masalah-masalah baru setiap harinya, terutama masalah dana. Ini merupakan tantangan menarik yang membuat ‘profesi’ saya tidak menjemukan. Meyakinkan orang-orang yang kami kenal bahkan yang baru kenal untuk secara ikhlas menjadi donatur kegiatan tidaklah mudah. Karena sebagai penggagas, saya sendiri tidaklah mempunyai dana berlebih untuk disalurkan, bahkan bisa dibilang hampir tidak ada sama sekali. Jika sudah stuck di pikiran itu, saya kembali lagi pada gulawentahan eyang dan kalimat seorang rekan: “bekerjalah di jalan Alloh, insyaAlloh akan dimudahkan dan digantikan yang berlipat”. Timbullah semangat baru pada diri saya, bukankah tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan? Bukankah Dia Yang Maha Pemberi Ketetapan?? Untuk apa takut dengan kesempitan dana, toh Tuhan Maha Kaya, jika kita niatkan sungguh dan memang menjadi rizqi untuk mereka, pasti bisa! Pasti akan ada jalannya dan akan ada balasannya dengan cara apapun! Jadi, apa salahnya kita berbagi dengan makhluk Tuhan juga?

Banyak tanggapan, saran, kritikan, bahkan penolakan pedas yang saya dapatkan dalam pengumpulan dana. Lewat message maupun lontaran halus tapi sarat hujaman pedang tajam ke ulu hati. Mulai dari balasan message yang membuat saya terharu dan bersyukur, sampai yang tidak dibalas sama sekali. Dari raut wajah antusias penuh dukungan, hingga raut wajah tegang dengan tatapan penuh curiga—jikalau saya ini adalah penipu berkedok kegiatan sosial yang menjalankan hanya sebatas ceremonial di bulan Ramadhan—dan berbagai tanda tanya, tanda seru dan tanda petik yang lain. Bayangkan jika ini terjadi pada Anda setiap hari, karena memang setiap minggu kami harus mengumpulkan dana untuk satu tempat. Jangankan penipuan, karena sudah sedemikian bulatnya niat saya kepada Tuhan, saya bahkan takut jika saratus rupiah-pun tercampur di dalam dompet saya akan menjadi tidak amanah, karenanya saya memakai dompet berlainan untuk memisahkannya. Hingga dua permen sisa kembalian dari pasar tempat saya berbelanja juga saya berikan kepada anak-anak yang tak jauh dari sasaran yang kami niatkan sebelumnya. Saya ingin menekankan di sini perbedaan antara menanti yang bersifat pasif, dengan berharap yang bersifat aktif. Berharap berarti melihat bahwa hasil yang Anda kehendaki itu mungkin, dan kemudian Anda mengusahakannya. Menanti berarti cuma duduk, menunggu terjadinya ’miracles’ secara tiba-tiba. Saya dan rekan mendorong diri untuk selalu beriman kepada Tuhan, tetapi jangan mengharapkan Tuhan akan melakukan semuanya untuk kita.

Satu hal yang paling berat bagi saya adalah ketika dihadapkan pada sasaran kegiatan kami, mereka yang teristimewa itu. Ketika saya sudah di tengah-tengah mereka, saya harus menanggalkan title mahasiswa—dengan segudang teori-teorinya; saya harus menanggalkan dari keluarga mana saya berasal; saya harus menanggalkan semua kamuflase kemewahan dan tinggi hati sebagai seorang Bening; yang saya perlukan hanyalah ’berprofesi’ sebagai sesama makhluk Tuhan dan memandang mereka tanpa rasa iba atau merendahkan, karena saya yakin, mereka bukanlah pribadi yang ingin dikasihani—karena mereka adalah super—yang malah mengajarkan saya tentang keindahan dan kebahagiaan hidup. Saya harus menjelaskan bahwa saya ingin menatap mereka tanpa dibatasi penghalang di antara kami, agar hubungan kami bukan lagi hubungan antara pemberi dengan penerima yang kondisinya perlu diperbaiki. Sederhana namun sulit, saya berusaha mengubah konteks itu dari satu tempat ke tempat lain.

