Friday, March 17, 2017

(Apakah) Tuhan (Perlu) Berpolitik (?)

Yo guys, judul postingan ini mungkin terdengar 'bit strange'. Actually, memang ini terkait dengan isyu hangat yang sedang banyak diberitakan oleh media belakangan: Pemerintah melalui Kementerian Agama tengah menyusun aturan mengenai ceramah di rumah ibadah yang berlaku untuk semua agama yang diakui di Indonesia. Read this linkhttp://m.metrotvnews.com/video/primetime-news/8koXodRK-pemerintah-siapkan-standarisasi-ceramah-di-rumah-ibadah

Ketika membaca beberapa berita online mengenai wacana ini, saya seketika langsung mikir: "Wait, wait... Maksudnya penyeragaman seperti apa? Penyeragaman konten kah? Penyeragaman format kah? Atau yang seperti apa?; Maksud label standarisasi itu bagaimana ya? Apakah-- ceramah, khutbah, kajian, atau apapun bentuknya itu--harus melalui semacam screening baik/tidaknya, layak/tidaknya?"; Apakah itu bisa bermakna 'pembatasan'?. 

Lalu mulailah saya mencari informasi tentang wacana ini. Segitu kritisnya ya kondisi toleransi umat beragama di negara kita hingga perlu adanya aturan mengenai ceramah di rumah ibadah? Rumah ibadah. To be sure... Bukan sekadar 'rumah' atau tempat. Tetapi ini jauh lebih sakral maknanya. Tempat dimana kita lebih memfokuskan diri pada hubungan hamba dengan Tuhan. Tempat kita mencari kedamaian diri dan energi spiritualitas. Mari kita bahas dari berbagai sudut pandang.

Rumah ibadah bermacam-macam, sesuai dengan agama yang diakui dan dilindungi oleh negara: ada masjid, gereja, pura, vihara, kelenteng. Semua itu adalah tempat suci yang digunakan bagi umat untuk melakukan praktik keagamaan. Masing-masing agama punya ajaran tentang kebaikan. Masing-masing agama punya topik bermacam-macam bersumber dari kitab suci, yang dapat dipakai bagi para pendakwah untuk melakukan praktik keagamaan kepada umat (pemeluk agama). Praktik keagamaan ini bermacam-macam, bisa mencakup ceramah, ritual, khutbah, peringatan atau pemujaan, kajian, dll. 

Bukan bermaksud apriori, tetapi wacana baru mengenai aturan ceramah di tempat ibadah, menurut saya hal itu boleh atau bisa dilakukan hanya jika keadaan suatu negara sudah sedemikian gentingnya untuk mempertahankan keamanan dan stabilitas nasional. Itu yang mengusik saya, apakah keamanan dan stabilitas nasional kita sudah pada tahap yang bisa dikatakan kritis? Apakah warga negara sudah benar-benar krisis toleransi hingga memunculkan wacana seperti tersebut oleh pemerintah? 

Label standarisasi ini--seperti yang ditulis di media-media--cenderung meletakkan posisi pemerintah bermanipulasi politik pada agama. Apakah Tuhan yang kita sembah di tempat ibadah perlu berpolitik? Hambanya iya, melakukan politik. Apakah agama juga menjadi manuver lain bagi elit kala jalan politik sudah dirasa kaku dengan cara 'lawas'? Sudah jelas iya. 

Mungkinkah pribadi individu sebagai pemeluk agama ataupun sebagai umat masih bisa berteduh pada bunyi "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing; dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Jaminan ibadah yang kemudian dilabeli dengan 'standar' yang ditetapkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa politik dan agama menjalankan peran masing-masing dalam keutuhan negara. Kita tidak mungkin mendasarkan pilihan politik yang tidak ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebaliknya, politik juga bisa memecah belah kerukunan beragama.

Lalu pertanyaannya adalah beragama itu apa sih? Apakah hanya dengan mengucapkan kalimat tertentu "Aku percaya Tuhan" bisa dianggap beragama? Apakah dengan mengakui adanya kekuatan luar biasa di luar diri individu? Apakah beragama itu pengakuan secara formalitas? Apakah beragama itu adalah ketika individu bisa berdoa kepada Tuhan? Apakah beragama itu sebatas pengakuan bahwa individu menganut agama tertentu? Lalu dimana letak pemahaman, pengahayatan akan ajaran agama dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya? Melalui agama itu sendiri diatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan maupun hubungan manusia dengan sesama manusia.

