Sunday, June 19, 2011

“Separoh Abad Lebih Ndalem Martanan dan Gulawentahan yang Membentuk Pribadi dan Prinsipku, Seorang Bening Rahardjo” PART 1

Bening Rahardjo, begitu aku menyebut dan memanggil diriku sendiri. Nama depan cantik yang diberikan oleh pamanku (adik kandung ibu) saat ia tengah berlayar. Sedang nama belakang itu adalah nama belakang Bapak, ayah kandungku. Aku sisipkan setelah beliau meninggal awal 2009 lalu, untuk berusaha tetap memuliakannya sebagai ayah kandung. Walaupun sudah dari lahir aku tidak bersamanya, dan hanya menikmati pertemuan beberapa saat sebelum ia meninggal. Namun, hubungan darah ayah dan anak perempuannya tetap ada hingga bahkan aku menikah nanti. Aku menyatakan diriku sendiri sebagai seorang wanita yang menemukan independensinya dalam perjalanan hidupku. Aku tumbuh dan berkembang sehat, alhamdulillah, sesuatu yang pantas aku syukuri. Walaupun tahun 2006 lalu pernah dinyatakan ada sedikit gangguan besar dalam kesehatanku. Gangguan itu seterusnya sangat mempengaruhi aktivitasku sehari-hari, mengharuskan sedikit ‘harus mentolerir’ kondisi fisikku. Namun, semua tetap aku syukuri, sebagai bentuk rasa sayang Alloh SWT untuk pribadiku. Dokter spesialis yang menanganiku selalu menghibur dengan guyonannya, meski aku rasa dia sendiri sudah terlalu tua, dan lebih pantas dihibur. Dulu, sempat sebelum memasuki ruang bedah pertengahan tahun 2008 dengan kondisi yang sangat sedemikian pasrah, aku bahkan tidak sampai hati mengucapkan sesuatu pada Ibu. Aku sendiri begitu khawatir akan keselamatanku karena aku mencintai keluargaku. Bahkan, rasanya kecemasanku sudah kuserahkan kepada Tuhan. Ketika akan masuk ruang operasi, bertanyalah aku pada dokter yang bertanggungjawab atas anestesi: “Dok, kalau Tuhan Pencipta Yang Hebat dalam hidup ini, mengapa DIA tidak menciptakan tombel reset untuk hambaNYA ya?”. Dokter yang sebenarnya sudah membuat surat perjanjian dengan ibu—sebab kondisiku yang tidak stabil, dia sendiri tidak yakin bahwa operasi akan berjalan mudah—kemudian menjawab pertanyaan bodohku itu dengan bijaknya, dan inilah yang membuatku senantiasa bersyukur atas segala kondisi kesehatanku yang sampai sekarang tidak stabil kadang: “Nona, Tuhan sudah menciptakan tombol reset yang luar biasa dalam hidup kita, tombol itu namanya rasa sakit. Karena tanpa merasakan rasa sakit, kita tidak akan pernah melakukan perubahan.” .Aku pikir, perkataannya itu bisa ditarik secara general bukan hanya terkait masalah kesehatan, tetapi juga kehidupan kita. Ya, sakit ataupun senang perjalanan hidupnya, semua harus disyukuri. Aku sungguh berterimakasih kepada dr.Purwanto, Sp.An.  yang telah memberikan kalimat bijak untuk seterusnya sangat berguna membentuk diri menjadi pribadi yang selalu bersyukur, optimis dan tetap bersemangat.

Aku bersyukur dengan hidupku dan seluruh yang telah menemaniku—mereka yang kusebut dengan keluarga. Ibu, wanita utama yang ingin dan akan selalu kumuliakan dalam hidupku, yang dalam keterbatasannya telah memberikan pendidikan yang terbaik bagiku. Eyang kakung dan puteri yang telah mempersiapkan diriku untuk menghadapi segala perubahan dan menatap kerasnya fakta kehidupan ini. kebijaksanaan mereka semua tak akan pernah pudar selama perjalanan hidupku mengarungi petualangan, kesulitan hidup dan mencapai prestasi. Semua yang berada di sebuah tempat sederhana dan nyaman, yang kami sebut dengan Ndalem Martananis that all—yang begitu luar biasa memberikan inspirasi. Tanpa meninggalkan masa lampau, mereka tetap bekerja keras mengukir masa depan. Tujuan mereka adalah memberikan tempat yang menyajikan setiap orang untuk hidup bermartabat dengan dirinya, tidak ada ruang bagi kepicikan, atau bagi tindakan yang tidak bertanggung jawab dan tidak benar.

Jika banyak orang bertanya, mengapa rasa-rasanya aku seperti ingin melupakan desa asalku. Mengapa aku sedemikian arogan untuk bisa bersosialisasi lagi di sana seperti orang kebanyakan yang kembali pulang dari rantauannya. Biasanya ada alasan mengapa orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Bagiku, dengan hidup di desa itu, membangkitkan kenangan pahit masa lalu. Sesuatu yang pahit di masa lalu, yang tidak akan pernah bisa dimengerti oleh seorang pun. Pada malam hari sering aku tidak bisa tidur oleh karena memendam depresi yang luar biasa di perantauan. Itu terjadi setiap aku mengingat desa asalku, sebuah desa kecil yang menyimpan banyak cerita pahit di dalamnya. Aku bukan melupakan semuanya, tidak. Karena Ndalem Martanan, tempat aku tumbuh dan dibesarkan hingga usia 18 tahun, aku masih tetap mencintai seutuhnya. Walaupun Ndalem itu letaknya berada di pinggir jalan besar penghubung kabupaten, sampai saat ini masih berdiri kokoh dan menjadi bagian dari desa itu. Aku juga merasa, dengan tetap tinggal di sana, maka aku tidak akan berkembang. Dengan segala watak kepicikan di masa lalu, aku telah sangat terluka, jadi bagi pribadi sangatlah wajar apabila aku menjadi arogan karena rasa sakitku. Itu saja alasanku. Bagiku, kediaman setiap orang berada di masa depan, bukan di masa lalu. Berbagai tantangan yang produktif dan menggairahkan memenuhi kehidupanku. Lalu, mengapa harus melakukan wisata ke masa lalu yang hanya akan membangkitkan perih-getirnya kenangan lama?

Aku berusaha melupakan kepahitan. Mula-mula aku gagal. Misalnya, ini terjadi beberapa saat lalu setelah aku mengalami masa panjang depresiku. Aku merasa dipermainkan mentah-mentah oleh seorang teman, hanya gara-gara sebuah kalimat sms ya/tidak. Sedemikian marahnya aku hingga melontarkan kalimat yang sangat keras, sekeras prinsipku—jangan jadi orang dumeh. Seorang teman itu, hingga akhirnya merasa sangat tersinggung dengan kalimatku, dan hubungan kami menjadi tidak begitu baik. Walaupun sudah kusertai rasa dan kalimat permintaan maaf yang tulus, bahkan sudah kujelaskan alasan-alasan utama mengapa kalimat itu sampai hati terlontar dariku. Tapi, no respons.  Tak apalah. Aku cukup memahami dan memaklumi saja. Aku berharap, semua akan berjalan membaik seperti semula. Tentunya, ini juga menjadikan pelajaran bagiku, untuk lebih bisa bersikap elegant, realistis dan tidak hanya bicara omong kosong. Karena orang yang berpendidikan dan terhormat, tidak akan melukai harga diri mereka hanya untuk perkataan yang stupid.