Di beberapa panti, saya diajarkan mengenai kemandirian dan pendekatan spiritual yang lebih manusiawi. Anda bayangkan saja anak-anak usia kelas 1 SD hingga lulusan SLTA yang kondisi ekonominya sangat tidak mungkin diharapkan untuk mendapatkan kemewahan berlebih, mereka yang sangat-sangat tegar tanpa sosok orangtua. Tukang becak dan tukang parkir berusia separoh baya lebih yang sama sekali tak menghiraukan indahnya sinar matahari menembus kulitnya yang legam. Para pemulung tua yang tetap menghimpun segenap sisa kekuatannya untuk memegang wadah ’kresek’nya. Mau tak mau kerap muncul rasa marah bila melihat para terhormat yang duduk di parlemen dengan gampangnya memakai uang kita bersama untuk membangun gedung mewah guna memenuhi fasilitas pribadi mereka, bertamasya ria dengan kedok ’tugas negara’, ’demi bangsa’, ’tujuan kami adalah untuk compare ke negeri tetangga’, atau ’ini kan hal lumrah, sudah ada dalam anggaran pemerintah’, dan jawaban klasik lain tapi sangat kampungan menurut saya! Padahal banyak sisi kemanusiaan yang sederhana tetapi lebih menyentuh rasa manusiawi belum diperhatikan. Saya kadang berfikir ”mengapa mereka yang terhormat itu tidak mau bersopan santun sedikit saja kepada siapa yang saya sebut manusia super itu tadi?”. Bukankah mereka juga mempunyai hak yang sama atas uang bersama? Hanya pada mata pencaharian yang berbeda yang menjadikan hak memakainya menjadi berkasta. Saya justru cenderung merasa bersalah, belum lagi beban tambahan harus memasang wajah cerah dan sikap hati-hati, meskipun ada masalah tersendiri yang saya hadapi. Saya merasa senang bila ada hari dimana segala sesuatunya berjalan menurut jadwal dan tidak ada yang namanya hari ’normal’ itu. Baru di kemudian hari saya mampu menganggap keadaan tersebut sebagai peluang tambahan untuk menolong orang lain. Tidak jarang ketika tiba di rumah, saya sudah kelewat lelah untuk merasakan nikmatnya berkumpul bersama keluarga di bulan Ramadhan. Pernah suatu kali sedemikian capainya sehingga ketika harus mengantar si mbok rewang pulang, secara otomatis saya blank dan hampir keluar tanpa jilbab. Bahkan ketika berkumpul keluarga, tema utama yang kami bahas adalah persiapan kegiatan. Memang kegiatan itu juga melibatkan keluarga saya baik secara barang maupun jasa, bahkan kedua rewang perempuan yang ada di rumah saya, rela memasak membungkusi nasi, atau membuatkan sepanci besar es buah untuk lebih mengirit dana yang dikeluarkan untuk bagian buka bersama di panti-panti.

Salah satu tempat yang paling mengikis kepercayaan diri saya adalah Sekolah luar Biasa atau SLB, dimana saya dihadapkan dengan berbagai macam siswa dengan keterbatasan fisik, psikis dan penyandang autis yang siap meledak emosinya jika merasa tidak suka terhadap sesuatu. Manusia bukanlah makhluk yang sempurna, kita hanya berusaha sebaik-baiknya. Saya ada di hadapan mereka dengan tujuan untuk berbagi. Oleh karena itu, bila akhirnya saya berhadapan dengan gadis cantik cerdas benama Puji—yang ternyata tuna rungu dan tuna wicara; atau si cerewet Anwar—penyandang keterbelakangan mental dengan bicaranya yang selalu tidak nyambung dengan yang lain; si Fredi bertubuh makmur—yang tuna grahita dan sedikit terbelakang mental; ketika seorang anak penyandang autis bernama Albert—datang meletakkan tangan saya di bahunya—ingin dipeluk oleh saya, itu semua jelas pengalaman yang sangat menguras emosi—tak peduli betapapun saya berusaha melawannya.