Apakah tempat suci yang dianggap 'rumah Tuhan' begitu 'perlu' diajak berpolitik? Kita semua tahu bahwa sejarah penyebaran agama adalah melalui jalan politik. Bukankah tempat ibadah merupakan tempat yang dianggap suci dalam penyelenggaraan peribadatan? Tempat dimana individu memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Tempat untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta,. Tempat untuk memaknai hubungan manusia sebagai hamba dengan segala kekurangan dan dosa-dosanya. Tempat dialog/komunikasi sosial antarpemeluk agama mengenai pemahaman keagamaan.

Pemerintah sendiri menjamin dan melindungi tempat ibadah sebagai wujud nyata dari UUD 1945 mengenai kebebasan beragama. Sejarah bangsa menjelaskan bahwa negara dan landasan negara kita disepakati di atas kesepakatan bersama. Semua kembali lagi kepada UUD 1945 dan Pancasila, bahwa negara kita menjamin kebebasan tetapi juga mengakui perbedaan di dalamnya. Kita telah belajar nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 mengenai toleransi beragama sejak bangku sekolah dasar. Kemudian apabila dalam praktiknya di kehidupan bernegara nilai-nilai tersebut luntur, apakah kemudian cara mengatasinya dengan melakukan 'penyeragaman' ceramah atau khutbah di tempat ibadah akan efektif? 

Mungkin yang ditakutkan oleh pemerintah adalah berkembangnya paham-paham radikal dari praktik keagamaan yang dilakukan di tempat ibadah. Tidak kita pungkiri bahwa saat ini sedang marak peningkatan radikalisme yang memunculkan konflik dan kekerasan sosial bernuansa agama. Tengok saja pilkada atau pilpres yang selaku diwarnai dengan konflik dan perpecahan berbasis SARA. Sudah menjadi hal melelahkan bagi siapa saja yang melihat dari konteks humanisme tentunya. Tindakan memaksakan pendapat, bahkan pada tindakan memobilisasi massa pada satu pandangan politik tertentu dengan nama agama. Well, bagi saya silakan saja apabila individu meyakini suatu pandangan tertentu mengenai politik (yang dibasiskan pada keyakinan agama), tetapi apakah TUHAN perlu dilibatkan dalam deprivasi politik? Sedangkan sebagai individu beragama kita meyakini bahwa Tuhan itu Maha Suci. Tuhan adalah Maha dengan segala Maha-NYA.


Sangat kompleks apabila melihat dari sudut pandang netral. Beberapa yang bisa dipandang secara kasat mata mengapa radikalisme bisa menjamur dan menjadi endemi sosial, yakni: Pertama, euforia kebebasan yang tidak mau peduli kepada pihak lain yang berakibat menurunnya toleransi; Kedua, fragmentasi politik dan sosial di kalangan elit yang berimbas pada grassroot dan menyebabkan konflik laten horizontal; Ketiga, tidak konsistennya penegakan hukum, terutama beberapa kasus konflik dan kekerasan sosial membawa atribut keagamaan; Keempat, disorientasi nilai dan norma sosial, ujung dari semuanya adalah kebimbangan individu dan ketidakpercayaan pada lembaga penyelenggara pemerintahan yang berakibat penyimpangan nilai dan norma sosial (bahkan nilai dan norma agama itu sendiri). 

Kelompok radikal sangat mudah memanfaatkan tempat ibadah yang tidak terurus dengan baik oleh masyarakat sekitar. Akan lebih gampang menyusupkan paham radikal melalui agama. Maka upaya menanggulangi radikalisme ini tidak cukup hanya dilakukan satu dua elemen saja, tetapi diperlukan semua elemen untuk bersinergi. Penguatan nilai norma Pancasila dan UUD 1945 sangat perlu diajarkan terus-menerus. Tidak cukup hanya di sekolah-sekolah, di dalam institusi dan keluarga pun perlu diperkuat. Peran keluarga dan masyarakat adalah yang paling dekat untuk membentengi dari propaganda radikalisme terselubung dalam praktik keagamaan. Masyarakat yang dapat mengawasi praktik keagamaan yang dilakukan di tempat ibadah yang ada di sekitar mereka. Pengurus tempat ibadah juga harus melibatkan masyarakat setempat sehingga apapun kegiatan keagamaan yang dilakukan atas sepengetahuan masyarakat sekitar.


Regards.