Kadang saya berfikir, lebih baik Anda menyuruh saya mendatangi dan membagi bingkisan untuk siswa Sekolah Dasar kelas 2 atau kelas 3 ketimbang mesti berhadapan dengan kondisi yang membuat batin saya merasa tidak nyaman. Berhadapan dengan 125 anak yang terbatas psikis dan fisik. Pemandangan-pemandangan menyedihkan yang ’terpaksa’ saya saksikan. Paduan antara keterbatasan dan keindahan itu membuat saya termangu. Namun, saya segera dapat menghimpun kekuatan yang saya peroleh dari anak-anak super itu. Bila memandang si cantik Puji yang cerdas membantu teman-temannya yang sesama tuna rungu dan tuna wicara berkomunikasi melalui bahasa isyarat dengan saya. Anak-anak yang cacat kaki membantu si gemuk Fredi yang tuna grahita duduk dan berjalan. Albert yang ketika bingkisan dibagikan malah sibuk membuka minuman kemasannya dengan air liur menetes dan saraf motoriknya yang belum bagus benar. Anwar yang sibuk gerak aktif ke sana-ke sini ngoceh sendiri tidak jelas, sambil sesekali menghampiri untuk menggoda saya. Mereka yang cacat fisik dan malu-malu mencuri pandang sambil berbisik-bisik riang dengan sesamanya. Laki-laki yang agak terbelakang mental—yang mungkin usianya hampir sama dengan saya—malu-malu mengajak berkenalan dengan muka memerah dan kata-kata terbata untuk saya pahami. Teman Albert yang lain, sesama autis sibuk bermain pingsut tidak jelas, juga dengan air liurnya yang menetes dengan wajah sangat-sangat tanpa dosa.

Pemandangan itu membuat perasaan tak berdaya yang sebelumnya saya rasakan menjadi berkurang. Perhatian yang diberikan anak-anak yang bisa dikatakan IQ, EQ SQnya di bawah kita itu kepada saya, praktis menghapus semua kelelahan karena wira-wiri setiap hari untuk menyiapkan 125 bingkisan untuk mereka. Apabila saya berkata ”Sampai jumpa lagi” dan anak-anak itu menyahut dengan tersenyum, moga-moga perasaan bahwa saya mengasihani fisik dan kondisi mereka akan lenyap, sebab saya tahu bahwa perasaan akan keterbatasan itu belum meruntuhkan semangat anak-anak super itu. Pada awalnya, saya memeluk Albert karena saya pikir dia membutuhkan perhatian. Belakangan saya katakan pada diri sendiri, ”Saya perlu memeluk mereka”, agar saya mampu bertahan. Bahkan meskipun hidup mereka ditopang dengan kursi roda, alat bantu pendengaran, dan yang lain, mereka berusaha menolong saya dengan sentuhan, senyum, tawa ceria, dan ciuman tangan, sehingga perasaan malu terhadap diri saya sendiri; perasaan bersalah; letih dan putus asa saya pun langsung hilang. Sungguh, mereka telah membukakan mata saya!

Menghadapi keuletan semacam itu, berulangkali saya berharap dapat melakukan sesuatu yang dapat meringankan—sesuatu yang saya anggap sebagai kekurangan mereka. Dengan berusaha peka terhadap perasaan tertekan dan kepedihan yang mereka rasakan, saya akhirnya menyadari bahwa ada segi ilmu yang lebih penting daripada tetek bengek teknis. Saya tahu bahwa jauh lebih banyak yang bisa saya lakukan ketimbang cuma menawarkan bantuan uang maupun bingkisan, dan bahwa pertolongan saya juga dapat berguna bagi semua yang memerlukannya. Bahkan saya menyimpulkan bahwa ’satu-satunya’ alasan yang masuk akal untuk tetap bertahan dalam ’profesi’ saya sebagai makhluk Tuhan adalah karena dapat menawarkan persahabatan yang tulus kepada orang-orang, saat mereka membutuhkannya. Jujur, dulu saya sering memandang skeptis terhadap manusia-manusia super macam ini, saya menggambarkan kepada diri saya sendiri bahwa saya terlampau sombong untuk mau melepaskan keahlian ilmu sebagai seorang akademisi dengan berbagai literatur yang saya peroleh dengan susah payah. Saya menjadi ragu-ragu untuk berkomunikasi dengan mereka ’melalui hati’, yang saya sadari karena terhalang oleh tembok seolah membatasi bahwa mereka ’berbeda’ dari saya.

Setelah mengenal mereka lebih dekat, saya seperti berbicara dengan alter ego, dan saya bisikkan: ”Mereka telah menjadi guru saya. Saya kenal orang-orang cacat yang dapat berkata ”Baik’, bila ditanya ”Bagaimana kabarmu?”—karena mereka telah belajar untuk mencintai dan menyenangkan diri sendiri. Mereka tidak menyangkal keterbatasan fisiknya tapi tetap berusaha mengatasinya. Mereka menuntut martabat, kepribadian dan kendali, separah apapun kondisi fisik dan psikisnya. Mereka tetap bersemangat tinggi tanpa jaminan fisik akan ’jauh lebih baik’. Anak-anak yang termasuk istimewa ini tahu bahwa hidup tidak disertai dengan jaminan semacam itu. Mereka rela menerima semua risiko dan tantangannya, mereka merasa mampu mengendalikan nasib, puas dengan menerima sejumlah kebahagiaan bagi diri sendiri dan memberikan sebagian kebahagiaan kepada yang lain. Mereka tidak khawatir tentang masa depan atau peristiwa-peristiwa eksternal lainnya, yang mereka tahu bahwa kebahagiaan bergantung pada batin diri sendiri. Pada saat itu juga, saya membuat slogan untuk diri saya sendiri, yang saya dapatkan dari ’guru’ saya itu: ”Dalam ketidakpastian, selalu ada harapan”. Tidak ada yang namanya harapan palsu di pikiran kita. Saya sadar betapa kesulitan yang saya lewati untuk kegiatan ini dapat diubah menjadi keuntungan dan kebahagiaan oleh Tuhan, segala sesuatu yang merisaukan hati menjadi lenyap. Pada saat itu jugalah saya betul-betul mencintai ’profesi sejati’ saya dalam bidang sosial ini, sebab saya telah menemukan makna seutuhnya profesi tersebut. Makna itu terdiri atas mengajar diri bagaimana menjalani hidup—mengajar bukan dari sebuah mimbar atau di depan cermin, melainkan dengan pengetahuan bahwa ’saya mengajar apa yang ingin saya pelajari’. Saya merasa bahwa semua pribadi ’diharuskan’ sebagai bagian dari ’pendidikan’ mereka, untuk mendatangi ’tempat-tempat belajar’ semacam ini. Orang harus sering-sering berbicara kepada hati....dan mendengarkan. Selanjutnya, keyakinan adalah masalah kepercayaan, bukan logika.

Satu lagi untuk penutup, pelajaran bermakna yang saya dapat dari mereka:
”jangan percaya bahwa dia yang berusaha menghibur Anda sekarang ini menjalani hidup tanpa kesulitan di antara kata-kata lembutnya yang menenangkan, yang kadangkala membuat Anda merasa lebih nyaman. Hidupnya dipenuhi kesulitan dan kepedihan, dan jauh lebih sengsara dibandingkan hidup Anda. Seandainya tidak demikian, dia tidak akan mampu menemukan kata-kata tadi.....”


Best regards,

Bening Rahardjo